Rasa bersalah yang menjerumuskan Evelin, atlet renang kecil untuk mengakhiri hidupnya sendiri, karena sebuah kecelakaan yang merenggut nyawa seluruh keluarganya. Kesepian, kosong dan buntu. Dia tidak mengerti kenapa hanya dia yang di selamatkan oleh tuhan saat kecelakaan itu.
Namun, sebuah cahaya kehidupan kembali terlihat, saat sosok pria dewasa meraih kerah bajunya dan menyadarkan dia bahwa mengakhiri hidup bukanlah jalan untuk sebuah masalah.
"Kau harus memperlihatkan pada keluargamu, bahwa kau bisa sukses dengan usahamu sendiri. Dengan begitu, mereka tidak akan menyesal menyelamatkanmu dari kematian." Reinhard Gunner.
Semenjak munculnya Gunner, Evelin terus menggali jati dirinya sebagai seorang perenang. Dia tidak pernah putus asa untuk mencari Gunner, sampai dirinya tumbuh dewasa dan mereka kembali di pertemukan. Namun, apa pertemuan itu mengharukan seperti sebuah reuni, atau sangat mengejutkan karena kebenaran bahwa Gunner ternyata tidak sebaik itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elsa safitri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Flashback
5 tahun lalu..
Sebuah kecelakaan besar terjadi dan menyebabkan dua orang meninggal dunia. Di dalamnya terdapat Evelin dan kedua orang tuanya. Dia yang duduk di belakang dengan sabuk pengaman berhasil selamat, meski mengalami luka yang cukup parah.
Dia di larikan ke rumah sakit dan tidak sadarkan diri selama seminggu penuh. Yang menjaganya hanya satu-satunya kerabat, wanita berusia 30 tahun yang juga merupakan bibi dari Evelin.
Setelah seminggu, dia akhirnya bangun dari koma. Dia tampak bingung dengan keadaan di sekitarnya. Lampu yang menyorot dari ketinggian, sebuah selang yang melingkar dan tersimpan di samping tempat tidur, lalu bibinya yang terus terjaga.
"Evelin, akhirnya kamu bangun."
Meski sebuah sambutan langsung mendarat setelah dia membuka mata, namun dia tidak menemukan kedua orang tuanya di sana. Dia terus bertanya-tanya kemana mereka pergi?
Dia ingat tentang kecelakaan sebelumnya. Dan tidak butuh waktu lama, dia mendengar kebenaran bahwa kedua orang tuanya sudah meninggal dunia.
Dia yang baru berusia 17 tahun saat itu mengalami keterpurukan dan trauma yang dalam. Dia menjadi sangat kosong dan terus duduk terdiam di ranjang rumah sakit. Matanya menatap lurus namun terlihat tidak hidup. Bahkan, saat bibinya datang dan menyapa, bertanya tentang kondisi, Evelin tidak pernah menjawabnya.
"Evelin, hari ini bibi bawakan buah kesukaanmu. Bibi kupas dulu ya.."
Evelin tidak menyahut. Dia bahkan tidak membuat tanggapan dengan ekspresi sedikitpun. Dia seperti sebuah patung yang sengaja di pajang untuk menambah pemandangan di tengah kota.
*
*
*
Setelah beberapa hari mematung di tempat, dia akhirnya berani menatap bibinya yang terus terjaga di samping ranjang rumah sakit. Mata kosong itu bergilir dan menoleh ke samping.
Perubahan tersebut tentu membuat Helga, bibi Evelin terkejut. Dia langsung bangkit dari kursi dan mendekat.
"Sayang, apa yang kamu butuhkan?"
"Bibi.. Kenapa aku masih hidup?"
Suara yang tertahan selama dua minggu, kini di keluarkan dan terdengar begitu serak. Helga semakin di buat terkejut. Dia tidak tahu jawaban seperti apa yang di harapkan gadis malang itu.
Namun, pada akhirnya dia menjawab dengan senyuman. Dia sangat senang melihat perubahan Evelin, namun juga merasa sangat sedih dengan kepribadiannya yang berubah.
"Evelin, kamu harus merasa beruntung dengan itu."
Jawaban Helga tidak membuat Evelin menjadi lebih baik. Meski demikian, Helga tampak sangat sabar merawatnya.
*
*
Suatu hari, Evelin keluar dari kamar dan pergi ke teras. Dia melirik pemandangan di bawah kakinya dengan tatapan yang kosong.
"Kenapa aku masih hidup? Seharusnya aku yang mati. Aku ingin mati. Kenapa tuhan tidak mengambil nyawaku juga?"
Dia terus menangis dan berteriak. Saat itu, dia tidak bisa mengendalikan dirinya untuk tidak termakan emosi. Pikirannya kabur dan hanya meninggalkan ruangan kosong, seolah dia tidak memiliki niat untuk melanjutkan hidupnya yang hampa.
Saat dia hendak melompat, seseorang menarik kerah bajunya dari belakang. Dia di angkat dan di seret ke belakang dengan enteng. Setelah di turunkan kembali, Evelin menoleh sambil menggeram.
"Siapa kau?! Kenapa kau ikut campur urusan orang lain, ha? Apa kau menganggur? Urus dirimu sendiri, sialan."
Perbedaan tinggi badan mereka sangat mencolok. Meskipun dia mengoceh tentang ini dan itu, pria di hadapannya malah menggaruk telinga dan menatap ke tempat lain. Dia tampak tidak peduli dengan semua ocehan Evelin, meski suara gadis itu dapat mengalahkan meriam.
"Berisik, kau bocah tengik. Apa kau mau mengakhiri hidupmu di usia sekecil ini? Kau pasti beban keluarga."
Pria itu akhirnya menyahut. Namun, tatapannya sangat menyebalkan dan tingkahnya yang meledek secara terang-terangan semakin membuat Evelin naik pitam.
"Kau tidak mengerti masalah hidupku! Jangan ikut campur dan pergilah dari sini, sialan."
"Hei, anak kecil tidak di izinkan bicara kasar. Di mana kau belajar bicara seperti itu?"
Evelin terbungkam dengan cepat. Dia sebenarnya tidak pernah berkata kasar sebelumnya. Namun, karena pria asing itu sangat menyebalkan sampai membuat emosinya memuncak, dia jadi hilang kendali.
"Jadi, gadis kecil. Apa yang sebenarnya membuatmu ingin mengakhiri hidupmu sendiri?"
Dia merubah nada bicaranya. Kini dia lebih terdengar seperti pria dewasa yang hendak memberi nasihat. Namun, Evelin masih tidak menerima kehadirannya.
Alih-alih menjawab, Evelin malah melengos. Tingkahnya yang cukup tengik membuat pria itu kesal. Saat Evelin masih membuang muka ke samping, pria itu mendekat dan mengusap rambutnya.
"Hei, bocah tengik. Kau harus terus menjalani hidupmu. Jika kau mati, kau tidak akan merasakan betapa enaknya makan es krim di siang hari."
Evelin semakin merengut. Dia tidak mengerti sebenarnya dia terlihat sekecil apa di hadapan pria itu. Padahal dia sudah menginjak usia remaja. Dia tidak tertarik memakan es krim di siang hari.
"Aku sudah 17 tahun!"
"Benarkah? tapi kau hanya setinggi dadaku. Kau terlihat seperti anak berusia 10 tahun, ups."
"Beraninya kau, dasar pria aneh! Pergi dari sini!"
Pria itu menertawakannya. Tawanya yang terlepas dan menggema terlihat sangat indah. Evelin bahkan sampai terpaku pada satu titik, dimana pria itu membuka mulutnya.
Setelah tawanya habis, dia mengelus rambut Evelin lagi. Dia tampak sangat dewasa saat melakukan itu. Entah dimana dia mengubur tingkahnya yang menyebalkan beberapa saat lalu.
"Jadi, anak manis. Katakan padaku apa yang membuatmu mengambil keputusan itu?"
Evelin menunduk muram. Beberapa saat lalu dia sangat terpesona sampai membeku, namun saat ini dia kembali seperti semula. Dia terlihat tidak berniat menjawabnya.
"... Jangan lakukan itu lagi. Kau harus tumbuh dewasa dan nikmati hidupmu."
Evelin semakin terlihat muram. Dia hampir menangis karena ucapan pria asing itu. Sadar Evelin malah semakin sedih, pria itu menjauhkan tangannya. Dia pikir, dia sangat payah dalam memberi nasihat.
Saat dia menggaruk telinganya karena merasa bersalah, Evelin tiba-tiba mendongak sambil bercucuran air mata. Pria itu terkejut dan mendekat untuk menenangkan gadis kecil itu.
"H-hei, ada apa? Umm.. Mau es krim?"
"... Sebenarnya aku sangat putus asa karena kedua orang tuaku mati dalam kecelakaan. Kami baru pulang dari lomba renang yang aku menangkan. Karena terlalu senang, ayahku tidak fokus pada jalan dan menabrak trotoar. Mereka mati karena aku. Jika saja aku tidak menyuruh mereka datang ke lomba renang, hal ini tidak akan terjadi. Hiks.. Kenapa mereka yang harus mati dan bukan aku? Kenapa hanya aku yang hidup? Aku juga ingin mati."