NovelToon NovelToon
MY FORBIDDEN EX-BOYFRIEND

MY FORBIDDEN EX-BOYFRIEND

Status: sedang berlangsung
Genre:Menikah dengan Musuhku / Cinta Terlarang / Murid Genius / Romansa / Fantasi Wanita / Enemy to Lovers
Popularitas:4.4k
Nilai: 5
Nama Author: NonaLebah

Jessy Sadewo memiliki segalanya: kecantikan mematikan, kekayaan berlimpah, dan nama yang ditakuti di kampus. Tapi satu hal yang tak bisa dia beli: Rayyan Albar. Pria jenius berotak encer dan berwajah sempurna itu membencinya. Bagi Rayyan, Jessy hanyalah perempuan sombong.

Namun, penolakan Rayyan justru menjadi bahan bakar obsesi Jessy. Dia mengejarnya tanpa malu, menggunakan kekuasaan, uang, dan segala daya pesonanya.

My Forbidden Ex-Boyfriend adalah kisah tentang cinta yang lahir dari kebencian, gairah yang tumbuh di tengah luka, dan pengorbanan yang harus dibayar mahal. Sebuah roman panas antara dua dunia yang bertolak belakang, di mana sentuhan bisa menyakitkan, ciuman bisa menjadi racun, dan cinta yang terlarang mungkin adalah satu-satunya hal yang mampu menyembuhkan — atau justru menghancurkan — mereka berdua.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NonaLebah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 1

Matahari menyengat di atas aspal Jakarta yang lembab oleh polusi dan bau bensin. Suara klakson dan deru mesin menjadi soundtrack yang tak pernah absen. Di sebuah sudut jalan, tidak jauh dari gerbang kampus Universitas Baratha, berdiri sebuah kedai roti kecil. "Kedai Roti Maryam" terpampang sederhana di papan nama yang sudah kusam dimakan cuaca. Aroma mentega hangat dan kayu manis berusaha bertahan melawan bau kota, menjadi oasis kecil bagi para mahasiswa yang lapar dan para pejalan kaki.

Di dalam kedai itu, Ibu Maryam—wanita paruh baya dengan wajah yang mulai dihiasi garis-garis lelah—sedang membersihkan meja. Tangannya yang berurat membersihkan sisa-sisa remah roti dengan kain lap yang sudah basah. Beberapa bangku kayu sederhana untuk tempat makan outdoor berjejer rapi di tepi trotoar, menjadi tempat favorit bagi mereka yang ingin menikmati roti sembari menonton riuh rendah ibu kota.

Tiba-tiba, sebuah suara menggeram memecah kesibukan. Sebuah mobil sport mewah berwarna putih, mengkilap dan terlihat terlalu mewah untuk jalanan sempit itu, melaju terlalu cepat dan terlalu dekat dengan tepian.

SCRAAAPE!

Suara logam beradu dengan kayu yang pecah bergema nyaring, memekakkan telinga. Dua bangku kayu outdoor milik kedai terseret dan hancur berantakan di bawah roda mobil, remuk menjadi serpihan dan potongan.

Mobil itu berhenti mendadak. Sunyi sejenak, lalu pintunya terbuka.

Dari dalam mobil, muncullah tiga gadis muda. Mereka berpakaian branded, tas mereka saja mungkin setara dengan penghasilan kedai itu berbulan-bulan. Yang paling mencolok adalah gadis yang duduk di kursi penumpang depan. Jessy Sadewo. Wajahnya cantik, tapi dihiasi senyum sinis dan tatapan yang merendahkan. Dia melongok ke arah kerusakan yang dibuat mobilnya, tidak dengan panik, tapi dengan ekspresi jengkel, seperti melihat sampah yang mengotori sepatunya.

Ibu Maryam bergegas keluar, wajahnya pucat pasi. Matanya membelalak melihat bangku-bangkunya yang sudah tak berbentuk. Tangannya, yang masih memegang kain lap, bergetar hebat.

"Astaga..." ucap Ibu Maryam, suaranya gemetar, nyaris tak terdengar.

Jessy hanya meliriknya. Tanpa secuil pun rasa bersalah, dia membuka dompet kulitnya yang elegan. Dengan gerakan jari yang acuh, dia mengeluarkan segepok uang ratusan ribuan.

"Sorry ya, Bu," ucap Jessy, santai. Suaranya datar, tanpa nada penyesalan. Dia melangkah mendekat dan melemparkan uang itu begitu saja ke arah Ibu Maryam. Uang-uang itu berhamburan, ada yang jatuh di lantai trotoar yang kotor, ada yang nyaris terjatuh ke selokan. "Dua juta cukup kan buat ganti rugi?"

Dia terkekeh kecil. Dua teman di belakangnya ikut tertawa, suara mereka nyaring dan menusuk, seakan baru saja menyaksikan sebuah lelucon lucu. Mereka memandangi Ibu Maryam yang masih terdiam membeku, tubuhnya gemetar, tak mampu mengeluarkan sepatah kata pun. Rasa malu, shock, dan ketidakberdayaan bercampur aduk di raut wajahnya yang lelah.

Jessy tak peduli. Dia sudah berbalik, berjalan kembali ke mobil mewahnya dengan lenggak-lenggok, seolah segalanya sudah selesai. Pintu mobil dibanting, mesin menderu, dan mobil itu melesat pergi, meninggalkan kehancuran dan seorang perempuan tua yang tercabik harga dirinya.

Persis saat mobil itu menghilang di ujung jalan, sebuah motor beat tua yang catnya sudah kusam melambat dan berhenti di depan kedai.

Rayyan Albar baru saja turun dari motornya. Helm hitam sederhana masih terpasang di kepalanya, ransel berisi buku-buku tebal tergantung di pundaknya. Dia menyaksikan seluruh adegan itu dari awal hingga akhir.

Dia melihat mobil mewah itu menghancurkan bangku ibunya. Dia melihat tiga gadis sombong itu turun. Dia mendengar ucapan"Sorry ya, Bu," yang sarkastik. Dia melihat uang dilemparkankepada ibunya seperti memberi sedekah kepada pengemis. Dia mendengar tawa mereka yang menusuk jiwa. Dan yang paling membekas di matanya:wajah Jessy Sadewo.

Wajah itu jelas dia kenal. Wajah gadis sombong itu adalah ikon di kampusnya. Jessy Sadewo. Anak dari pemilik yayasan yang memberinya beasiswa, yang menyekolahkannya. Darah dan daging dari orang yang nasib Rayyan dan ibunya bergantung padanya.

Darahnya mendidih. Nafasnya tertahan. Tangannya mengepal erat di sisi tubuhnya, kuku-kukunya menghunjam ke telapak tangan hingga nyaris berdarah. Seluruh prinsipnya tentang ketenangan dan rasionalitas runtuh dalam sekejap

***

KORIDOR FAKULTAS TEKNIK ELEKTRO

Bel pergantian kelas baru saja berbunyi, menggemakan suaranya yang nyaring di sepanjang koridor yang lapang. Bau kapur, buku tua, dan aroma listrik statis dari laboratorium bercampur menjadi satu, menciptakan suasana khas kampus teknik.

Rayyan Albar keluar dari salah satu ruang kelas, tas ransel hitamnya yang sudah usang terisi penuh modul praktikum. Sebagai asisten dosen, wajahnya selalu serius, terpaku pada jadwal ketat yang harus dijalaninya antara kuliah, kerja paruh waktu, dan tanggung jawabnya ini. Matanya, yang biasanya tajam menganalisis diagram sirkuit, saat ini menatap lurus ke depan, menuju ruang dosen di ujung koridor.

Tiba-tiba, dari sebuah belokan, sebuah siluet bergegas muncul.

Bump!

Tubuhnya yang tegap bersentuhan dengan sesuatu yang lebih ringan, beraroma wangi mahal yang menusuk hidung. Selembar iPad mahal terlepas dari genggaman dan jatuh ke lantai dengan suara yang memecah kesunyian koridor.

"Astaga! Lihat jalan dong!" suara itu melengking, familiar dalam nada kesombongannya.

Rayyan memicingkan mata. Di hadapannya, berdiri Jessy Sadewo. Rambutnya sedikit acak-acakan karena berlari, tas branded tergantung di pundaknya, dan wajahnya masih menyisakan ekspresi jengkel karena telat.

Tapi ekspresi itu berubah.

Begitu Jessy mendongak dan melihat siapa yang ditabraknya, amarahnya langsung menguap. Matanya, yang tadi menyipit kesal, kini membesar. Terpana. Di hadapannya bukanlah mahasiswa teknik biasa yang berkeringat dan berdebu. Pria di depannya tinggi, tegap, dengan garis rahang yang tegas dan mata yang dalam, berwarna seperti dark coffee, memancarkan kecerdasan dan ketenangan yang jarang ditemuinya. Wajahnya tampan dalam cara yang klasik dan serius, jauh dari cowok-cowok playboy yang biasa mengejarnya.

Jessy terdiam sejenak, lalu senyum manisnya yang biasanya dipaksakan untuk mendapatkan sesuatu, kali ini muncul secara alami—dan agak malu-malu.

"Heey...," ucapnya, suaranya tiba-tiba menjadi lembut, hampir seperti bisikan. Sebuah nada yang mungkin belum pernah digunakan teman-temannya dengar. "Maaf, aku buru-buru. Nggak lihat jalan."

Rayyan hanya mengernyit. Dia mengenali gadis ini. Dia adalah wajah dari kenangan pahit yang membakar di ingatannya: senyum sinis, uang yang beterbangan, dan air mata diam ibunya. Tanpa sepatah kata pun, dia membungkuk, mengambil iPad itu, dan menyerahkannya kembali kepada Jessy dengan gerakan cepat dan efisien, seperti menangani benda yang terkontaminasi. Lalu, dia berbalik dan melanjutkan langkahnya.

Jessy tertegun. Dia pergi?

Perasaan tak percaya menyergapnya. Siapa sih cowok itu? Kok berani banget nggak peduli? Biasanya, cowok manapun akan langsung memanjakannya, meminta nomor, atau setidaknya tersipu-sipu. Bukan... malah meninggalkannya begitu saja.

Dengan langkah cepat, Jessy mengejarnya. High heels-nya berderak di lantai marmer.

"Hei! Tunggu!"

Rayyan tidak melambat.

"Aku Jessy. Jessy Sadewo. Kamu pasti kenal aku, kan?" ujarnya, masih dengan nada percaya diri bahwa namanya adalah kartu ajaib.

Rayyan berhenti. Dia menoleh, matanya menyapu dingin dari ujung kepala sampai kaki Jessy, membuat gadis itu sedikit merasa terbakar.

"Nggak," ucapnya. Satu kata. Kering. Tajam. Seperti pisau bedah.

Jessy tersedak. Wajahnya memerah. "Apa? Masa nggak kenal? Papiku yang punya yayasan kampus ini!" protesnya, mencoba menegaskan kembali 'hierarki' yang menurutnya telah jelas.

Rayyan mendengus pelan, hampir tak terdengar. Ekspresinya tetap datar, tapi ada cahaya kesabaran yang mulai pudar di matanya.

"Kalau nggak ada keperluan akademik lain," ucapnya dengan suara rendah namun terpotong jelas, setiap katanya seperti batu es, "Tolong. Minggir."

Kemudian, tanpa menunggu respon, dia berbalik dan menghilang di balik pintu ruang dosen, meninggalkan Jessy sendirian di tengah koridor yang tiba-tiba terasa sangat luas dan sangat sunyi.

Pintu itu tertutup dengan bunyi klik yang final.

Jessy Sadewo tetap berdiri di sana. Pipinya masih memerah, tapi bukan lagi karena malu. Ini adalah amarah. Sebuah api membara yang belum pernah dirasakannya. Tidak ada pria yang pernah menolaknya. Tidak ada yang pernah bersikap begitu dingin, begitu acuh.

Dan anehnya, justru penolakan itulah yang membuat jantungnya berdebar kencang. Justru sikap acuh itu yang membuatnya ingin diperhatikan.

Dia mengeratkan genggamannya. Matanya, yang masih menatap pintu yang telah tertutup, sekarang menyala dengan tekad yang baru dan berbahaya.

Siapa namamu, Cowok tegaan? pikirnya, senyum tipis yang penuh tantangan akhirnya kembali muncul di bibirnya. Pokoknya, aku harus dapetin kamu.

***

RUANG KEMAHSISWAAN, UNIVERSITAS BARATHA

Ruang kemahasiswaan berbau debu dan kertas lama. Kipas angin di langit-langit berputar pelan, malas, menggerakkan udara panas yang lembab alih-alih mendinginkannya. Di balik meja kayu yang penuh dengan tumpukan berkas, seorang petugas berusia setengah baya—Pak Didi—duduk dengan kacamata yang melorot di hidungnya.

Jessy Sadewo mendorong pintu kaca itu tanpa basa-basi. High heels-nya click-clack beresonansi di lantai keramik yang sudah kusam, suara yang asing dan terkesan otoriter di ruangan yang biasanya sepi ini. Dia berjalan langsung ke meja Pak Didi, meletakkan tas branded-nya di atas tumpukan formulir dengan gerakan yang membuat sang petugas mengangkat alis.

"Ada yang bisa saya bantu, Non?" tanya Pak Didi, suaranya hati-hati. Dia mengenali jenis mahasiswa seperti ini. Yang membawa aura 'jangan macam-macam'.

Jessy menyeringai, matanya berbinar dengan tekad yang sudah bulat. "Aku butuh bantuan.Tadi pagi aku ketemu cowok di koridor Fakultas Elektro. Tinggi, tampan, kulitnya sawo matang, matanya tajam. Dia pake kaos abu-abu sama celana jeans. Itu siapa, ya?"

Pak Didi mengerutkan kening. "Non, mahasiswa Elektro banyak yang seperti itu..."

"Yang pasti dia bukan mahasiswa biasa," potong Jessy, tidak sabar. "Dia keliatan... pede. Dan kayaknya lagi buru-buru ke ruang dosen. Aku lihat dia bawa banyak modul."

Petugas itu mengangguk pelan, mulai mencerna. Deskripsi itu, ditambah dengan fakta bahwa si cowok terlihat 'berwenang', mempersempit pencarian.

"Oh..." gumam Pak Didi, tersadar. "Non pasti maksudnya Rayyan."

Dia mengucapkan nama itu dengan nada hormat. "Rayyan Albar. Mahasiswa berprestasi. Dia asisten dosen beberapa matkul. Memang, Non, anak itu sangat cerdas. Sudah menang banyak lomba nasional untuk kampus. Jurusan Elektro sangat bangga padanya."

"Rayyan..." Jessy mengulangi nama itu pelan, seperti mencicipi rasa sebuah permen mewah yang baru ditemukannya. Sebuah senyum puas merekah di bibirnya. Rayyan Albar. Namanya bahkan terdengar sempurna. "Rayyan Albar," ucapnya lagi, lebih mantap.

Lalu, dengan nada yang tidak meninggalkan ruang untuk negosiasi, dia melanjutkan, "Oke. Aku mau data dirinya. Alamat, nomor telepon, dan... jadwal kelasnya untuk semester ini."

Pak Didi tercekat. Kacamatanya nyaris jatuh. "Non, itu... data pribadi. Kami tidak bisa sembarangan—"

Jessy menatapnya tajam. Tatapannya dingin, penuh keyakinan bawaan yang sudah melekat sejak lahir. "Papiku yang bayarin gaji Bapak setiap bulan. Papiku yang biayain semua operasional kampus ini, termasuk AC yang seadanya ini." Dia melirik ke arah kipas angin yang berputar lemah. "Menurut Bapak, apakah meminta jadwal kuliah seorang mahasiswa itu lebih penting daripada memastikan kenyamanan anak dari pemilik yayasan ini?"

Kalimat itu menggantung di udara, berat dan penuh ancaman terselubung.

Pak Didi menelan ludah. Wajahnya memerah. Dia melihat pada Jessy, lalu pada foto Rektor yang tergantung di dinding, lalu pada tumpukan berkas yang harus diselesaikannya. Dia adalah seorang pegawai kecil dengan cicilan rumah dan anak yang masih sekolah.

Dengan tangan yang sedikit gemetar, dia membuka sistem database mahasiswa di komputernya yang tua. Suara ketikan keyboard terdengar keras dalam kesunyian yang tegang.

Prrrinnnttt... Printer tua di sudut ruangan mulai berderak dan mengeluarkan selembar kertas.

Pak Didi mengambilnya dan, dengan gerakan lambat, menyerahkan kertas itu kepada Jessy. "Ini... jadwal kelasnya, Non. Hanya jadwalnya saja."

Jessy menyambutnya dengan cepat, jari-jarinya yang manicured mencengkeram kertas itu. Matanya menyapu cepat setiap detail: Hari Senin, Lab. Mikroprosesor; Selasa, Kelas Teori Sinyal Digital; dan seterusnya. Sebuah peta harta karun.

Senyum kemenangan yang lebar dan sedikit arogan akhirnya menghias bibirnya. Dia melipat kertas itu dengan rapi dan menyimpannya di saku jaketnya.

"Terima kasih, Pak," ucapnya, tapi nada suaranya sama sekali tidak berterima kasih. Itu adalah pernyataan bahwa dia telah mendapatkan apa yang diinginkannya.

Tanpa kata-kata lagi, Jessy berbalik dan meninggalkan ruangan, meninggalkan Pak Didi yang menarik napas lega sekaligus merasa sedikit kotor.

Di koridor, Jessy mengeluarkan lagi kertas itu. Dia menatap nama itu: Rayyan Albar.

"Rayyan," bisiknya pada diri sendiri, matanya berkilat dengan tantangan dan keinginan yang tak terbendung. "Bersiaplah. Aku datang untukmu."

Keyakinannya absolut. Dalam dunianya, segala sesuatu bisa didapatkan. Dan Rayyan Albar adalah objek desire terbarunya yang harus dimiliki, tidak peduli bagaimana caranya. Permainan telah dimulai.

1
🌺ziRa_hEnY💞🐊🐊
gemes bgt sama Rayyan...kpn berjuang nya yaa...😄
IndahMulya
thor dikit banget, ga puas bacanya
🌺ziRa_hEnY💞🐊🐊
Rayyan berjuang dongggg
IndahMulya
gedeg banget sama ibunya rayyan
🌺ziRa_hEnY💞🐊🐊
Arsya mundur Alon Alon aja yaaa...udah tau kan Rayyan cinta nya sama Jessy...
🌺ziRa_hEnY💞🐊🐊
mengsedih.begini yaa...
kudu di pites ini si ibu Maryam
Naura Salsabila
lemah amat si rayyan
🌺ziRa_hEnY💞🐊🐊
kak..disini usia Rayyan brp THN ?Jessy nya brp THN ??aku udah follow IG nya siapa tau ada spill visual RayyannJessy🤭🤭😄
Nona Lebah: Rayyan itu saat ini udah 23 tahun dan jessy 20 tahun.
total 1 replies
🌺ziRa_hEnY💞🐊🐊
sabarr Rayyann....
Nona Lebah: Jangn lupa mampir di novelku lainnya ya kak. Terimakasih
total 1 replies
IndahMulya
bagussss ayo dibaca...
IndahMulya
lanjut thor.. ceritamu ini emg bikin candu banget 😍
A Qu: ter rayyan rayyan pokoknya thor... ayo kejar cinta jessy
total 1 replies
IndahMulya
makanya rayyan jgn cuma tinggal diam aja, kalau msh syg tuh ayo kejar lagi jessynya, ga usah mikir yg lain, ingat kebahagiaanmu aja kedepan...
Nona Lebah: Hay kak. Bantu aku beri ulasan berbintang ⭐⭐⭐⭐⭐ yaa untuk novel ini. Terimakasih
total 1 replies
IndahMulya
ayo rayyan.. semangattt
🌺ziRa_hEnY💞🐊🐊: semangat Rayyan
total 1 replies
🌺ziRa_hEnY💞🐊🐊
langsung kesini kak
Nona Lebah: Terimakasih kak. Bantu aku dengan beri ulasan berbintang ⭐ ⭐ ⭐ ⭐ ⭐ ya kak untuk novel ini.
total 1 replies
IndahMulya
lanjut thor.. aku dari paijo pindah ke sini cuma buat nyari rayyan sama jessy
Nona Lebah: Makasih kak. Kamu the best 💪
total 1 replies
🌺ziRa_hEnY💞🐊🐊
akhirnya ketemu juga sama cerita ini...keren dan recommend
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!