Di balik tirai kemewahan dan kekuasaan, Aruna menyembunyikan luka yang tak terobati, sebuah penderitaan yang membungkam jiwa. Pernikahannya dengan Revan, CEO muda dan kaya, menjadi penjara bagi hatinya, tempat di mana cinta dan harapan perlahan mati. Revan, yang masih terikat pada cinta lama, membiarkannya tenggelam dalam kesepian dan penderitaan, tanpa pernah menyadari bahwa istrinya sedang jatuh ke jurang keputusasaan. Apakah Aruna akan menemukan jalan keluar dari neraka yang ia jalani, ataukah ia akan terus terperangkap dalam cinta yang beracun?
Cerita ini 100% Murni fiksi. Jika ada yang tak suka dengan gaya bahasa, sifat tokoh dan alur ceritanya, silahkan di skip.
🌸Terimakasih:)🌸
IG: Jannah Sakinah
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon jannah sakinah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15
Aku minta maaf, Revan,” ujar Aruna, suaranya penuh penyesalan. “Tapi ini adalah keputusan yang harus aku ambil. Aku harus melanjutkan hidupku, tanpa rasa takut, tanpa bayangan masa lalu. Aku harus pergi.”
Revan terdiam sejenak. Ia tahu bahwa ia tidak bisa lagi memaksa Aruna untuk tetap bersamanya. Dengan suara yang berat, ia berkata, “Aku akan menunggumu, Aruna. Aku akan selalu menunggu.”
Namun, Aruna tahu bahwa ia tidak bisa menunggu lagi. Ia sudah terlalu lama menunggu. Sekarang adalah waktunya untuk membuat keputusan yang benar-benar untuk dirinya sendiri.
Dengan hati yang berat, Aruna menutup telepon itu. Ia merasa seperti baru saja mengakhiri sebuah babak besar dalam hidupnya. Setelah beberapa detik, ia menatap langit lagi, merasa seolah-olah sebuah beban berat telah lepas dari pundaknya, namun masih ada rasa kehilangan yang mendalam. Ia tahu bahwa perjalanan hidupnya belum selesai. Ia tahu bahwa ada masa depan yang lebih cerah menunggunya—meskipun itu mungkin penuh dengan ketidakpastian.
Namun, ada satu hal yang pasti: ia tidak akan kembali. Ia tidak akan terjebak dalam kisah lama yang penuh dengan luka dan air mata. Aruna akhirnya merasa kuat, siap untuk menghadapi dunia dengan cara yang baru.
Sore itu, dengan langkah yang penuh tekad, Aruna memutuskan untuk menemui Rio. Ia tahu, meskipun perjalanan hidupnya masih panjang dan penuh liku, Rio adalah bagian dari masa depan yang ingin ia ciptakan. Sebuah masa depan yang lebih terang, lebih baik, dan lebih penuh dengan harapan.
Sementara itu, Revan tetap berada dalam kesendiriannya, menunggu, namun ia tahu bahwa perjuangannya telah berakhir. Semua yang ia lakukan untuk mempertahankan cinta Aruna, meskipun tulus, tidak bisa mengubah kenyataan. Aruna telah membuat pilihannya, dan ia harus menghormati itu.
Hari-hari berlalu begitu cepat, dan Aruna merasa seperti sedang berjalan di atas tali yang sangat tipis. Keputusan yang ia buat untuk meninggalkan Revan dan memilih melangkah maju bersama Rio mulai menumbuhkan rasa damai dalam dirinya, meskipun ada bagian dari dirinya yang masih belum sepenuhnya sembuh. Cinta itu, meskipun tidak lagi mengikatnya dalam rasa sakit, masih memiliki bekas yang tak mudah hilang.
Aruna tahu, ia harus menemukan jalan baru untuk dirinya sendiri—jalan yang tidak dipenuhi oleh bayang-bayang masa lalu, jalan yang penuh dengan kemungkinan dan kebebasan. Meski begitu, ada satu hal yang terus menghantui pikirannya: Revan.
Revan yang pernah menjadi segala-galanya, yang membuatnya merasakan cinta yang begitu dalam, juga telah menjadi bagian dari luka yang harus ia sembuhkan. Cinta yang menyakitkan, cinta yang penuh dengan penantian, kecemburuan, dan ketidakpastian. Revan tetap diingatnya, meskipun ia tahu ia tidak bisa kembali ke pelukannya.
Di sisi lain, ada Rio pria yang selalu ada, yang hadir dengan cinta tanpa syarat. Rio yang memberi ruang bagi Aruna untuk berkembang dan memilih tanpa tekanan. Namun, meskipun Aruna merasa tenang dan nyaman bersamanya, hatinya masih terasa terikat pada kenangan yang tak terhapuskan.
Pada suatu malam, setelah seharian penuh dengan aktivitas, Aruna duduk di balkon apartemennya. Ia menatap bintang yang bersinar di langit, dan sejenak pikirannya melayang jauh. Pikirannya kembali kepada Revan, kepada percakapan terakhir mereka. Ia masih ingat jelas bagaimana suara Revan terdengar begitu penuh dengan penyesalan dan keputusasaan. Namun, meskipun begitu, Aruna tahu bahwa ia tidak bisa kembali ke dunia yang telah penuh dengan luka itu.
Ponselnya bergetar, mengalihkan perhatiannya. Aruna melihat nama yang muncul di layar. Rio.
Aruna tersenyum kecil, merasa hangat di hatinya. Rio selalu tahu kapan ia membutuhkan dukungan. Dengan cepat, ia mengangkat telepon.
"Halo?" Suara Aruna terdengar lembut.
"Hei, sayang. Lagi apa?" tanya Rio, nada suaranya hangat dan penuh perhatian. “Aku cuma mau memastikan kamu baik-baik saja.”
Aruna menghela napas ringan. "Aku baik-baik saja. Hanya saja sedikit lelah dengan semuanya. Banyak yang harus aku pikirkan akhir-akhir ini."
“Aku tahu kamu sedang melalui banyak hal, Aruna,” jawab Rio, suara rendah dan penuh pengertian. “Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku ada untukmu, apapun yang terjadi. Jangan ragu untuk memberi tahu aku jika ada yang ingin kamu bicarakan.”
Aruna merasa begitu dihargai oleh Rio. Setiap kata yang keluar dari mulut pria itu memberikan ketenangan yang sudah lama ia cari. Meskipun hatinya masih bergejolak karena bayang-bayang masa lalu, Rio selalu ada untuk menenangkan dan memberinya ruang untuk menjadi dirinya sendiri. Rio tidak pernah memaksanya untuk menjadi apa yang ia tidak ingin menjadi.
"Aku tahu, Rio," jawab Aruna dengan suara yang lebih lembut. "Aku hanya merasa seperti ada yang belum selesai, tapi aku ingin berjalan ke depan. Aku ingin mengatasi rasa sakit ini dan akhirnya membiarkan diriku bahagia."
"Aku akan selalu ada di sini, Aruna. Tidak ada yang perlu kamu takutkan. Kita akan bersama melewati ini, satu langkah demi satu langkah."
Mendengar kata-kata itu, Aruna merasa beban di hatinya sedikit menghilang. Ia tahu, meskipun ia belum sepenuhnya sembuh dari luka lama, dengan Rio di sisinya, ia bisa menemukan cara untuk memperbaiki dirinya dan membangun masa depan yang lebih baik.
Namun, keesokan harinya, sebuah kejadian tak terduga terjadi yang mengguncang seluruh ketenangan yang telah Aruna bangun. Pagi itu, saat Aruna sedang menyiapkan sarapan di dapur, tiba-tiba pintu apartemennya diketuk. Dengan langkah ragu, ia membuka pintu dan terkejut melihat siapa yang berdiri di sana Revan.
Aruna terdiam, matanya menatap pria yang dulu pernah sangat ia cintai. Revan tampak berbeda lebih lelah, lebih dewasa, tetapi masih membawa tatapan yang sama, tatapan yang penuh harapan.
"Aruna," suara Revan terdengar berat. "Aku tahu ini salah. Aku tahu aku seharusnya tidak datang ke sini, tetapi aku tidak bisa berhenti berpikir tentangmu. Aku tidak bisa hidup dengan rasa ini. Aku datang bukan untuk meminta kembali cinta kita, tetapi untuk memberi penutupan. Aku ingin kamu tahu bahwa aku menyesal atas semua yang terjadi, dan aku ingin kamu bahagia, dengan atau tanpa aku."
Aruna merasakan hatinya bergetar mendengar kata-kata itu. Rasa sakit yang sudah lama terkubur muncul kembali. Namun, ia berusaha menenangkan dirinya. "Revan, kamu sudah datang terlalu terlambat. Aku sudah memutuskan untuk berjalan maju, meskipun itu sulit."
Revan mengangguk perlahan, menatap Aruna dengan penuh keikhlasan. "Aku tahu, Aruna. Aku tidak akan pernah memaksamu untuk kembali. Tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku akan selalu mencintaimu. Mungkin bukan sebagai suami, tapi sebagai seseorang yang selalu berharap kamu bahagia."