Kehidupan Zenaya berubah menyenangkan saat Reagen, teman satu kelas yang disukainya sejak dulu, tiba-tiba meminta gadis itu untuk menjadi kekasihnya.
Ia pikir, Reagen adalah pria terbaik yang datang mengisi hidupnya. Namun, ternyata tidak demikian.
Bagi Reagen, perasaan Zenaya tak lebih dari seonggok sampah tak berarti. Dia dengan tega mempermainkan hati Zenaya dan menginjak-injak harga dirinya dalam sebuah pertaruhan konyol.
Luka yang diberikan Reagen membuat Zenaya berbalik membencinya. Rasa trauma yang diberikan pria itu membuat Zenaya bersumpah untuk tak pernah lagi membuka hatinya pada seorang pria mana pun.
Lalu, apa jadinya bila Zenaya tiba-tiba dipertemukan kembali dengan Reagen setelah 10 tahun berpisah? Terlebih, sebuah peristiwa pahit membuat dirinya terpaksa harus menerima pinangan pria itu, demi menjaga nama baik keluarga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kim O, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2 : Rencana Konyol.
Zenaya menajamkan indera pendengarannya ketika mendengar bunyi pantulan bola dan decitan sepatu yang muncul dari dalam lapangan indoor di pagi nan sepi ini. Demi memenuhi rasa penasaran, gadis yang baru datang ke sekolah itu memutuskan untuk membuka pintu lapangan basket. Namun, kejadian berlangsung begitu cepat, ketika sebuah bola tiba-tiba melesat mengenai dahi Zenaya.
Zenaya terhuyung, tubuhnya nyaris tersungkur dan pandangan matanya memburam seketika.
"Kamu tidak apa-apa?"
Zenaya yang masih merasa pusing sontak mengangkat kepalanya begitu mendengar suara lelaki yang sangat familiar.
"Kamu pasti sensitif sekali. Dahimu yang terkena bola, tetapi seluruh wajahmu ikut memerah." Reagen yang berdiri kurang dari setengah meter di hadapan Zenaya tiba-tiba menyentuh dahinya.
Terkejut dengan tindakan Reagen, Zenaya refleks menepis tangannya dan memalingkan wajah. "Ma–maaf," ucap Zenaya terbata-bata.
Reagen menaikkan sebelah alisnya. "Dasar aneh!"
Zenaya menatap Reagen heran, tampak tidak mengerti kenapa Reagen selalu saja menyebut dirinya aneh setiap kali mereka berpapasan.
"Akulah yang melukaimu, tapi malah kamu yang selalu meminta maaf padaku seperti halnya kemarin." Lelaki itu meneruskan kalimatnya.
Zenaya tersentak seketika, sebab Reagen ternyata masih mengingat dirinya.
"Kamu benar tidak apa-apa?" tanya Reagen sekali lagi.
Zenaya mengangguk canggung. "Maaf kalau kegiatan pagimu terganggu, aku permisi dulu." Gadis itu tersenyum tipis lalu bergegas pergi meninggalkannya.
Reagen hanya bisa menatap kepergian Zenaya tanpa berniat menahannya, padahal dia belum meminta maaf pada gadis itu.
"Eh, kamu kenapa, Zen?" Alice hampir saja kehilangan keseimbangan, ketika Zenaya berlari masuk ke kelas dan langsung memeluk erat dirinya.
"Loh, keningmu kenapa merah begitu?" tanyanya lagi dengan raut terkejut saat mendapati keanehan di kening sang sahabat.
Zenaya tersenyum sembari mengelus dahinya yang masih terlihat memar. "Entahlah, aku harus bersyukur atau tidak telah mendapatkan ini."
Mendengar jawaban Zenaya, Alice mengerutkan keningnya dalam-dalam. "Hah? Maksudmu apa?"
Zenaya menggeleng lalu terkikik kecil dan memeluk Alice kembali. " Dia ingat padaku!" bisiknya di telinga sang sahabat.
"Ingat apa? Siapa?" tanya Alice masih tak mengerti.
Zenaya lagi-lagi melepas pelukannya. "Nanti saja." Dia meletakkan jari telunjuknya ke bibir Alice, sebelum kemudian duduk di kursinya sendiri.
Alice menatap Zenaya dengan pandangan aneh. "Kurangi membaca buku-buku yang rumit, otakmu sudah mulai geser!" cetusnya gadis itu.
...***...
"Wah, datang juga kamu, Bro!" seru Leon, siswa tampan berpenampilan urakan saat Reagen masuk ke dalam markas kecil mereka di rooftop sekolah.
Reagen enggan menanggapi tingkah sok akrab Leon, ia lebih memilih duduk di sebelah Zack yang sedang sibuk memainkan game.
"Sudah dua hari kamu tidak berkumpul di sini. Kenapa, bro?" tanya Zack tanpa mengalihkan pandangannya dari layar televisi.
"Tidak apa-apa." Jawab Reagen singkat. Ia hanya menonton aksi Zack bermain game sendirian, sementara Xander tengah asyik menelepon di pojok ruangan. Lelaki itu pasti sedang menelepon Sherly, kekasihnya yang baru duduk di kelas satu.
Tidak lama berselang, Bryan datang bersama Natalie sembari membawa dua buah kantong plastik besar.
"Akhirnya datang juga! Untung aku beli makan siang lebih." Bryan menendang tangan Zack agar tidak berpangku pada meja, lalu meletakkan plastik tersebut di atasnya.
Tanpa menghiraukan kata-kata kasar Zack, Bryan mengeluarkan seluruh makanan dan minuman yang baru saja dibelinya dari dalam kantong plastik.
Natalie mengambil kesempatan untuk duduk di sebelah Reagen, begitu Zack mematikan game-nya dan beralih pada makanan yang dibawa Bryan.
"Kita makan berdua, ya? Aku tidak akan bisa menghabiskan satu porsi sendirian," ujar Natalie dengan suara selembut mungkin. Gadis itu mengambil seporsi makanan instan dan membukanya. Kepulan asap dari makanan tersebut sukses menghipnotis indera penciuman orang-orang yang ada di sana.
"Aku bisa makan sendiri." Reagen berusaha mengambil sendok dari tangan Natalie, tetapi gadis itu menolak. Dia malah mengambil sesendok makanan tadi dan mengarahkannya pada mulut Reagen setelah meniupnya beberapa kali.
Reagen mau tak mau menerima suapan Natalie.
"Cih, kalian ini selalu saja bermesraan, tapi tidak pernah mengikrarkan janji untuk menjadi sepasang kekasih!" sahut Zack dengan mulut penuh makanan. Lelaki itu tengah duduk di lantai sembari menikmati makanannya sendiri.
Natalie menatap sinis Zack lalu dengan beringas menendang makanan lelaki itu.
"Brengsek!" umpat Zack kasar. Hampir saja kakinya tersiram kuah panas jika dia tidak sigap menahannya.
"Ada saatnya. Kami sedang menikmati masa-masa seperti ini dulu!" seru Natalie sinis.
Zack tertawa. "Itu sih, menurutmu, tapi tidak dengan Rey." Lelaki itu melirik Reagen yang tampak tidak ingin ikut dalam obrolan mereka berdua.
"Sok tahu sekali kamu!" Natalie menoleh pada Reagen. "Coba katakan pada manusia-manusia gila yang ada di ruangan ini, bahwa kita memang sedang pendekatan. Iya, kan?" Natalie meminta persetujuan Reagen.
Reagen hanya terdiam. Lelaki itu malah mengambil sendok dari tangan Natalie.
Natalie mengerutkan keningnya saat tidak ada satu kata pun yang keluar dari mulut lelaki pujaannya tersebut. Dia tampak sangat marah begitu mendengar suara tawa Zack yang tengah mengejeknya.
"Zack, hentikan tawamu!" tegur Bryan yang sedari tadi hanya memperhatikan tingkah ketiganya.
Baru saja Natalie hendak menghampiri Zack, teriakan Xander mengalihkan perhatian mereka.
"Gila, gila, gila! Kalian tahu Mona, anak kelas dua berpenampilan culun, tetapi memiliki bokong yang seksi itu?" tanya Xander tiba-tiba.
"Kenapa?" Bryan balik bertanya.
"Gadis itu dijadikan taruhan oleh Dave dan kawan-kawannya, Bro! Parahnya lagi, si brengsek itu menang dan berhasil meniduri Mona!" Xander tertawa keras setelah mengatakan hal tersebut.
"Gadis tolol!" umpat Natalie sebelum kemudian ikut tertawa. Zack dan Leon tak kalah terpingkalnya dengan Xander, hanya Reagen dan Bryan saja yang tidak tertawa dan menatap mereka datar.
Jika saja keduanya bukan berada di tim basket yang sama, mustahil mereka sudi bergabung dengan orang-orang brengsek itu.
Xander menghentikan tawanya. "Eh, bagaimana kalau kita juga membuat permainan yang sama?" usul lelaki itu tiba-tiba.
"Gila!" umpat Zack.
"Ya tidak perlu sampai sejahat itu. Kita cuma akan memainkan peran sebagai kekasih palsu saja selama satu semester!" kilah Xander. "Ya, tapi kalau mau seperti Mona sih, tidak apa-apa juga." Tawa keras kembali keluar dari mulut Xander.
Reagen mengeratkan genggaman tangannya pada sendok yang dia pegang. Seorang gadis baru saja dihancurkan masa depannya dan mereka semua malah menertawakan hal tersebut. Belum lagi salah satu dari mereka berniat melakukan permainan yang hampir sama.
"Gadisnya?" tanya Leon.
"Jangan orang terdekat atau yang kita kenal, tidak akan seru! Bagaimana kalau diacak saja? Setuju semua?" Xander menatap semua orang yang ada di sana.
"Jadi, kalau Reagen yang kena, dia harus berpacaran dengan gadis random pilihan kalian?" tanya Natalie.
Xander menganggukkan kepalanya dengan semangat.
Natalie tidak terima. Dia pun berdiri dari tempat duduknya. "Enak saja! Aku tidak akan pernah rela!" Mata gadis itu memicing sinis pada Xander, sebelum kemudian beralih pada Reagen. "Kamu mau ikut permainan sialan mereka?" tanya Natalie geram.
Reagen mengembuskan napasnya lalu ikut berdiri. "Aku akan kembali ke kelas. Hentikan rencana konyol kalian!" Lelaki itu pun pergi meninggalkan ruangan.
Natalie tersenyum sinis pada Xander dan menyusul Reagen keluar.
Mengetahui kepergian sahabatnya, Bryan pun ikut keluar dari ruangan itu. "Bereskan semua ini, bro!" perintahnya sebelum menutup pintu.
"Sialan!" umpat Xander. "Kalau bukan karena cantik dan anak dari pemilik yayasan ini, sudah kutendang dia dari sisi Reagen." Mata Xander menatap nyalang pintu ruangan, tempat di mana Natalie keluar tadi.
"Eh, bagaimana kalau kita buat Reagen yang menjalani permainan ini." Zack dengan raut wajah licik merangkul Xander.
"Caranya?" tanya Xander.
"Lihat saja nanti." Jawab Zack tersenyum penuh arti.