Di tanah Averland, sebuah kerajaan tua yang digerogoti perang saudara, legenda kuno tentang Blade of Ashenlight kembali mengguncang dunia. Pedang itu diyakini ditempa dari api bintang dan hanya bisa diangkat oleh mereka yang berani menanggung beban kebenaran.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon stells, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
~Pedang Yang Bangkit~
Nama pemuda itu Edrick Varrow, delapan belas tahun. Ia anak pandai besi dari distrik bawah kota Avermont, ibu kota Averland. Ayahnya mati ditusuk prajurit Dravenholt dalam penyerangan, ibunya terbakar bersama rumah mereka. Sejak itu Edrick hidup dengan kemarahan. Ia bekerja serabutan, belajar menggunakan pedang bekas, dan menunggu kesempatan membalas dendam.
Di sisinya ada Mira Calden, tujuh belas tahun. Anak seorang tabib desa yang terbiasa mengobati orang di jalanan. Mira keras kepala, logis, dan sering menahan Edrick ketika emosinya meledak. Ia selalu membawa belati kecil, tapi kekuatannya bukan di otot, melainkan di kepalanya.
Malam itu, keduanya masuk ke sebuah gereja tua yang setengah runtuh. Bangunan itu kosong, atapnya bolong, dindingnya retak. Di tengah altar ada peti batu besar dengan ukiran bercahaya biru.
“Kalau legenda itu benar, pedang Ashenlight ada di sini,” kata Edrick.
Mira menahan lengannya. “Kalau legenda itu benar, kau bisa mati kalau menyentuhnya. Semua cerita bilang begitu.”
“Aku lebih baik mati mencobanya daripada hidup sebagai pecundang,” jawab Edrick, lalu berjalan ke depan.
Tangannya menyentuh peti. Cahaya biru langsung menyala. Dari dalam muncul pedang dengan bilah bercahaya. Blade of Ashenlight.
Tubuh Edrick seketika bergetar. Rasanya seperti api masuk ke nadinya. Nafasnya tersengal, tapi ia tidak roboh. Ia menggenggam pedang itu.
Mira menatap dengan mulut terbuka. “Kau… kau masih hidup.”
Langkah berat terdengar dari pintu.
Seorang pria besar dengan zirah hitam masuk bersama belasan prajurit. Dialah Lord Garrick Dravenholt, bangsawan haus kuasa yang sedang berusaha merebut takhta Averland. Wajahnya penuh bekas luka. Kapak besar ada di tangannya.
“Jadi benar,” kata Garrick. “Pedang itu nyata. Tapi kau, bocah pandai besi, bukan orang yang pantas. Serahkan padaku.”
Edrick mengangkat pedang, tubuhnya masih gemetar. “Kalau aku tidak pantas, pedang ini sudah membunuhku.”
“Pedang tidak memilih. Pedang ditaklukkan,” sahut Garrick, lalu menyerbu dengan kapaknya.
Dentuman keras terdengar. Kapak menghantam pedang Ashenlight. Percikan cahaya beterbangan. Edrick terdesak mundur. Mira berteriak, tapi tidak bisa menolong.
Serangan kedua datang. Kapak Garrick kembali menghantam. Kali ini pedang menyala lebih terang, mendorong Garrick beberapa langkah ke belakang.
Para prajurit kaget. Mereka belum pernah melihat tuan mereka mundur dari benturan.
“Mustahil,” desis Garrick. “Bocah sepertimu tidak seharusnya bisa menahan seranganku.”
Mira maju dengan belati, berdiri di sisi Edrick. “Kalau kau mencoba lagi, aku akan menusuk tenggorokmu.”
Garrick menertawakan ancaman itu. “Kau hanya gadis kecil. Aku bisa mematahkanmu dengan satu tangan.”
Namun ia kembali menyerang. Kapaknya menghantam lagi. Edrick menahan, dan kali ini cahaya biru meledak dari pedang, menghantam seluruh ruangan.
Garrick terlempar ke dinding. Prajurit-prajuritnya panik, sebagian mundur.
Edrick berdiri dengan napas terengah. Tangannya masih memegang pedang. Cahaya biru berdenyut pelan, seperti detak jantung.
Mira menatapnya serius. “Kau sadar apa yang baru saja terjadi? Mulai sekarang, semua orang di Averland akan memburumu. Mereka semua menginginkan pedang itu.”
Edrick menunduk, menatap bilah bercahaya di tangannya.
Garrick perlahan bangkit dari reruntuhan dinding. Darah menetes dari keningnya, tapi matanya penuh amarah. “Bocah, aku akan memburumu sampai kau terkubur. Tidak ada tempat aman di Averland bagimu.”
Ia memberi isyarat pada prajuritnya. “Tangkap mereka. Jangan biarkan kabur.”
Edrick menggenggam pedang lebih erat. Tubuhnya masih lemah, tapi ada tenaga aneh yang menolak menyerah. Mira menarik lengan bajunya. “Kita tidak bisa lawan mereka semua. Kita harus keluar dari sini.”
Edrick mengangguk. Mereka mundur ke pintu samping gereja. Dua prajurit menghadang, tapi pedang Ashenlight bergerak lebih cepat daripada yang bisa dipikirkan Edrick. Sekali tebas, bilah bercahaya itu menembus zirah besi, membuat prajurit itu jatuh tanpa sempat menjerit.
Mira menutup mulutnya, ngeri melihat darah muncrat. Ia belum pernah melihat Edrick membunuh dengan cara seperti itu. Tapi tidak ada waktu merenung.
“Kanan!” seru Mira.
Mereka berlari menembus lorong sempit yang setengah runtuh. Prajurit mengejar dari belakang. Suara langkah sepatu logam berderap menutup jarak.
Edrick menghantamkan pedangnya ke dinding, membuat runtuhan batu menutup sebagian jalan. Itu memberi mereka waktu, tapi tidak lama.
“Ke mana?” tanya Edrick.
“Jalan bawah tanah,” jawab Mira cepat. “Aku pernah lewat sini saat mengobati orang. Ada pintu di belakang altar kecil.”
Mereka kembali berbelok, menemukan pintu kayu tua yang hampir lapuk. Dengan tendangan keras, pintu roboh. Lorong gelap terbuka, menurun tajam. Udara bawah tanah dingin dan lembap.
“Cepat!” desak Mira.
Mereka masuk, lalu menutup pintu dari dalam.
Cahaya dari pedang Ashenlight menerangi lorong. Bukan sekadar cahaya, melainkan seperti obor yang tak pernah padam.
“Kalau mereka menemukan jalan ini, kita akan terjebak,” gumam Edrick.
Mira menjawab dengan nada tegas. “Lebih baik terjebak di bawah tanah daripada mati sekarang.”
Suara prajurit masih terdengar samar dari atas. Teriakan Garrick menggema. “Cari mereka! Jangan biarkan kabur!”
Mereka terus menuruni lorong panjang. Di ujung, lorong bercabang dua. Mira menunjuk kiri. “Yang ini menuju ke luar kota. Kita bisa keluar lewat sumur tua.”
Edrick tidak protes. Mereka berlari ke kiri. Nafasnya terengah, tubuhnya masih berat karena tenaga aneh dari pedang.
Beberapa menit kemudian, mereka sampai di ruang bundar kecil. Di tengahnya ada sumur batu dengan tali putus. Lubang sumur terbuka ke atas, menampakkan cahaya bulan samar.
“Kita bisa naik lewat sini,” kata Mira.
Edrick menyarungkan pedang di punggungnya. Aneh, pedang itu menempel sendiri seolah melekat dengan tubuhnya. Ia tidak sempat memikirkan lebih jauh. Ia mengikat sisa tali ke sabuknya, lalu mulai memanjat dengan Mira di belakangnya.
Suara langkah prajurit tiba-tiba bergema dari lorong. Mereka berhasil mengikuti.
“Cepat, Edrick!” seru Mira.
Edrick memanjat lebih cepat. Begitu sampai di permukaan, ia menarik Mira keluar. Mereka berdua terengah, duduk di rerumputan.
Dari atas bukit kecil, mereka bisa melihat kota Avermont di kejauhan. Api masih menyala di beberapa bangunan.
Mira menoleh pada Edrick. “Sekarang apa rencanamu?”
Edrick menatap pedang di punggungnya. “Aku tidak tahu. Tapi aku tidak bisa menyerahkannya. Kalau Garrick mendapatkannya, seluruh Averland akan jatuh ke tangannya.”
“Kalau begitu kita harus cari sekutu. Kita tidak bisa lari sendirian selamanya.”
Edrick terdiam. Ia tahu Mira benar. Tapi ia juga tahu, membawa pedang ini berarti membawa malapetaka ke mana pun mereka pergi.
Tiba-tiba suara langkah kuda terdengar dari arah hutan.
Dua orang penunggang muncul, memakai mantel kelabu dengan lambang singa emas. Mereka bukan prajurit Garrick.
Salah satu dari mereka berhenti, menatap Edrick. “Kau… apa itu pedang di punggungmu?”
Edrick langsung waspada. “Siapa kalian?”
Pria itu membuka helmnya. Wajahnya keras, brewok tebal. “Namaku Darius Kane. Aku pernah jadi kapten pasukan kerajaan. Sekarang aku musuh Garrick. Dan kalau aku tidak salah lihat, kau baru saja mengambil pedang yang seharusnya jadi harapan terakhir Averland.”
Mira menegang. “Bagaimana kau bisa tahu tentang pedang ini?”
Darius menatapnya lekat. “Karena aku juga mencari pedang itu. Tapi rupanya, kau yang menemukannya terlebih dahulu.”
Edrick menggenggam gagang pedang. “Kalau kau berniat merebutnya, coba saja.”
Darius mengangkat tangannya, bukan untuk menyerang. “Aku tidak bodoh. Pedang itu sudah memilihmu. Kalau aku mencoba, pedang itu akan menolakku. Aku hanya ingin menawarkan sesuatu. Jika kau ingin bertahan, kau butuh sekutu. Ikut denganku, dan aku akan menunjukkan jalan.”
Edrick dan Mira saling pandang. Tawaran itu masuk akal, tapi juga bisa jadi jebakan.
Mira berbicara lebih dulu. “Kita tidak punya pilihan lain. Kalau terus sendiri, kita mati.”
Edrick menunduk sebentar, lalu mengangguk. “Baik. Tapi kalau kau mencoba mengkhianati kami, aku akan menebasmu dengan pedang ini.”
Darius tersenyum tipis. “Itu yang kuharapkan darimu. Sekarang ikut aku. Kita punya banyak yang harus dibicarakan.”
Mereka bertiga lalu meninggalkan sumur tua, berjalan menuju hutan gelap. Dari kejauhan, suara trompet prajurit Garrick terdengar.
Hutan di luar Avermont sunyi, hanya suara ranting patah dan serangga malam yang terdengar. Darius menuntun kudanya perlahan, sementara Edrick dan Mira mengikutinya. Mereka masih waspada, tapi untuk sementara berhasil lepas dari pasukan Garrick.
“Kita akan menuju Benteng Calborne,” kata Darius sambil menoleh ke belakang. “Itu markas kecil yang masih menentang Garrick. Orang-orang di sana bukan pasukan kerajaan resmi, tapi mereka benci melihat Averland dikuasai oleh pengkhianat.”
Edrick tidak langsung percaya. “Kenapa aku harus percaya padamu? Kau bisa saja membawa kami ke perangkap.”
Darius menatapnya lurus. “Kalau aku ingin pedangmu, aku sudah membunuhmu tadi. Aku tidak butuh alasan lain. Tapi aku tahu apa artinya pedang itu. Averland butuh pemiliknya berdiri di garis depan, bukan mati konyol di jalanan.”
Mira menghela napas. “Setidaknya dia tidak berbohong sejauh ini, Edrick. Kita harus ambil risiko.”
Edrick akhirnya diam, mengikuti langkah mereka.
Mereka berjalan berjam-jam menembus hutan. Sesekali Darius memberi tanda untuk berhenti, lalu mengintai. Ada kelompok prajurit dengan obor mencari-cari di antara pepohonan. Pengejaran Garrick semakin luas.
“Dia tidak akan berhenti sampai pedang itu ada di tangannya,” kata Darius lirih. “Aku sudah mengenalnya lama. Garrick tidak pernah menyerah.”
“Siapa sebenarnya dia?” tanya Mira.
“Seorang bangsawan yang dulu bersumpah setia pada raja Averland,” jawab Darius. “Tapi ketika perang saudara meletus, dia berkhianat. Dia membantai rakyatnya sendiri demi kekuasaan. Raja jatuh, kerajaan terpecah, dan sekarang Averland tinggal reruntuhan.”
Edrick mengepalkan tangan. “Dan pedang ini… akan dipakai untuk mengakhiri semua itu.”
Darius tersenyum tipis. “Itu kalau kau bisa bertahan hidup.”
Setelah perjalanan panjang, mereka akhirnya sampai di sebuah tebing curam. Di bawahnya, terlihat benteng batu kecil dengan api unggun di sekitarnya. Bendera singa emas berkibar lemah.
“Itu Calborne,” kata Darius. “Ikuti aku.”
Mereka turun perlahan melalui jalan setapak berliku. Ketika mendekat, beberapa prajurit dengan mantel kelabu mengangkat tombak mereka.
“Kapten Darius?” salah satu penjaga terkejut. “Kami pikir kau sudah mati.”
“Belum,” jawab Darius singkat. Ia menoleh ke Edrick dan Mira. “Ini Edrick. Dia sekarang membawa pedang Ashenlight. Jangan macam-macam dengannya.”
Penjaga saling pandang, jelas tidak percaya. Tapi begitu Edrick menyingkap pedang dari punggungnya, cahaya biru menyala lembut. Semua orang terdiam.
“Itu… benar-benar pedangnya…” bisik salah satu prajurit.
Benteng Calborne menerima mereka. Malam itu, mereka duduk di aula kecil dengan api unggun besar di tengah. Beberapa orang berkumpul, memperhatikan Edrick dengan penuh rasa ingin tahu.
Seorang wanita berambut hitam panjang, berpakaian kulit, memperkenalkan diri. “Namaku Selene Ward. Aku pemimpin benteng ini. Jadi, kau yang dipilih pedang?”
Edrick merasa tidak nyaman dengan semua perhatian itu. “Aku tidak tahu apakah pedang ini memilihku. Aku hanya mengambilnya.”
Selene menggeleng. “Kalau kau tidak terpilih, kau sudah mati. Ashenlight hanya bisa diangkat oleh orang yang berani menanggung kebenaran. Itu bukan pedang biasa.”
Mira menatap Selene curiga. “Apa maksudmu dengan ‘menanggung kebenaran’?”
Selene tidak langsung menjawab. “Itu pertanyaan yang harus dijawab sendiri oleh orang yang memegang pedang. Tapi satu hal pasti: mulai sekarang, seluruh musuh Garrick akan melihatmu sebagai harapan. Dan seluruh pengikut Garrick akan melihatmu sebagai target.”
Edrick menggenggam gagang pedangnya, matanya menatap api unggun. Beban itu terasa berat, jauh lebih berat daripada yang ia bayangkan ketika pertama kali mengangkat pedang di altar tadi.
Darius menepuk bahunya. “Kau tidak sendirian. Kau punya aku, kau punya Mira, dan kau punya benteng ini. Tapi ingat, jalan di depan akan lebih keras dari apa pun yang pernah kau alami.”
Edrick menarik napas panjang. “Kalau itu harga yang harus kubayar untuk menghentikan Garrick, aku akan menjalaninya.”
Suasana hening sejenak. Semua orang yang hadir menatapnya. Untuk pertama kalinya, mereka melihat secercah harapan setelah bertahun-tahun terjebak dalam perang saudara.
Namun di kejauhan, di balik gelap hutan, trompet perang Garrick masih terdengar samar. Pengejaran tidak akan berhenti.