Judul buku "Menikahi Calon Suami Kakakku".
Nesya dipaksa menjadi pengantin pengganti bagi sang kakak yang diam-diam telah mengandung benih dari pria lain. Demi menjaga nama baik keluarganya, Nesya bersedia mengalah.
Namun ternyata kehamilan sang kakak, Narra, ada campur tangan dari calon suaminya sendiri, Evan, berdasarkan dendam pribadi terhadap Narra.
Selain berhasil merancang kehamilan Narra dengan pria lain, Evan kini mengatur rencana untuk merusak hidup Nesya setelah resmi menikahinya.
Kesalahan apa yang pernah Narra lakukan kepada Evan?
Bagaimanakah nasib Nesya nantinya?
Baca terus sampai habis ya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Beby_Rexy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24
“I–ibu?” Bibir Nesya begetar ketika akhirnya bisa berbicara dengan sang ibu meski hanya melalui sambungan telepon.
“Ya Tuhan, Nesya. Akhirnya ibu bisa mendengar suaramu, nak.”
Runtuh sudah pertahanan Nesya, wajahnya pun langsung banjir air mata. Rindunya semakin menguap pada sang ibu, padahal Kinan baru mengucapkan satu kalimat saja.
“Nesya, jangan menangis sayang. Bagaimana keadaan mu disana? Apakah kamu sakit?” Suara Kinan begitu lembut dan terdengar mengkhawatirkan putri bungsunya tersebut.
Sambil menangis tersedu-sedu Nesya menjawab, “Nesya sehat, Bu. Nesya rindu Ibu…” Dadanya kian sesak karena rasa yang bergejolak.
“Nesya ingin pulang, maaf saat ibu datang kemari untuk menjemput tapi Nesya tidak ada,” sambung Nesya di sela tangisnya.
Terdengar suara kekehan di seberang sana, Kinan sama sekali tak ingin menunjukkan kesedihannya terhadap Nesya. “Memangnya siapa yang ingin menjemputmu? Ibu memang datang mengunjungi kamu, itu hanya karena ingin tahu keadaanmu, pada saat itu ternyata kita sedang berselisih jalan. Penjaga di villa itu berkata bahwa kamu sedang menghadiri makan malam di rumah mertuamu, jadi ibu mengerti dan memutuskan untuk kembali pulang. Kelihatannya kamu baik-baik saja, ya?”
Nesya menatap sebuah buku kecil di tangan kirinya, itu adalah buku bukti pernikahan atas nama dirinya dan Evan. Tadinya, dia sempat membuka laci dari meja nakas karena laci itu terbuka sedikit, dan di dalam sana Nesya menemukan benda yang berbentuk sebuah buku kecil tersebut. “Ibu, apa kah Ibu tahu, ternyata Evan memang menikahi Nesya bukannya Kak Narra.”
Kinan diam sejenak sebelum menjawab, “Iya, ibu sudah tahu dari wali hakim yang menikahkan kamu dan Evan waktu itu. Awalnya ibu merasa heran namun sepertinya itu adalah cara kerja Tuhan yang tidak bisa kita lawan.”
“Jadi ibu sudah tahu? Bagaimana dengan Kak Narra?” Tanya Nesya dengan rasa terkejut.
“Ibu tidak bilang apapun padanya, tetapi sepertinya dia sudah mengetahui hal itu ketika datang ke villa mu beberapa hari yang lalu,” terang Kinan.
Nesya pun terkejut mendengarnya. “Kak Narra datang kemari lagi? Nesya sama sekali tidak tahu itu. Ibu, Nesya akan pulang sebentar lagi, Evan juga sudah mengizinkannya.” Namun ada kegetiran dari nada bicara Nesya dan Kinan mendengarnya. Nesya pun kembali terbayang pada perkataan Evan yang sama sekali tak menghalangi dirinya untuk pergi setelah Nesya mengatakan tentang keterlibatan Bagaskara dan Arjun pada kematian Erwin. Entah kenapa dirinya merasa terbuang.
“Sayang, sebelum kamu benar-benar pulang kemari tolong jawab pertanyaan ibu. Apakah suamimu telah meminta haknya sebagai suami kepadamu?”
Mendengar pertanyaan tersebut tiba-tiba saja tubuh Nesya membeku sampai-sampai ia terdiam tak bisa menjawabnya. Meski tak melihat ekspresi wajah sang putri secara langsung, namun naluri Kinan sebagai sang ibu sudah langsung bisa mengetahuinya.
“Kalau begitu ibu melarangmu untuk pulang, kecuali suamimu sendiri yang memulangkan kamu kepada ibu,” ucap Kinan dengan tegas meski ada rasa tak tega.
“Tapi bu, Evan sudah mengiyakan ketika Nesya minta pulang,” tukas Nesya, meyakinkan sang ibu.
Sekali lagi Kinan kembali menasihati putrinya yang tengah galau tersebut. “Nesya, perpisahan suami istri itu bukan hanya berdasarkan ucapan semata, melainkan harus atas dasar hati. Coba kamu tanyakan sekali lagi kepada suamimu, apakah benar dia mengizinkanmu untuk pulang dan berpisah dengannya untuk selamanya. Jika jawaban itu sama seperti awal, maka mintalah dia untuk memulangkanmu secara baik-baik, ibu pasti akan menerimamu.”
***
Setelah selesai berbincang dengan sang ibu, Nesya lanjut menghubungi Sifa dan ketika itu kehebohan pun terjadi, sebab bukan prihatin yang Sifa tunjukkan melainkan rasa antusiasme saat dirinya diberitahu oleh Nesya perihal pernikahan mereka yang sebenarnya adalah sah.
Sahabat satu-satunya Nesya yang agak mesum itu malah menyemangati dirinya agar tetap mempertahankan pernikahan mereka. “Kapan lagi dapat lelaki tampan dan kaya seperti pangeran. Tubuhnya atletis, wangi, tinggi dan pastinya kuat, hehehe!” Imbuh Sifa, yang saat itu semakin mengompori Nesya dengan sengaja.
Nesya pun heran kenapa sikap ibu dan Sifa malah bertolak belakang dengan dirinya, akhirnya Nesya sepakat pada niat awalnya yang ingin menyelidiki keterlibatan Narra pada kematian Erwin.
Saat itu sudah mulai malam, ketika Nesya keluar dari kamar utama, dia mendapati Lisa disana.
“Lisa? Sejak kapan disini?” Tanya Nesya.
Lisa menunduk hormat sebelum menjawab, “Selamat malam, Nyonya. Aku di perintahkan oleh Tuan Muda Evan untuk mendampingi Anda di villa ini. Namun, maaf Tuan Muda berpesan agar Anda tidak menginap di kamar ini, karena beliau bisa saja pulang kemari dan ingin beristirahat disini.”
“Cih, siapa juga yang ingin tidur disini. Aku sendiri sudah betah berada di menara,” cicit Nesya kesal, seolah Evan mengira dirinya ingin sekali tidur di kamar itu bersama Evan.
Lisa pun hanya menganggukkan kepalanya lalu mengingatkan Nesya untuk makan malam.
“Lisa, aku ingin makan malam di ruang makan saja. Apa kah dia juga melarang itu?” Tanya Nesya yang langsung baper karena di larang menginap di kamar utama.
“Anda boleh makan dimana saja, Nyonya. Tuan Muda menginginkan agar Anda bisa makan dengan baik,” jawab Lisa tersenyum manis.
Lagi-lagi Nesya berdecih. “Dia seperti perhatian sekali padahal tidak sama sekali,” ucapnya, lalu bergegas membawa langkah kakinya mendahului Lisa.
***
Setelah selesai makan malam sendirian, Nesya memutuskan untuk mengunjungi Kiki di kamarnya, Lisa mengatakan bahwa kepala pelayan tersebut di tempatkan di sebuah kamar di bagian villa tersebut. Berbeda dengan pelayan lainnya yang di sediakan rumah sendiri yang letaknya terpisah dari villa, yaitu berada di belakang menara Nesya. Di rumah kecil tersebut, puluhan pelayan dan penjaga tinggal di satu atap namun terpisah antara laki-laki dan perempuan.
Nesya bukan sedang perhatian pada Kiki, dia hanya sedang melakukan misi detektifnya dan ingin memulainya dari kepala pelayan tersebut. Itu karena pada saat di rumah besar, Nesya melihat Kiki keluar dari ruangan yang sama dengan Bagaskara dan Arjun dalam kondisi menahan sakit di bagian pipinya seperti habis di tampar.
Lisa senantiasa berada di dekat Nesya, menyusuri lorong di sisi kanan villa tersebut hingga mereka berdua tiba di depan kamar pribadi Kiki. Lorong yang tak terlalu panjang itu terdapat bunga-bunga hias di bagian tepinya, beberapa lukisan pun terpajang di dindingnya. Suasananya tampak indah dan juga terawat dan hanya ada satu ruangan di lorong tersebut dan itu adalah kamar milik Kiki.
“Suara apa itu?” Nesya mendengar suara ribut-ribut dari arah bagian dalam kamar Kiki, ketika dirinya sudah berdiri di depan pintunya, tiba-tiba daun pintu itu terbuka dan keluar satu orang pelayan wanita dengan tergesa dengan raut wajah yang di tekuk. Rupanya Kiki baru habis memarahi pelayan tersebut.
Nesya tersenyum miring melihatnya, Kiki sudah seperti seorang majikan saja. “Dasar pelayan tak tahu diri,” rutuk Nesya di dalam hati.
Di saat yang bersamaan dengan keluarnya pelayan tadi, Nesya memutuskan untuk mendorong daun pintu yang belum sepenuhnya tertutup itu dan langsung masuk ke dalamnya. Ketika berada di dalam kamar, posisi Kiki sedang membelakangi Nesya, kepala pelayan tersebut terlihat sedang memijit kepala dengan dua tangan hingga akhirnya berbalik terkejut saat mendengar Nesya berbicara.
“Kamarmu bagus juga, ya. Apakah semua pelayan mendapatkan kamar sebagus ini?” Nesya melihat ke sekeliling kamar tersebut, luas dan bersih, juga sangat nyaman adalah definisi pertama yang dia lihat.
“Nyonya, kenapa Anda disini?” Kiki terkejut sampai terbelalak.
Sebelum menjawabnya, Nesya diam terlebih dahulu sambil menatap wajah Kiki yang terlihat sangat pucat dan memancing perhatian Nesya.
“Aku tak sengaja lewat dan akhirnya menemukan kamarmu, kenapa? Sebagai nyonya dirumah ini, aku berhak kan untuk datang kemari?”
Kiki diam saja tak bisa menjawab, tak dapat di pungkiri bahwa status Nesya di villa tersebut memanglah memiliki kuasa. Nesya tersenyum melihat wajah diam Kiki lalu mulai berjalan mengelilingi kamar tersebut, melihat-lihat perabotan di dalamnya sedangkan Kiki terus mengawasi dirinya, sebenarnya Nesya melakukan hal itu hanya untuk mencari sebuah petunjuk.
Dalam suasana sunyi itu tiba-tiba saja terdengar suara teriakan dari Lisa yang berdiri di dekat pintu membuat Nesya terlonjak kaget. “Kak Kiki! Ada darah yang mengalir dari tubuhmu!” Ia menunjuk kearah bawah tubuh Kiki yang kedua kakinya mengalir cairan berwarna merah. Nesya pun melakukan hal yang sama dan karena tak kuat melihat darah, tubuhnya pun jadi gemetaran.
“A–ada apa denganmu, Kiki? Apa kamu sedang sakit?” Tanya Nesya, mulai ketakutan melihat cairan merah kental tersebut yang tak hentinya keluar dari area intim Kiki. Saat itu, kepala pelayan tersebut sedang mengenakan piyama berbentuk dress tanpa celana.
Kiki terlihat panik hingga dadanya mulai naik turun sambil menatap kebawah, tak lama kemudian dirinya terjatuh dan tak sadarkan diri, membuat Nesya dan Lisa semakin panik.
“Lisa cepat bawa dia ke rumah sakit!” Ujar Nesya dengan cepat, lalu bergerak menghampiri Kiki yang terkapar tak berdaya sedangkan Lisa berlari cepat keluar kamar untuk memanggil bantuan.
Nesya mulai duduk berjongkok dan menepuk-nepuk pipi Kiki dengan pelan sambil terus mencoba memanggil nama pelayan tersebut. “Kiki, bangun.” Saat kembali melihat cairan merah itu, tubuh Nesya mulai berkeringat dingin.
Kiki tak merespon sama sekali, tak mungkin juga dia berakting sebab cairan merah itu sudah menunjukkan bahwa sesuatu yang tidak baik sedang terjadi pada dirinya.
Tak berselang lama, Lisa kembali membawa dua orang pria penjaga dan Nesya langsung memerintahkan keduanya untuk mengangkat tubuh Kiki lalu membawanya ke rumah sakit terdekat.
Setelah Kiki di masukkan kedalam mobil, Nesya yang merasa khawatir memutuskan untuk ikut saja menemani Kiki kerumah sakit. Saat ia sudah berada di dalam salah satu mobil milik suaminya itu, seorang pelayan datang lalu menyodorkan sebuah map kepadanya.
“Maaf, Nyonya. Ini adalah berkas medis milik Kiki, sudah beberapa kali dia kerumah sakit membawa berkas ini.”
Nesya pun segera menyahut map berwarna cokelat tersebut. “Baiklah terima kasih,” ucapnya, lalu mulai meminta supir untuk tancap gas.
Di perjalanan itu, Nesya terus memperhatikan wajah Kiki yang terpejam masih tak sadarkan diri, penasaran, ia pun membuka map berisi berkas medis milik Kiki tersebut.
Terdapat beberapa benda di dalam map tersebut yang Nesya keluarkan seluruhnya, ada beberapa lembar kertas putih yang tak ia pahami isinya dan sebuah buku berwarna merah muda dengan gambar seorang ibu, ayah dan anak balita. Nesya pun memilih untuk membuka buku tersebut dan tak sengaja menjatuhkan sesuatu yang terselip di dalam bukunya. Belum sempat ia membaca isi bukunya karena Nesya lebih tertarik pada benda hitam putih yang terjatuh diatas pangkuannya tersebut.
Kening Nesya mengernyit saat tangan kirinya mengangkat selembar benda berukuran sangat kecil tersebut, sesaat kemudian ia tersadar ketika ingat pernah melihat benda tersebut dari tontonan di televisi bahwa itu merupakan hasil usg dari perempuan yang sedang mengandung. Kedua mata Nesya mengerjap-ngerjap mencoba menyadarkan dirinya dan akhirnya tahu bahwa Kiki tengah dalam keadaan mengandung.
“Jadi dia sudah menikah? Rupanya ada juga lelaki yang mau padanya.” Sempat-sempatnya ia meledek, padahal Kiki sedang dalam kondisi tak sadarkan diri.
Sesaat kemudian, Nesya pun penasaran siapa kah gerangan suaminya Kiki, sambil bertanya-tanya di dalam hati, tangannya bergerak membuka lembaran buku yang masih ia pegang sejak tadi. Saat membuka lembarannya, terdapat tulisan yang berisi catatan riwayat kehamilan Kiki. Namun, bukan itu yang menarik perhatian Nesya melainkan sebuah keterangan yang tertera disana.
“Nama Ibu, Kiki Lestari, nama Ayah…” Kedua mata Nesya membesar, nyaris mengeluarkan isinya saat membaca nama itu dengan jelas.
“Tuan Bagaskara…?” Seketika itu juga buku tersebut terlepas dari pegangan tangannya dan Nesya nyaris syok sambil menatap Kiki yang terduduk lemah di sebelahnya dengan rasa tak percaya.
𝚜𝚞𝚊𝚖𝚒𝚗𝚢𝚊 𝚔𝚊𝚗 𝚙𝚎𝚖𝚋𝚒𝚜𝚗𝚒𝚜 𝚍𝚒 𝚒𝚖𝚋𝚊𝚗𝚐𝚒 𝚍𝚒𝚔𝚒𝚝 𝚌𝚎𝚠𝚛𝚔𝚗𝚢𝚊 𝚜𝚎𝚍𝚒𝚔𝚒𝚝 𝚋𝚊𝚍𝚊𝚜 𝚝𝚑𝚞𝚛