DUDA GALAK JATUH CINTA
Nala, Gadis remaja berusia 18 tahun yang terbilang cukup cantik dan manis. Sayangnya, gadis berambut panjang itu terhalang oleh modal untuk menunjang kecantikannya.
Walau begitu, Nala tetap bersyukur dan menerima hidupnya yang biasa saja. Terlahir dari rahim wanita yang bersuamikan tukang nasi goreng keliling.
Nala yang tumbuh hanya bersama dengan ayahnya itu menjadi gadis yang sedikit tomboi. Mungkin akan berbeda kalau ibunya masih ada untuk merawat dan membesarkannya.
Ya, ibu Nala (Rahma) telah lama tiada karena terkena serangan jantung saat adiknya sendiri menipunya sehingga harus meninggalkan hutang yang cukup banyak untuk Bobi, suaminya.
Seno, adik Rahma dengan berani meminjam uang ke rentenir dengan jaminan surat rumah Bobi dan Rahma yang ia curi.
Bahkan setelah mengambil rumah Bobi itu belum cukup untuk melunasi hutang dan bunganya.
Tidak mau tau, rentenir itu meminta pada Bobi untuk melunasi hutang Seno atau Nala akan mereka ambil untuk membayar hutang.
Setelah rumah Bobi terampas, Seno seperti hilang ditelan bumi. Bobi tak dapat menemukannya walau sudah mencari.
****
Setelah bertahun-tahun.
Malam itu, gerimis kecil sedikit membasahi topi Nala dan Bobi yang sedang berbahagia. Berjalan bersama dengan mendorong gerobak nasi goreng yang terasa sangat ringan untuk didorongnya pulang ke rumah. Dagangannya laris manis dan habis lebih awal.
Bobi dan Nala baru saja melunasi hutang Seno, terasa lega dan dapat menghirup aroma kehidupan setelah ini, Nala berharap kalau kehidupannya akan lebih baik dan dapat melanjutkan sekolahnya ke perguruan tinggi tahun depan.
"Ayah, tahun ini kita bisa menabung untuk Nala kuliah, bukan?" tanya Nala dengan senangnya. Matanya berbinar, bibirnya tersenyum manis membuat Bobi tidak tega untuk mengatakan 'tidak'.
Bobi yang mendengar pertanyaan dari Nala yang sebenarnya adalah permintaan pertamanya itu merasa terenyuh.
"Kasihan kamu, Nak. Selama ini kamu sangat mengerti dan tidak pernah meminta apapun, maafkan ayah, sayang!" batin Bobi, matanya berkaca, dalam hati ia akan lebih semangat lagi untuk menjalani hidup demi buah hatinya.
Ya, karena selama ini hidup Bobi hanya untuk membayar hutang pada rentenir, hutang adik iparnya yang sangat mencekik kehidupan Bobi dan Nala.
Nahas, malam bahagia itu menjadi malam pilu saat tiba-tiba ada kendaraan yang menabrak gerobak Bobi yang sedang menyebrang jalan.
"Aaaaaaaa!" teriak Nala dan Bobi bersamaan saat terpental.
Beruntung, Nala hanya mengalami luka lecet di dahi, lengan dan kaki, berbeda dengan Bobi yang mengalami kecelakaan berat. Bobi terpental dan harus kembali tertabrak oleh kendaraan dari arah berlawanan.
"Ayah!" teriak Nala yang sempat melihat ayahnya terpental dan tertabrak oleh mobil bak.
Kemudian, pemilik mobil itu yang ternyata seorang wanita turun dan berteriak meminta pertolongan.
"Wiuwiuwiuwiu," suara sirine ambulan yang membawa Nala dan Bobi.
****
Di rumah sakit, di saat kritisnya, Bobi meminta pertanggung jawaban wanita paruh baya itu untuk menjaga Nala.
"Bu, tolong jaga anak saya. Anak saya tidak mempunyai siapa-siapa lagi," lirih Bobi. Setelah mengucapkan kalimat itu, Bobi sudah tidak bernyawa lagi.
"Ayah!" teriak Nala, seketika kehidupannya kembali gelap, hatinya kembali berwarna abu-abu, baru saja ia merasakan kelegaan dalam hidupnya dan sekarang ia harus kembali menelan pil pahit yang lebih pahit dari sebelumnya.
Nala merasa kalau hidup sangat tidak adil padanya. Seolah tak mengizinkannya untuk bahagia walau sekejap.
Nala seperti tak mengerti apa yang sedang terjadi. Ia hanya bisa diam, menundukkan kepala dan tidak tau lagi harus berbuat apa setelah ini.
Amira berhasil membawa Nala pulang ke rumahnya yang besar bak istana, membuat Nala menghentikan langkah kakinya di pintu masuk.
"Apa aku yakin akan tinggal bersama dengan orang yang membuat ayahku meninggal? Apa aku akan kuat melihat wanita ini setiap harinya?" tanya Nala dalam hati.
"Nak, ayo masuk. Setelah pemakaman, kamu pasti lelah, ayo... istirahat dulu," ajak Amira seraya menyentuh lengan Nala.
"Ck," decak Nala seraya melepaskan tangan Amira dari lengannya.
"Kenapa anda membawa ku kemari?" tanya Nala seraya menatap dingin wajah Amira yang pucat. Ya, Amira juga merasa sedih dan merasa sangat bersalah karena telah menghilangkan nyawa seseorang.
"Saya akan bertanggung jawab," lirih Amira, menatap Nala dengan tatapan bingung.
"Kenapa? Apakah orang miskin seperti saya tidak dapat menuntut anda di meja hijau? Hah! Sudah pasti laporan saya ditolak atau akan kalah dipersidangan karena melawan orang yang ber-uang seperti anda, bukan?" geram Nala, gadis yang sudah berkaca itu ingin mengeluarkan semua kekesalannya, amarahnya, kebenciannya.
"Tidak, kalau kamu memang berniat menuntut saya, saya akan terima itu, saya akan menerima hukumannya," ujar Amira seraya menggenggam kedua tangan Nala.
Belum sempat Nala menimpali perkataan Amira, sudah datang Dhevan yang baru saja pulang lembur dari kantor.
"Ada ribut-ribut apa ini, Mah?" tanya Dhevan yang biasa di sapa Dhev.
"Dhev, ini urusan mamah. Masuk!" perintah Amira.
Tetapi, Dhevan yang merasa perduli dengan ibunya itu menolak untuk masuk, justru pria itu memandang rendah Nala.
Dhev menatap dari ujung kaki ke ujung kepala Nala, terlihat banyak luka lecet membuat Dhev berpikir kalau Nala akan memperalat Amira.
"Untuk apa kamu masih di sini? Kamu akan memperalat Mamah saya? Akan meminta pertanggung jawaban karena lecet ini ia?" tunjuk Dhev ke arah luka Nala.
"Dhev. Hentikan!" kata Amira.
Sementara Nala, hatinya sakit semakin sakit setelah mendengar ucapan Dhev.
"Apakah saya terlihat seperti itu? Bahkan untuk menginjakkan kaki saya di rumah ini saja enggan, jangan berburuk sangka, Tuan!" ucap Nala dengan tatapan mata tajamnya.
Amira memijit kepalanya yang semakin pusing, sedangkan Dhev belum berhenti juga.
"Lalu, untuk apa kamu masih di sini?" tanya Dhev dengan tatapan tak kalah tajam.
Mengerti dengan ucapan Dhev membuat Nala melangkahkan kakinya keluar dan Amira tidak tinggal diam.
"Nala, tunggu! Tolong dengarkan saya, saya mohon!" ucap Amira dengan bersujud di bawah kaki Nala.
Tidak lama kemudian, Nala yang lelah dan depresi itu jatuh dan dengan sigap Amira memangkunya.
Amira berteriak memanggil nama anaknya, "Dhev, cepat bantu Mamah!"
"Merepotkan!" ucap Dhev seraya mendekat.
"Kenapa, Mah. Kan ada security," jawab Dhev yang sudah berdiri di depan Amira.
"Cepat angkat! Bawa ke kamar Nindy!" teriak Amira dengan air mata yang deras mengalir.
Ya, Amira mengerti perasaan Nala yang baru saja ditinggal pergi untuk selamanya oleh orang yang sangat dicintai.
"Kenapa sih, emang siapa sih nih anak, bikin repot aja!" gerutu Dhev dalam hati. Walau begitu, Dhev melakukan apa yang diperintahkan oleh Amira.
Dhev membawa Nala ke kamar Nindy, adiknya.
Bersambung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 162 Episodes
Comments
Sarini Sadjam
dirm lu dev gw kuncir tu mulut
2023-09-20
1
Berdo'a saja
diawal
2023-09-02
0
™🄼🄴🄸 ᥫ᭡᭄⃟ᶠᵒˡˡᵐᵉ ᶠᵒˡˡᵇᵃᶜᵏ
yang tabah ya Nala😟
2023-06-24
0