NovelToon NovelToon
Putra Rahasia Sang Aktor

Putra Rahasia Sang Aktor

Status: sedang berlangsung
Genre:Lari Saat Hamil / Pernikahan Kilat / Single Mom / CEO / Anak Genius / Romansa
Popularitas:5.9k
Nilai: 5
Nama Author: Quenni Lisa

Menikahi Pria terpopuler dan Pewaris DW Entertainment adalah hal paling tidak masuk akal yang pernah terjadi di hidupnya. Hanya karena sebuah pertolongan yang memang hampir merenggut nyawanya yang tak berharga ini.

Namun kesalahpahaman terus terjadi di antara mereka, sehingga seminggu setelah pernikahannya, Annalia Selvana di ceraikan oleh Suaminya yang ia sangat cintai, Lucian Elscant Dewata. Bukan hanya di benci Lucian, ia bahkan di tuduh melakukan percobaan pembunuhan terhadap kekasih masa lalunya oleh keluarga Dewata yang membenci dirinya.

Ia pikir penderitaannya sudah cukup sampai disitu, namun takdir berkata lain. Saat dirinya berada diambang keputusasaan, sebuah janin hadir di dalam perutnya.

Cedric Luciano, Putranya dari lelaki yang ia cintai sekaligus lelaki yang menorehkan luka yang mendalam.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Quenni Lisa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 01 - Luka

"Ceddy!"

Suara teriakan seorang wanita memenuhi ruangan. Membuat si pemilik nama bergegas menyahutinya.

"Ya, Bunda!" Seorang pria kecil berjalan pelan menghampiri sang Ibu.

"Sayang, karena ini hari pertamamu sekolah di sekolah dasar, kita rayakan dengan makan kue spesial buatan Bunda," jelas Wanita itu tersenyum sumringah. Memperlihatkan potongan kue coklat yang di hiasi berbagai toping coklat juga.

"Wow! Makasih, Bunda," jawab Ceddy, tangannya memeluk sang Ibu.

"Sama-sama, sayang. Yuk dimakan," ajaknya.

Wanita itu menatap Putranya dalam, ia sangat mensyukuri hadirnya Cedric didalam hidupnya. Putra kecilnya yang sangat menyukai apapun yang berhubungan dengan Coklat.

"Pegangan ya, nanti jatuh," pintanya, menarik kedua lengan Putranya melingkari pinggangnya.

"Eh, Anna! Ini hari pertama si bocah, ya," celetuk seorang lelaki tampan. Cedric yang di panggil bocah hanya bisa mendengus kesal.

"Eh, Adnan! Iya, Nan," jawab Anna, singkat.

"Eh, bocah! Rajin-rajin sekolahnya, awas kalo nakal," pesan Adnan, sambil mengusap-usap kepala Cedric.

"Iya, Om. Aku tau, kok! Lagian Aku enggak mau Bunda khawatir," jawab Cedric, sambil menenggelamkan kepalanya di punggung Anna.

"Pintarnya anak Bunda," ucap Anna. "Eh, aku pamit ya, Nan. Nanti Ceddy terlambat," pamit Anna sembari menstater motornya.

"Hati-hati."

Sesampainya di SD Kasih Ibu.

"Rajin-rajin sekolahnya, ya. Nanti Bunda jemput kalo udah jam pulang," ujar Anna sembari mengelus rambut Putranya.

Cedric mengangguk paham. "Bunda hati-hati ya," sahut Cedric.

Anna menatap punggung kecil Putranya yang semakin menjauh.

'Enggak terasa. Putraku yang kemarin masih ku gendong karena menangis minta susu, sekarang sudah sebesar ini. Maafin, Bunda ya. Bunda enggak bisa berikan kasih sayang penuh layaknya anak-anak lain, karena keegoisan Bunda,' batin Anna, ia merasa sangat bersalah pada buah hatinya itu.

****

Tepat pukul 10 pagi. Anna telah tiba di depan sekolah Cedric. Ia menutup toko kuenya setiap jam pulang Cedric.

"Ceddy!" teriak Anna, memanggil Putranya.

Cedric yang mendengar itu, hanya diam berjalan dengan wajah tertunduk. Anna terdiam melihat sikap Putranya, jelas ia tahu bahwa selama ini Cedric memanglah anak yang pendiam dan tidak banyak tingkah seperti anak-anak pada umumnya.

"Ada apa, sayang?" tanya Anna, ia mensejajarkan tingginya dengan Putranya. "Apa terjadi sesuatu di dalam? Kamu dimarahi Bu Guru?" tanya Anna dengan lembut, dengan sorot mata khawatir.

Cedric yang melihat itu hanya bisa diam. Lalu tersenyum kecut, "Aku enggak apa-apa kok, Bun. Ceddy cuma lelah habis sekolah," jawabnya, lalu berjalan menaiki motornya.

Anna yang masih belum yakin, ingin bertanya kembali. Namun ia urungkan karena melihat wajah Putranya yang sedih.

****

Beberapa hari berikutnya. Anna masih tetap merasa terjadi sesuatu pada Putranya. Namun, ia masih tetap mendapatkan jawaban yang sama dari pertanyaannya yang pertama kali.

Anna hanya bisa melihat punggung anaknya yang berjalan menjauh memasuki sekolah. Putranya yang selalu pendiam, terkadang memang selalu memendam semuanya seorang diri padahal jelas itu tak seharusnya dilakukan seorang anak kecil pada umumnya.

Anna mengerti, anaknya berusaha tak membuatnya khawatir. Cedric terlalu mandiri dan dewasa dari umurnya. Bahkan anaknya itu tak pernah menangis karena menginginkan sesuatu. Anna hanya bisa mengetahui keinginan Cedric saat Putranya itu menatap lama sesuatu atau benda.

'Ya Allah. Tolong jagalah Putraku. Dia satu-satunya tujuan hidupku! Dia satu-satunya alasanku bertahan,' batin Anna, tak terasa buliran bening itu mengalir di pipinya.

Anna termenung di Tokonya. Keadaan tokonya memang lagi sepi. Hanya ada beberapa pengunjung. Pikirannya melayang pada Putranya. Perasaannya tak menentu. "Jangan sampai terjadi sesuatu pada Ceddy," gumam Anna nyaris tak terdengar.

"Apa? ANNA!"

Anna terlonjak kaget mendengar Adnan yang berteriak di depannya. "Adnan! Lo bikin gue kaget aja!" seru Anna memegang dadanya yang berdegup kencang.

Adnan terkekeh. "Lagian Lo ngapain sih bengong sambil komat-kamit?" tanya Adnan, yang sedari masuk sudah memperhatikan Anna yang komat-kamit.

"Kesambet baru tau," sambungnya.

Anna hanya mendesah pelan. "Hah... Enggak tau nih, Nan. Gue kepikiran sama Ceddy. Entah kenapa perasaan gue enggak enak," jawab Anna, dengan raut wajah gelisah.

"Tenang, Na. Lagian Ceddy di sekolahnya, kan! Enggak mungkinlah dia kenapa-kenapa," jawab Adnan, berusaha menghibur Anna.

"Ya, tapi sikapnya itu berubah banget semenjak hari pertama masuk sekolah, Nan..."

"Gue enggak tenang. Karena setiap gue tanya dia selalu jawab hal yang sama, dia hanya cape karena ternyata di sekolah dasar tugasnya lebih banyak. Padahal Lo juga tahu betul seberapa pintar Ceddy," sambung Anna yang merasa aneh. Jelas Ceddy telah banyak mengikuti perlombaan usia dini, perlombaan Matematika dan IPA yang paling dia sukai.

Drttt! Drrttt!

Anna meraih ponselnya yang bergetar. Dan, dengan cepat menjawab panggilan itu kala nama Guru sekolah dasar Putranya terpampang disana. Ya, dia meminta nomor wali kelas Cedric beberapa hari yang lalu, semenjak sikap Putranya itu mulai berbeda.

"Waalaikumsalam, Bu. Ada apa ya, Bu Mita?" tanya Anna dengan cemas. Baru saja ia memikirkan Putranya, dan Guru sekolah Putranya malah menelpon.

"Maaf, Bu Anna. Cedric bertengkar dengan teman sekelasnya. Jadi, bisakah Ibu datang ke sekolah sekarang," terang Guru Mita.

"Apa! Ba-baiklah, Bu. Tolong jaga anak saya sebentar ya," jawab Anna dengan cepat.

Tut!

Saat sambungan telpon terputus, Anna segera menyambar kunci motornya dengan panik. "Adnan, gue titip toko gue bentar ya. Ceddy.... Ceddy---."

"Anna! Tenang, gue jagain toko Lo. Tapi Lo harus tenang, hati-hati bawa motornya," jelas Adnan, penuh pengertian.

"Makasih, ya!"

Anna melajukan motornya dengan cemas. Pikirannya bercabang. Ia tau Ceddy adalah anak pendiam, tak mungkin Putranya itu memulai perkelahian tanpa sebab.

"Assalamualaikum!" Anna memasuki ruang Guru dengan cemas. Matanya menelusuri letak keberadaan Putranya. Dan, berlari menuju Cedric yang tertegun melihat Anna yang datang dengan nafas memburu. Lalu, anak itu tertunduk merasa bersalah dan menyesal.

"Ya Allah, sayang. Apa yang terjadi, Nak... " Anna tak menghakimi Putranya, ia memeluk Cedric dengan lembut.

"Maaf, Bunda," gumam Cedric nyaris tak terdengar, tangannya bergetar menahan tangis. Namun, Anna menyadari itu dan menatap Putranya.

"Enggak apa-apa, sayang. Enggak papa. Kamu enggak salah, kok," ujar Anna mencoba menenangkan Cedric. Satu tangannya memeluk Cedric dalam dekapannya dan satunya memberikan rasa nyaman dengan mengelus rambut Putranya.

Saat Cedric mulai tenang. Suara lantang seorang wanita membuat seisi ruangan kaget. Termasuk Cedric dan Anna.

"Hei, Anna! Enggak salah! Enggak salah! Kamu yang benar dong Ngajarin anak! Anak salah di bilang enggak salah! Liat anak saya sampai luka-luka begini!" bentak seorang Wanita, menunjuk Putranya.

"Begini nih, kalo anak yang gak dapet didikan dari Ayahnya," sambungnya dengan sinis.

Deg!

Jantung Anna seolah berhenti berdetak. Ia menahan sesak di dadanya, mendengar pernyataan itu. Ia tak apa-apa, namun tidak dengan anaknya yang saat ini semakin mengeratkan genggamannya di baju Anna.

"Bu! Jangan sembarangan kalo ngomong! Saya tahu, Anak saya. Dia enggak mungkin duluan kalo enggak ada sebabnya," jawab Anna dengan lantang. Ia berdiri menatap Ibu itu, dan menyembunyikan Cedric di belakang tubuhnya.

"Halah, buktinya anak saya sampe luka-luka begini! Kamu harus tanggung jawab, Anna! Inilah akibat kalo hamil di luar nikah. Anak yang enggak diinginkan Ayahnya, mana mungkin bisa berbaur dengan anak-anak lainnya," cetusnya tanpa perasaan.

"Bu Laras!" bentak Anna.

"Apa kamu bentak-bentak saya! Itu memang kenyataannya, Anna! Kamu datang ke Kota ini dalam keadaan hamil tanpa tahu siapa Ayahnya! Kamu dan anakmu itu pembawa sial di sini," cerocosnya lagi, dengan emosi.

"Bu Lara---"

"Aku yang salah! Aku minta maaf! Jangan sakitin Bunda! Bunda enggak salah!" teriak Cedric dengan nafas memburu, tangannya bergetar hebat.

Hati Anna sakit mendengar permintaan maaf dari Putranya. Ia berjongkok dihadapan Cedric. "Enggak, sayang! Kamu enggak salah. Bunda yang salah, hiks... Maafin Bunda, ya," jelas Anna, ia memeluk Cedric dengan tangisnya.

"Hiks... Hiks... Bunda enggak salah, hiks... Bunda enggak salah. Ceddy yang salah!" teriak Cedric sembari menangis tersedu-sedu, berusaha membela Ibunya.

"Enggak sayang, enggak!" Anna semakin merasa bersalah pada Putranya. Ini pertama kalinya sejak beberapa tahun, Anna melihat Cedric menangis tersedu-sedu seperti ini.

"Cedric, tenang, Nak. Kita enggak tahu siapa yang salah kalo kamu cuma diam," jelas Bu Mita berusaha menengahi. Cedric masih menangis di pelukan Anna namun perlahan mereda.

"Bu Laras, sebaiknya Ibu menjaga kata-kata Ibu di depan anak-anak! Ibu mana yang rela anaknya di hina, jadi Ibu harusnya tahu bagaimana perasaan Bu Anna," sambung Bu Guru Mita, ia menatap Laras dengan sarkas.

Laras hanya memalingkan wajahnya tanpa rasa bersalah.

"Tio, sekarang jelaskan kenapa kamu bisa bertengkar dengan Cedric?" tanya Bu Guru Mita.

Anak itu hanya menunduk takut.

"Di-dia terus te-terusan bilang ka-kalo a-aku anak ha-haram hiks... Hiks, dia bahkan men-mencuri Kue Coklatku," jelas Cedric terbata-bata, berusaha menahan tangisnya.

"Dia enggak suka aku lebih pintar darinya," sambung Cedric.

"Cedric, ceritakan semuanya ya!"

Flashback.

"Siapa yang tahu hewan apa saja yang bisa bernafas di laut dan di darat?" tanya Bu Mita.

Tio mengangkat tangannya sembari tersenyum sumringah. "Lumba-lumba, Bu!" jawabnya dengan percaya diri.

"Salah, Tio!"

"Loh, tapi benar kok. Waktu aku sama Mama dan Papa nonton pertunjukan lumba-lumba, waktu itu lumba-lumbanya keluar dari air," jelas Tio dengan kekeh.

"Bu Guru enggak pernah nonton pertunjukan lumba-lumba, benar ko---."

"Lumba-lumba tidak termasuk hewan amfibi. Lumba-lumba adalah mamalia laut yang hidup di air dan bernapas menggunakan paru-paru. Mereka tidak memiliki kemampuan untuk hidup di darat seperti hewan amfibi," potong Cedric, sontak membuat seisi kelas terdiam.

Bu Mita terkejut dengan kemampuan berbahasa dan pengolahan kata yang di berikan Cedric. Untuk anak seusianya itu sangatlah cerdas.

"Kamu tahu apa hewan amfibi?" tanya Bu Mita, yang semakin penasaran dengan kemampuan Cedric. Cedric mengangguk, dengan ekspresi datar khasnya.

"Jadi, Hewan amfibi adalah hewan yang hidup di dua lingkungan, yaitu air dan darat. Contoh hewan amfibi adalah katak, salamander, dan kodok," jawab Cedric dengan entengnya, lalu kembali fokus pada buku pelajarannya.

"Wow! Semuanya tepuk tangan untuk Cedric!"

Prok!

Prok!

Prok!

"Cedric! Kamu sangat pintar. Bu Guru bangga sama kamu. Perkembangkan lagi ya kemampuanmu, biar nantinya bisa jadi anak yang membanggakan orang tua," jelas Bu Mita sembari mengelus lembut surai Cedric.

Bocah itu mengangguk dengan senyum tipis. Kalo sudah membahas soal Bundanya ia tak bisa menahan perasaannya.

Selesai kelas. Para siswa-siswi mengerumuni Cedric. Tetapi bocah itu hanya fokus pada buku pemberian Ibunya, tentang astronomi.

"Wah! Cedric kamu pintar sekali tadi. Bagaimana kamu bisa menjawabnya tadi?" tanya seorang gadis kecil.

"Iya, aku saja tidak bisa, hehe," timpal seorang gadis.

"Halah, dia itu sok tahu aja! Dia pasti belum pernah nonton pertunjukan lumba-lumba, karena keluarganya miskin dan dia enggak punya Ayah," ledek Tio, sembari mengompori teman-temannya.

"Hah? Cedric enggak punya Ayah? Ayahnya meninggal?" tanya gadis kecil itu dengan polosnya.

"Dia itu anak haram! Ayahnya buang dia karena kata Mamaku, Ibunya hamil diluar nikah," jawab Tio, dengan ekspresi bangga di wajahnya.

Cedric yang mendengar itu merasa marah. "Aku bukan anak haram! Bunda enggak hamil di luar nikah! Bunda.... Bunda----." Cedric terdiam, ia sadar selama ini ia tak mengetahui apa-apa tentang Ayahnya. Apakah benar ia adalah anak yang tak diinginkan seperti kita Tio.

"Apa? Benarkan dia anak diluar nikah, anak haram. Dia aja enggak bisa jawab," hasut Tio. Seketika itu juga raut wajah anak-anak disana berubah saat menatap Cedric.

"Diam, Tio! Aku tau kau iri padaku yang tidak mempunyai Ayah ini tapi lebih pintar dari kamu, kan," balas Cedric dengan mata yang menatap tajam penuh amarah pada Tio.

Bocah itu tertegun, menahan malu dan marah. "Aku tidak iri sama anak haram kaya kamu!" teriaknya mendorong Cedric sekuat mungkin, hingga anak itu terjungkal dan tangannya mengenai kursi hingga bengkak.

"Kau---." Cedric berusaha bangun walau tubuhnya sakit. Ia mencakar tangan Tio, karena kesal.

Dan, terjadilah pertengkaran yang membuat kedua bocah itu luka-luka di sekujur tubuhnya.

Flashback Off!

Seisi ruangan seketika hening tak bersuara. Semua fokus tertuju pada Tio. Mereka menatap penuh pertanyaan apakah semua yang diceritakan Cedric adalah kebenarannya.

"Benar! Itu salah Tio! Tio yang duluan dorong Cedric sampe jatuh," celetuk seorang gadis kecil.

Seketika itu juga Bu Laras terdiam, dengan wajah yang memerah bak tomat menahan malu akibat ulah anaknya.

"Sudah jelaskan, Bu Laras yang terhormat! Saya minta anda meminta maaf pada anak saya, dan anak anda juga meminta maaf!" Anna menatap Laras dengan tajam, hatinya tak akan pernah bisa memanfaatkan segala perkataan jahat itu pada Putranya.

"Ini salah Mama! Aku dengar sendiri. Mama yang bilang kalo Cedric anak haram dan Ibunya hamil di luar nikah!" teriak Tio, merasa tak terima jika harus meminta maaf pada Cedric.

"Tio!" Laras semakin menundukkan kepalanya malu.

"Saya dan anak saya minta maaf. Karena sudah mengatakan hal yang keterlaluan pada Cedric," jelas Laras dengan wajah tertekan. Laras menyenggol anaknya untuk segera meminta maaf.

"Ma-maaf, Cedric! Aku tidak akan begitu lagi!"

Setelah semua perdebatan selesai. Anna hanya bisa memandang Putranya yang tertidur pulas dengan mata yang sembab karena menangis.

"Maafin Bunda, sayang..." Anna tak tega melihat keadaan Putranya. Apalagi setelah mendengar semua cerita Cedric. Bagaimana bocah itu tak bisa menjawab apapun saat pertanyaan tentang Ayah kandungnya muncul.

Anna kembali teringat kejadian 8 tahun lalu, saat ia belum mengandung Cedric. Saat-saat terberat baginya. Saat ia hampir saja menyerah pada hidupnya, saat ia terpuruk akan keadaan yang tak pernah berpihak padanya, saat lelaki itu merenggut cinta dan kesuciannya walau dengan status Istri satu minggunya.

1
tia
lanjut thor
alyssa bunga: oheyy
total 1 replies
tia
dikit amat thor
alyssa bunga: oh kurang panjang, oklah nanti di panjangin makasih😂
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!