👑 Academy Animers, sekolah elit untuk pelajar berkekuatan unik dan bermasalah mental, dijaga Kristal Kehidupan di Crown City. Dipimpin Royal Indra Aragoto, akademi berubah jadi arena Battle Royale brutal karena ambisi dan penyimpangan mental. Indra dan idealis (Akihisa, Miku, Evelia) berjuang mengembalikan misi akademi. Di lima kota inti, di bawah Araya Yamada, ketamakan dan penyalahgunaan kekuatan Kristal merusak moral. Obsesi kekuatan mendorong mereka menuju kehancuran tak terhindarkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IΠD, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
End of Academy Animers
Beberapa hari kemudian, kehidupan di Kerajaan Sakura Flurry tampak berjalan dalam irama yang damai dan stabil. Di permukaan, tidak ada satu pun tanda-tanda ancaman besar yang baru saja direncanakan di dalam gua tersembunyi di Pegunungan Shirayuki, maupun aliansi rahasia yang terjalin di tepi sungai.
Di pusat Kerajaan, Royal Railord dan Royal Nia Sayaka, Raja dan Ratu yang memimpin dengan bijaksana, menjalankan tugas-tugas Kerajaan mereka seperti biasa. Aula Istana penuh dengan diskusi tentang pembangunan infrastruktur energi dan diplomasi antarkota. Keduanya tampak tenang dan berwibawa, memastikan setiap denyut nadi Kerajaan terpelihara.
Atlas City, dengan gedung pencakar langitnya yang memantulkan sinar matahari, ramai dengan aktivitas perdagangan dan teknologi. Penduduk kota metropolitan ini bergerak cepat, fokus pada urusan pekerjaan dan inovasi. Aroma kopi dan gemuruh kendaraan mewah menjadi latar belakang rutinitas yang seolah tak terganggu.
Sementara itu, di Ranox City, kota industri dan pendidikan yang menjadi markas Araya Yamada, suasana juga normal. Pabrik-pabrik beroperasi, dan murid-murid Akademi, termasuk Akihisa dan Miku, kembali bersekolah, mencoba kembali ke pola hidup yang tidak mencurigakan. Mereka berbaur dengan murid lain, menyembunyikan rencana latihan intensif yang mereka jalani setiap malam.
Hamel City, kota pelabuhan yang berdekatan dengan tebing laut, kembali pada rutinitasnya sebagai pusat maritim. Para nelayan dan pedagang sibuk di dermaga, ombak berdebur di pantai, seolah melupakan insiden penculikan dan perkelahian supercar yang terjadi di tebingnya.
Di Soryu City, kota yang terkenal dengan keindahan alam dan kuil-kuil kuno, para penduduk menjalankan ritual dan tugas keagamaan mereka. Suasana di sana selalu damai dan spiritual, jauh dari hiruk pikuk politik atau ancaman dimensi.
Terakhir, di Crown City, tempat pusat Akademi Animers berdiri, para murid melanjutkan jadwal mereka. Mereka berbondong-bondong memasuki gerbang, membawa buku dan tas, menjalani pelajaran biasa. Koridor dan ruang kelas kembali dipenuhi tawa dan perdebatan seputar tugas.
Kehidupan di Akademi, meskipun diwarnai dengan hierarki kelas yang ketat, tetap tampak sebagai institusi pendidikan yang berfungsi. Indra dan Evelia duduk di Kelas F, belajar bersama, menyembunyikan rahasia kekuatan Kitsune yang baru bangkit dan rencana-rencana berbahaya yang melibatkan sepupu mereka.
Di balik ketenangan yang sempurna ini, setiap kota, setiap penduduk, dan setiap murid, tanpa menyadarinya, sedang berada di ambang sebuah konflik yang jauh lebih besar daripada persaingan internal Akademi.
Semua tampak terkendali, seolah-olah Kerajaan Sakura Flurry adalah gambaran ideal dari ketenangan modern fantasy yang teratur.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Kesunyian yang begitu sempurna di Kerajaan Sakura Flurry itu hanya bertahan beberapa detik. Tiba-tiba, dari arah utara, dari jantung Pegunungan Shirayuki, terdengar suara ledakan dahsyat yang memekakkan telinga, suaranya melampaui batas pendengaran manusia biasa dan beresonansi melalui Kristal Kehidupan itu sendiri.
Bukan hanya suara, tetapi juga gelombang kejut energi murni dan kegelapan yang dilepaskan dari ledakan itu. Gelombang kejut ini menyebar dengan kecepatan yang mengerikan, menghantam seluruh Kerajaan.
Seketika, seluruh Sakura Flurry terguncang. Gempa bumi dahsyat melanda setiap kota, dari pusat teknologi Atlas City hingga pelabuhan Hamel City. Jendela-jendela pecah berkeping-keping, dan retakan besar muncul di jalanan aspal, memutuskan jalur transportasi utama.
Di Atlas City, gedung-gedung pencakar langit yang menjulang tinggi, yang tadinya menjadi simbol kemajuan, mulai bergoyang hebat. Dalam beberapa detik yang mengerikan, banyak bangunan runtuh, menimbun kendaraan dan menghancurkan infrastruktur energi yang kompleks, menyebabkan pemadaman listrik besar-besaran.
Di Ranox City dan Crown City, di mana Akademi Animers berdiri, guncangan itu jauh lebih brutal. Dinding-dinding Akademi yang tebal retak, dan beberapa asrama murid roboh. Para murid di dalam kelas berteriak histeris, mencari perlindungan di bawah meja, sementara para guru berusaha mengaktifkan perisai pelindung yang didukung Kristal—namun gagal total.
Di dalam Istana Kerajaan, Royal Railord dan Royal Nia Sayaka merasakan guncangan itu sebagai serangan langsung ke inti kekuatan mereka. Perisai pertahanan yang dibangun Kerajaan berabad-abad lamanya terhadap serangan dimensi hancur berkeping-keping. Mereka tahu, ini bukan gempa bumi alami; ini adalah serangan yang ditujukan langsung pada sistem energi Kerajaan.
Gelombang energi kegelapan dari Shirayuki tidak hanya merusak fisik, tetapi juga memutus komunikasi. Jaringan satelit Kerajaan mati seketika, mengisolasi setiap kota dan membuat upaya koordinasi penyelamatan menjadi mustahil. Kekacauan benar-benar pecah.
Di Pegunungan Shirayuki sendiri, tempat ledakan itu berasal, seluruh hutan pinus kuno lenyap, digantikan oleh kawah besar yang memancarkan kabut hitam tebal. Gua tempat Raja Iblis bersembunyi kini terbuka lebar, menjadi portal gerbang yang memuntahkan asap dan energi yang mencekik.
Kekacauan ini menandai berakhirnya masa damai dan rutinitas, dan dimulainya era perang dan keputusasaan. Ancaman yang selama ini hanya menjadi analisis bagi Nuita dan Araya kini menjadi kenyataan yang tak terhindarkan.
Ketegasan yang ada di permukaan kini berubah menjadi kehancuran total, menandakan permulaan penyerbuan Raja Iblis ke dunia Sakura Flurry.
.
.
.
.
Di tengah kekacauan dan suara sirene yang meraung-raung di Ranox City, Araya Yamada berdiri tegak di atap bangunan tertinggi. Ia menghadap langsung ke arah utara, ke Pegunungan Shirayuki yang kini bukan lagi pegunungan bersalju, melainkan sebuah menara asap gelap.
Di puncaknya, portal raksasa berbentuk spiral hitam berdenyut, memuntahkan energi kegelapan yang menutupi langit. Pemandangan itu, meskipun mengerikan, sama sekali tidak menggoyahkan ketenangan Araya.
Ia mengulurkan tangannya. Dalam sekejap, aura gelap dan dingin memancar darinya, dan sekelilingnya, di atas atap beton itu, bermekaran bunga Higanbana merah menyala—sebuah ciri khas yang menandakan aktivasi penuh kekuatannya.
Dengan gerakan anggun dan mematikan, Araya mensummon Nodachi-nya. Pedang panjang yang ramping dan diresapi energi Kristal gelap itu muncul di tangannya, memantulkan cahaya merah kengerian dari portal di kejauhan.
"Kau datang juga, Raja Iblis," gumam Araya, suaranya pelan namun mengandung janji akan pertarungan yang brutal. Ia telah menduga ancaman ini akan datang, tetapi kecepatan dan skalanya jauh melampaui perkiraannya.
Ia menoleh ke arah sebuah drone kecil yang melayang di sampingnya. "Kirim pesan ini ke seluruh unit terdekat. Perintah OSIS: Lindungi warga sipil. Fokuskan semua drone tempur untuk membentuk perimeter di sekitar pinggiran kota," perintah Araya.
Drone itu berkedip. Araya kemudian melihat ke arah Atlas City di kejauhan, memikirkan Nuita dan Indra. "Aku harap mereka sudah mempersiapkan diri. Aku tidak akan membiarkan musuh mencapai Istana sebelum aku menghabisinya di sini."
Araya menaikkan Nodachi-nya, mengarahkannya ke portal. Ekspresinya yang dingin dan tenang adalah topeng kesiapan total. Ia tidak menunjukkan rasa takut; hanya tekad.
"Aku akan memberimu sambutan yang pantas, Raja Iblis," bisik Araya, merasakan energi kegelapan itu mengalir semakin kuat. "Kau salah memilih Kerajaan. Tempat ini milikku."
Ia kemudian mengambil ancang-ancang, siap melompat dan meluncur menuju gerbang malapetaka itu, menjadi garis pertahanan pertama Ranox City.
.
.
.
..
.
Di Atlas City, yang kini dilanda kepanikan dan guncangan, Nuita Elysion berdiri sendirian di puncak apartemennya yang tertinggi. Di sekelilingnya, pemandangan kota yang modern berubah menjadi bencana: gedung-gedung runtuh, asap membubung, dan teriakan kepanikan terdengar di kejauhan.
Ia menatap ke arah utara, ke portal mengerikan di Pegunungan Shirayuki, yang memancarkan aura kegelapan yang sama dengan laporan yang ia dapatkan. Ini adalah skenario terburuknya.
Tanpa membuang waktu, Nuita mengaktifkan sistem tempurnya. Dengan tapping cepat pada holoscreen di pergelangan tangannya, lima unit Robot Tempur yang tersimpan di atap apartemennya segera muncul dari lantai, siap untuk beroperasi.
Robot-robot itu, yang dirancang oleh kecerdasan Nuita sendiri, langsung mengambil posisi bertahan di sekitar atap. Mereka adalah garis pertahanan pertama Atlas City dari segala sesuatu yang mungkin datang dari portal itu.
Di tangan kanannya, Nuita menggenggam erat Koper Pandora. Koper kecil yang tampak biasa itu sebenarnya adalah inti dari semua senjata dan teknologi pertahanan yang ia miliki, termasuk armor dan persenjataan pribadinya.
"Aku harus bertahan di sini. Aku adalah pusat komando," gumam Nuita, matanya memancarkan tekad yang dingin dan strategis. Ia tahu, jika Atlas City, yang merupakan pusat teknologi Kerajaan, jatuh, seluruh pertahanan Kerajaan Sakura Flurry akan lumpuh.
Jeda sejenak, Nuita memejamkan mata, memikirkan adik dan teman-temannya. Ia tahu Indra dan yang lain sedang berada di Akademi, tepat di tengah kekacauan itu. "Semoga Indra dan yang lainnya baik-baik saja di Akademi," bisik Nuita, suaranya mengandung doa.
Ia percaya pada kemampuan sepupunya dan kini, kekuatan Kitsune yang baru bangkit dalam diri Evelia. Mereka harus bertahan, karena pertarungan sesungguhnya baru saja dimulai, dan ia membutuhkan mereka semua.
Nuita menarik napas dalam-dalam. "Robot-robot, aktifkan Perisai Area Terbatas," perintah Nuita, suaranya kembali tajam dan berwibawa, siap menghadapi kengerian yang akan datang.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Di tengah Akademi Animers yang bergetar hebat, Akihisa, Miku, Nina, dan Kizana bergerak cepat dan terorganisir. Mereka mengabaikan rasa takut mereka sendiri dan berfokus pada evakuasi. Ledakan di Shirayuki telah menghancurkan sebagian besar dinding dan atap, menyebabkan kepanikan massal di antara ribuan murid.
Akihisa, yang dengan cepat mengubah dirinya menjadi wujud yang lebih kuat dan gesit, memecah puing-puing yang menghalangi jalan keluar utama. "Cepat! Jangan panik! Ikuti aku ke shelter di area pelatihan! Bangunan ini tidak akan bertahan lama!" teriak Akihisa, suaranya keras dan memerintah, mengarahkan ratusan murid yang ketakutan.
Miku menggunakan kekuatan penyembuhnya untuk menstabilkan struktur bangunan yang masih rapuh, mencegah keruntuhan total pada koridor yang dipenuhi murid. "Bertahan! Segera keluar! Jangan berpisah!" seru Miku, tangannya memancarkan cahaya hijau terang yang memberikan kekuatan sementara pada tiang-tiang penopang.
Nina, yang kini jauh lebih tenang dan fokus berkat hubungan barunya, bekerja sama dengan Kizana. Nina menggunakan energi darahnya untuk menciptakan perisai sementara, melindungi para murid dari hujan pecahan kaca dan puing. "Kizana, lindungi sisi kanan! Aku akan mengurus sisi kiri!" perintah Nina.
Kizana dengan setia dan penuh keberanian berada di sisi Nina, menggunakan shinai-nya untuk menangkis puing-puing besar. "Baik, Nina-chan! Aku tidak akan membiarkan satu pun goresan menyentuhmu atau murid-murid ini!" jawab Kizana, kesetiaannya kini terfokus pada perlindungan.
Mereka berempat, yang dulunya adalah rival dan musuh, kini menjadi pahlawan tak terduga dalam krisis ini. Mereka bahu-membahu menyelamatkan nyawa, dipersatukan oleh ancaman yang nyata dan mematikan.
Di sela-sela evakuasi, Miku menatap ke atas. Langit tampak menyeramkan, dihiasi awan hitam pekat yang berputar cepat, dicampur dengan kilatan energi ungu dari portal di Shirayuki. "Akihisa, lihat ke atas!" seru Miku, suaranya dipenuhi kengerian.
Akihisa, yang juga melihat pemandangan itu, menggigil. "Sial! Ini bukan hanya gempa! Suara kengerian itu... rasanya seperti... tangisan dari neraka!" gumam Akihisa, matanya membesar karena ketakutan. Suara mengerikan yang ia dengar itu adalah jeritan energi kegelapan yang merobek realitas.
Nina merangkul seorang murid perempuan yang sedang terisak, menenangkan dirinya. "Jangan lihat ke atas! Fokus untuk berlari!" perintah Nina. Ia tahu, rasa takut akan melumpuhkan mereka, tetapi ia sendiri merasakan kengerian yang sama terhadap energi yang dilepaskan itu.
Mereka terus berjuang melawan waktu, melawan puing yang berjatuhan, dan melawan ketakutan yang mencekik. Mereka sadar, evakuasi ini hanyalah permulaan. Pertarungan yang sebenarnya baru akan dimulai begitu semua orang aman.
.
.
.
.
.
.
.
.
Kekacauan melanda Crown City, pusat pemerintahan Kerajaan. Di tengah guncangan dahsyat, Royal Railord dan Royal Nia Sayaka tidak duduk diam di Istana; mereka segera memimpin upaya penyelamatan rakyat. Mereka berdua memancarkan aura Royal yang kuat, menenangkan rakyat di tengah malapetaka.
"Jangan panik! Ikuti perintah kami!" teriak Royal Railord, suaranya diperkuat oleh sihir, bergema di seluruh alun-alun kota yang kini dipenuhi puing. Railord menggunakan kekuatan elemennya untuk menstabilkan struktur bangunan penting, menciptakan jalur aman bagi warga.
Di sisi lain, Royal Nia Sayaka fokus pada evakuasi warga sipil, memancarkan cahaya penyembuhan yang menenangkan. "Liini, bantu Ibu mengumpulkan anak-anak yang terpisah! Riana, gunakan kekuatanmu untuk membuat perisai dari puing-puing kecil!" perintah Ratu Nia kepada putri-putrinya.
Kelima anak mereka bergerak cepat. Royal Riana, yang memiliki kekuatan penyembuhan seperti ibunya, segera menciptakan Perisai Cahaya di atas kerumunan, melindungi mereka dari material yang jatuh dari langit.
Royal Liini, yang termuda, menggunakan kecepatan dan kelincahannya untuk menembus reruntuhan, mencari warga yang terjebak. Ia bergerak seperti bayangan, menarik keluar warga yang terluka dan membawanya ke zona aman yang telah ditentukan.
Sementara itu, Royal Natsuya dan Royal Agito, yang baru saja kembali dari misi pengintaian yang gagal di Shirayuki, langsung bergabung. Natsuya menggunakan keahlian strategisnya untuk mengorganisir rute evakuasi tercepat.
"Ayah, Ibu! Energi ini... ini lebih dari yang kita duga! Ada portal besar di Shirayuki!" lapor Natsuya, wajahnya pucat karena pengalaman yang baru ia alami, saat ia membantu menopang tembok yang runtuh.
Railord mengangguk, matanya serius. "Aku tahu, Natsuya. Sekarang fokus pada penyelamatan! Raina, bawa semua warga sipil ke ruang bawah tanah terkuat di Istana. Itu adalah tempat teraman di kota!" perintah Railord kepada putri sulungnya.
Royal Raina mengaktifkan kekuatannya—Gravity Control—dengan wajah tegang, ia mengangkat puing-puing besar dan membuka jalan bagi warga. "Semua warga! Bergerak! Cepat!"
Seluruh Keluarga Royal—Raja, Ratu, dan kelima anaknya—bahu membahu menyelamatkan setiap nyawa di Crown City, mengorbankan keamanan mereka sendiri demi rakyat Kerajaan.
.
.
.
.
.
.
.
.
Kengerian di udara semakin memuncak. Dari celah raksasa portal di Pegunungan Shirayuki, energi kegelapan memuntahkan legiun makhluk. Akhirnya, Raja Iblis sendiri muncul. Ia berdiri di garis depan pasukannya yang mengerikan, siluetnya besar dan mengancam di hadapan cahaya portal.
Ditemani oleh ribuan demon bersayap, Raja Iblis dan pasukannya kini terbang menuju pemukiman terdekat. Target mereka adalah Ranox City, tempat Araya Yamada telah menunggu.
Di atap gedung tertinggi, Araya tersenyum dingin, melihat kedatangan musuh. Ini bukan lagi permainan, ini adalah perang. Ia tidak menunggu mereka mendekat. Aura Higanbana di sekelilingnya semakin kuat, menyelimutinya dengan energi Kristal gelap yang tak terbatas.
Araya mengangkat Nodachi-nya tinggi-tinggi. "Selamat datang di Kerajaanku," bisik Araya, suaranya dipenuhi ancaman. Ia telah menghabiskan satu tahun penuh untuk mempelajari dan memaksimalkan setiap tingkatan kekuatannya; ia tahu, energi Araya tidak terbatas selama ia berada dalam kendali penuh.
Dengan kecepatan luar biasa, Araya mulai melancarkan tebasan pertamanya. Itu bukan tebasan fisik; itu adalah gelombang energi murni yang terbagi menjadi puluhan garis hitam.
Tebasan itu bergerak ke udara dengan elegan namun mematikan, langsung menghantam barisan depan pasukan demon. Ratusan demon di garis depan terpotong menjadi dua, hancur berkeping-keping, sebelum mereka sempat mencapai pinggiran kota.
Asap tebal dan sisa-sisa demon yang hangus jatuh ke kota, tetapi tebasan Araya telah menciptakan jeda sesaat yang krusial.
Raja Iblis menyipitkan matanya, terkejut dengan kekuatan serangan tunggal itu. "Menarik. Aku tidak menduga pertahanan Kerajaan ini sekuat ini, " gumam Raja Iblis, suaranya bergema seperti petir.
Araya mendarat di tepi atap, Nodachi-nya berkilauan. "Kau salah menilai. Kau tidak berhadapan dengan Raja atau Ratu. Kau berhadapan dengan aku," tantang Araya, sikapnya begitu tenang seolah ia sedang minum teh.
Pertarungan baru saja dimulai. Di Ranox City, Araya Yamada berdiri sendiri, menjadi perisai hidup bagi kotanya, siap menahan serangan pertama Raja Iblis dan legiunnya.
Araya tidak membuang waktu. Ia tahu setiap detik berharga untuk memberikan waktu evakuasi. Dengan kehadiran Raja Iblis, ia tidak boleh menahan diri. Ia bergerak di udara, menjadi bayangan hitam yang dikelilingi oleh aura Higanbana yang mematikan.
Setiap serangan Araya dilancarkan, menyapu bersih gelombang demi gelombang kroco demon bersayap milik Raja Iblis. Area di sekitar Araya menjadi zona kematian mutlak.
Araya memfokuskan energinya. "Dread Lycoris!" Serunya. Gelombang energi hitam pekat yang dingin dilepaskan dari Nodachi-nya, bukan sebagai tebasan, melainkan sebagai sebuah aura penghancur yang menyebar luas. Demon-demon yang terkena Dread Lycoris seketika membeku dan hancur menjadi debu, tidak meninggalkan sisa.
Tak puas, Araya segera meluncurkan serangan jarak jauh. "Lycoris Cutter!" Tebasan cepat yang tak terlihat dilepaskan, memotong jalur terbang demon-demon yang mencoba mendekat dari sisi sayap. Serangan ini sangat akurat, membunuh hanya mereka yang ditargetkan tanpa merusak kota di bawahnya.
Raja Iblis yang menyaksikan dari kejauhan merasa terhibur. "Manusia yang menarik. Dia menggunakan energi kegelapan dengan sangat... elegan, " gumam Raja Iblis.
Araya mendarat sebentar di atap gedung yang stabil, tetapi kakinya hanya menapak untuk sepersekian detik. Ia melihat beberapa demon berhasil menghindari serangan Dread Lycoris dan mulai mencoba menyerang warga sipil di pinggiran kota.
Araya mengunci target. "Lycoris Injection!" Sebuah serangan tembakan energi yang terkonsentrasi dan sangat cepat ditembakkan dari ujung Nodachi-nya. Energi itu menembus pertahanan demon-demon yang melindungi diri, membunuh target-target spesifik yang mengancam warga.
Sambil bergerak melayang ke atas, Araya memfokuskan energi terbesarnya. Langit di atas Ranox City menjadi gelap gulita, dihiasi ribuan Higanbana yang menyala merah darah. Seluruh auranya tercurah ke dalam satu serangan besar.
"Armageddon Lycoris!" raung Araya. Seluruh energi kegelapan yang ia kendalikan dilepaskan ke udara. Sebuah field energi berbentuk pedang raksasa muncul, menyapu sisa-sisa legiun demon di depan Raja Iblis, menciptakan kehampaan total di langit Ranox City.
Araya kembali mendarat di atap, napasnya sedikit terengah, namun ia tetap tenang. Ia kini berdiri sendiri, berhadapan langsung dengan Raja Iblis. "Garis pertahanan pertama telah selesai. Sekarang giliranmu," tantang Araya, menatap Raja Iblis tanpa gentar.
.
.
.
.
.
.
.
Melihat serangan masif Armageddon Lycoris yang menyapu bersih kroco demon di depannya, Raja Iblis tiba-tiba melakukan gerakan yang tak terduga. Alih-alih menghadapi Araya secara langsung, tubuh Raja Iblis berubah menjadi bayangan gelap yang melesat melewati Ranox City, menuju selatan dengan kecepatan supersonik.
Araya, yang sudah siap untuk duel, terlihat keheranan sesaat. "Dia lari? Tidak... dia punya target lain, " gumam Araya, segera menyadari bahwa Raja Iblis memprioritaskan pusat Kerajaan. Namun, masih ada ribuan demon bersayap yang lolos dari serangan Armageddon Lycoris.
Tanpa membuang sedetik pun, Araya segera kembali ke mode tempur. Ia tidak bisa membiarkan kroco-kroco ini merusak Ranox City lebih jauh. Ia melanjutkannya menyapu kroco Raja Iblis dengan tebasan Lycoris Cutter bertubi-tubi, meskipun ia tahu beberapa lolos dan menuju ke arah selatan, mengikuti jejak Tuannya.
Sementara Araya sibuk di Ranox City, kehancuran dan ancaman kini kini berpindah ke Atlas City. Demon-demon bersayap mulai terlihat di langit, mengincar gedung-gedung tertinggi. Nuita Elysion, yang berdiri di puncak apartemennya dengan lima robot tempurnya, segera bersiap.
"Unit Prime, fokus pada sayap kiri! Seraph, lindungi Koper Pandora! Veix, atasi yang terbang rendah! Cyrox dan Herius, lindungi perimeter!" perintah Nuita dengan suara tegas, memegang Koper Pandora yang kini berubah menjadi controller senjata yang kompleks.
Nuita mulai melancarkan serangan dari Koper Pandora yang terintegrasi dengan Robot Tempur. Ledakan energi plasma dan tembakan railgun dari robot-robot itu menghiasi langit. Ledakan demi ledakan terjadi di langit, menghancurkan formasi demon dengan destruktif yang tinggi.
Tiba-tiba, Nuita mendengar suara berisik di earpiece yang terpasang di telinganya. Itu adalah komunikasi yang disetelnya secara eksklusif dengan Araya. "Nuita, Raja Iblis melewarti Ranox City. Dia menghindari pertarunganku. Targetnya pasti Istana Kerajaan."
Mendengar itu, Nuita terkejut tetapi tetap tenang. "Dia benar-benar pintar," balas Nuita, sambil menembakkan rentetan pulse cannon dari unit Prime. "Fokus saja untuk menyapu para kroco ini, Araya. Jangan biarkan sisa pasukannya mengikutinya. Aku akan mengurus ini!"
"Mengerti," jawab Araya singkat, dan segera mematikan komunikasinya. Nuita tahu, tugasnya adalah menahan sisa pasukan di Atlas City. Nuita lanjut sembari melancarkan serangan demi serangan, bersama dengan lima unit tempurnya, mengubah langit Atlas City menjadi medan perang yang mematikan.
Pertarungan di langit Atlas City berkecamuk dengan intensitas yang mengerikan. Nuita Elysion berdiri sebagai pusat komando, memancarkan aura genius tempur. Lima robot tempurnya, Prime, Seraph, Veix, Cyrox, dan Herius, bergerak dengan sinkronisasi sempurna, menanggapi setiap ancaman yang muncul.
Unit Prime memimpin garis depan, melepaskan plasma cannon beruntun yang menghanguskan barisan demon. Setiap tembakan Prime terhitung, melenyapkan satu hingga dua lusin makhluk kegelapan dalam satu kali tembakan yang dahsyat.
"Veix, naik ke ketinggian! Mereka mencoba menyerang dari atas!" perintah Nuita, menggesekkan jarinya di permukaan Koper Pandora yang berfungsi sebagai controller. Robot Veix melesat ke atas, menembakkan kawat energi yang menjerat dan menghancurkan beberapa demon bersayap yang terbang terlalu tinggi.
Demon-demon itu, menyadari kekuatan Nuita, mulai melakukan serangan bunuh diri, mencoba mencapai puncak gedung tempat Nuita berada. Unit Seraph dan Herius bergerak cepat, membentuk perisai silang di depan Nuita.
"Herius, aktifkan Sonic Disruptor! Seraph, bersiap untuk perisai energi penuh!" seru Nuita. Gelombang suara dari Sonic Disruptor Herius membuat demon-demon yang mendekat kehilangan arah dan jatuh ke tanah, sementara Seraph menembakkan energy bolt yang melenyapkan sisa-sisa ancaman terdekat.
Namun, jumlah mereka tak terhitung. Nuita tahu ia hanya bisa bertahan. "Sial, jumlah mereka terlalu banyak. Mereka adalah umpan, tapi umpan yang menghabiskan waktu!" gumam Nuita, melihat meteran energi robotnya mulai menurun drastis.
Ia melihat ke bawah, ke kehancuran di kota. Warga sipil masih mencari tempat berlindung. Ia tidak boleh mundur. "Kita harus bertahan, meskipun hanya untuk beberapa menit lagi!" tekad Nuita, menyuntikkan energi cadangan ke unitnya.
"Cyrox, Full Power! Lindungi jalur evakuasi di Sektor Alpha! Jangan biarkan satu pun yang lolos!" perintah Nuita. Robot Cyrox melepaskan Beam Cannon vertikal, menciptakan dinding energi yang memblokir serangan demon ke area evakuasi utama.
Nuita menghela napas, energi mentalnya terkuras habis mengendalikan kelima unit tempur secara bersamaan. Ia melihat ke arah yang dituju Raja Iblis. "Indra, Evelia... kuharap kalian dan yang lain sudah bersiap. Ancaman nyata telah datang. Dan aku hanya bisa menahan sisanya."
Ia kembali menegaskan kendalinya. "Semua unit, fokus! Kita adalah tembok besi terakhir Atlas City!" raung Nuita, matanya memancarkan cahaya pantulan dari ledakan-ledakan yang sangat destruktif di langit.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Di tengah reruntuhan Crown City, upaya evakuasi yang dipimpin oleh Keluarga Royal akhirnya membuahkan hasil. Sebagian besar warga sipil telah diamankan di ruang bawah tanah Istana. Royal Railord bergegas melintasi alun-alun yang retak, tempat Royal Nia Sayaka bersama kelima anak mereka, Riana, Natsuya, Agito, Raina, dan Liini, berdiri.
"Nia, semua warga sipil sudah aman. Sekarang kita harus mengamankan diri!" seru Railord, langkahnya cepat. Ia tahu, ancaman utama akan menuju ke pusat Kerajaan—ke tempat mereka berada.
Tepat sebelum Railord mencapai Ratu dan anak-anaknya, sebuah bayangan gelap raksasa turun dari langit dengan kecepatan mematikan. Railord, yang memiliki insting tempur superior, bereaksi seketika.
Dengan gerakan cepat yang luar biasa, Railord mensummon pedangnya—Sol Invictus, pedang bermata dua yang memancarkan cahaya keemasan. Ia mengangkat pedang itu tinggi-tinggi dan menangkis serangan Raja Iblis yang datang langsung dari langit.
Suara benturan logam dengan energi kegelapan menciptakan gelombang kejut yang merobek alun-alun yang sudah rusak. Raja Iblis mendarat dengan anggun di seberang Railord, dikelilingi oleh aura ungu gelap yang mencekik.
Sang Iblis menyeringai, menunjukkan barisan giginya. "Jadi, kau adalah pemimpinnya? Pertahananmu lumayan, " sapa Raja Iblis dengan suara yang menggelegar, namun santai.
Railord berdiri tegak, memegang pedang Sol Invictus dengan kedua tangan, matanya tajam dan penuh wibawa. "Siapa kau? Siapa nama Raja Iblis yang ada di hadapanku ini? Kau tidak akan pergi dari sini tanpa identitasmu."
Raja Iblis tertawa sinis, suaranya seperti batu yang bergesekan. "Aku? Aku adalah Raja yang akan mengambil apa yang seharusnya menjadi milikku. Namaku Amon."
"Nia! Bawa anak-anak pergi dari sini! Cepat!" perintah Railord kepada istrinya. Ia tahu, ini akan menjadi pertarungan satu lawan satu yang brutal.
Namun, Raja Iblis Amon jauh lebih cepat. Dengan jentikan tangannya, sebuah lingkaran api hitam pekat muncul, mengelilingi Nia Sayaka dan kelima anaknya. Lingkaran api itu memancarkan energi kegelapan yang menahan. Mereka terperangkap, tidak bisa kemana-mana.
Raja Iblis Amon tertawa keras melihat jebakannya berhasil. Lingkaran api kegelapan yang mengurung Royal Nia Sayaka dan kelima anaknya menjadi pengalih perhatian yang sempurna. Ia menatap Railord dengan seringai.
"Tidak ada gunanya mencoba, Railord. Kau harus memilih," provokasi Amon, suaranya dipenuhi ejekan. "Bertarung melawanku untuk Kerajaan, atau menyelamatkan keluargamu dari api yang akan membakar mereka menjadi abu."
Railord tetap tenang. Pedang Sol Invictus di tangannya memancarkan cahaya keemasan yang stabil, menolak aura gelap Amon. "Kau Raja Iblis rendahan," balas Railord, suaranya mantap dan penuh wibawa. "Kau pikir permainan psikologis murahanmu akan berhasil padaku? Itu hanya akan mempercepat kematianmu."
Di dalam lingkaran api, Nia Sayaka berdiri tegak, memancarkan aura perlindungan. Ia berada di depan kelima anaknya—Riana, Natsuya, Agito, Raina, dan Liini—seorang ibu yang melindungi sarangnya dengan tekad yang kuat.
"Jangan takut, anak-anakku," bisik Nia, meskipun ia tahu api kegelapan ini sangat berbahaya. Ia memfokuskan energi penyembuhannya untuk menahan panas dan aura destruktif dari api Amon.
Dalam pikiran Nia dan Railord, harapan hanya tertuju pada satu orang: Indra. Indra, di mana pun kau berada, tolong selamatkan adik-adikmu, doa batin Nia, tatapannya penuh kerinduan.
Indra, pastikan kau tetap hidup, tekad batin Railord, meskipun ia tahu putra sulungnya mungkin tidak akan pernah bisa mencapai Crown City tepat waktu.
Di belakang Nia, kelima anaknya terlihat panik. Royal Riana menggenggam tangan adiknya. Natsuya, yang selalu rasional, kini mulai cemas. Agito bersiap untuk menyerang, namun api itu membatasi geraknya.
Royal Liini, yang paling kecil, bergumam, "Kakak tertua... di mana Kakak Indra? Kenapa dia belum datang?"
Nia Sayaka, meskipun tahu jarak Atlas City sangat jauh, menenangkan mereka. "Tenang. Indra pasti akan tiba. Dia adalah Kucing Es terbaik di Kerajaan ini. Kita harus percaya padanya dan Ayah kalian."
Tanpa membuang waktu untuk berdebat lebih lanjut, Raja Iblis Amon mengambil inisiatif. Dengan raungan yang mengguncang reruntuhan Crown City, Amon melompat tinggi.
Dari tangannya, Amon melancarkan serangannya—sebuah pedang energi kegelapan yang besar, diciptakan dari api hitam di sekitar lingkaran penjara Keluarga Royal. Pedang kegelapan itu melesat menuju Royal Railord dengan kecepatan yang tak terbayangkan.
Railord merespons dengan kilat. "Kau yang memintanya!" seru Railord. Pedang Sol Invictus di tangannya memancarkan cahaya keemasan yang menyilaukan. Railord melompat untuk menyambut serangan Amon, mengabaikan keluarganya yang terperangkap.
Mereka beradu pedang dengan gesit dan penuh energi. Bentrokan pertama pedang Sol Invictus dan pedang kegelapan Amon melepaskan gelombang kejut energi murni. Gelombang kejut itu menghancurkan sisa-sisa bangunan di alun-alun, menciptakan kawah baru di tanah.
Railord dan Amon bergerak terlalu cepat untuk dilihat mata telanjang. Mereka berputar, menebas, dan menangkis, setiap serangan melepaskan energi dahsyat yang berpotensi meratakan seluruh kota jika tidak dikendalikan oleh kekuatan Royal Railord.
Amon menyeringai. "Luar biasa! Energi Cahaya Royal ini memang menarik!" seru Amon, menikmati pertarungan itu. Ia tahu, energi Sol Invictus adalah kelemahan terbesarnya, tetapi ia lebih kuat dari yang Railord duga.
Railord tidak membalas provokasi itu dengan kata-kata, melainkan dengan serangan balik yang brutal. "Lindungi keluargaku!" teriak Railord. Ia melepaskan rentetan Solar Flare—ledakan cahaya yang terfokus—dari pedangnya, memaksa Amon untuk mundur sejenak.
"Kau melawanku sendirian, Railord! Energi ini tidak akan bertahan lama!" tantang Amon, melihat Railord yang mulai tampak kelelahan setelah menangkis rentetan serangan beratnya. Amon melepaskan serangan balik berupa serangkaian bola api hitam pekat.
Railord menangkis bola api itu satu per satu, sambil terus mendekati Amon. Ia tahu ia harus mengakhiri pertarungan ini sebelum energi penjara api Amon menghabiskan keluarganya. "Aku tidak sendirian. Aku bertarung demi Kerajaanku!"
Pertarungan terus memanas, diiringi teriakan putus asa dan harapan dari balik lingkaran api. Royal Nia Sayaka dan anak-anaknya hanya bisa menyaksikan Raja mereka bertarung dalam duel hidup dan mati.
Pertarungan antara Royal Railord dan Raja Iblis Amon terus berlanjut tanpa henti. Dentuman energi dan kilatan cahaya mengisi alun-alun Crown City, mengancam untuk menghancurkan apa pun yang tersisa. Fokus Railord terpecah, ia harus bertarung sekaligus khawatir terhadap keluarganya yang terperangkap.
Sementara Railord bertempur, di dalam lingkaran api hitam, Royal Nia Sayaka tidak menyerah. Sebagai Ratu dan seorang ibu, ia memiliki kekuatan yang didorong oleh tekad yang tak tergoyahkan. Ia memfokuskan seluruh energi penyembuhannya—Healing Light—untuk menetralisir aura destruktif dari api Amon.
"Kita harus menteralkannya! Riana, fokuskan Cahaya Penyembuhanmu ke inti api! Raina, gunakan Kontrol Gravitasimu untuk menekan energi api itu ke bawah!" perintah Nia Sayaka, suaranya mantap meskipun ia merasakan panas yang membakar.
Royal Riana, dengan mata terpejam, memancarkan Cahaya Penyembuhan murni, mencoba memurnikan energi kegelapan dari api. "Aku berusaha, Ibu! Energinya sangat korosif!" Riana berjuang, dahinya dipenuhi keringat.
Di sebelahnya, Royal Raina mengerahkan kekuatan Gravity Control-nya. Ia mencoba menerapkan tekanan gravitasi yang luar biasa pada lingkaran api itu, bertujuan untuk memampatkan dan memadamkannya. "Aku mencoba menekannya, tapi ini bukan api biasa! Rasanya seperti cairan padat!" seru Raina.
Natsuya dan Agito berdiri siaga, siap menyerang jika api itu sedikit saja melemah. Liini bersembunyi di belakang ibunya, siap untuk beraksi.
Melihat upaya mereka, Amon tertawa sinis saat bertukar tebasan pedang dengan Railord. "Lihat, Railord! Istrimu dan anak-anakmu mencoba bunuh diri! Api Kegelapan itu tidak bisa dinetralisir dengan sihir penyembuh dasar!"
"Diam, Iblis!" balas Railord, amarahnya memuncak. Ia melepaskan rentetan Sun Burst dari pedangnya, memaksa Amon untuk sibuk menangkis dan memberi waktu bagi Nia Sayaka.
Nia Sayaka, merasakan kekuatan api itu menembus perisai mereka, menoleh ke Riana dan Raina. "Kita tidak punya banyak waktu. Riana, Raina, jangan berhenti! Kalian lebih kuat dari ini!" tekad Nia. "Kita adalah Royal! Kita tidak menyerah!"
Dengan dorongan dari sang Ibu, Riana dan Raina menggabungkan kekuatan mereka, Cahaya Penyembuhan Riana bertemu dengan tekanan gravitasi Raina, menciptakan pusaran energi yang perlahan mulai merusak formasi api kegelapan Raja Iblis.
.
.
.
.
.
.
Di tengah gemuruh pertarungan dan kehancuran di Crown City, sebuah sosok yang kontras dengan kekacauan itu terlihat. Seorang wanita berambut merah panjang, mengenakan kimono hitam yang dihiasi bordir emas mewah, berjalan dengan langkah yang sangat santai menuju alun-alun utama, seolah-olah ia sedang menikmati piknik.
Wanita itu melintasi reruntuhan tanpa menunjukkan rasa takut atau tergesa-gesa. Kehadirannya memancarkan aura Royal yang dingin, bahkan lebih dingin daripada aura yang biasanya dipancarkan oleh Royal Railord sendiri.
Ia berhenti di tepi alun-alun, di mana lingkaran api kegelapan masih mengurung Nia Sayaka dan anak-anaknya. Wanita itu melirik lingkaran api, lalu mengalihkan pandangannya ke pertempuran yang terjadi.
Di tengah alun-alun, pertarungan masih berlanjut. Railord dan Amon saling beradu pedang dengan kecepatan dan kekuatan yang tak terlukiskan. Kilatan emas dari Sol Invictus dan kilatan hitam dari pedang Amon terus bertabrakan.
Namun, perlahan-lahan, terlihat adanya perubahan. Pedang Sol Invictus Railord, yang memiliki kemampuan alami untuk melawan dan menyerap energi kegelapan, mulai menunjukkan efeknya.
Sol Invictus berhasil menyerap perlahan kekuatan Amon dan menetralisirkannya. Setiap kali pedang mereka bersentuhan, bagian dari aura ungu gelap Amon terkikis. Amon, meskipun Raja Iblis, mulai terasa perlahan melemah.
Amon menyadari hal ini dan raut wajahnya berubah menjadi marah. "Pedang terkutuk ini! Railord, kau menggunakan trik murahan!" teriak Amon, serangannya menjadi semakin brutal dan tak teratur.
Railord tidak membalas dengan kata-kata, ia fokus mempertahankan ritme. "Kau Raja Iblis, seharusnya kau tahu aturan pertempuran di dunia ini!" balas Railord, sambil mendorong Amon mundur dengan tebasan cahaya yang kuat.
Tiba-tiba, Amon merasakan aura dingin yang menusuk dari belakangnya. Ia menoleh dan melihat wanita berkimono hitam itu. Siapa dia? Aura ini... sangat familiar, pikir Amon.
Wanita berkimono hitam itu tersenyum tipis. Senyumnya begitu menakutkan. "Aku rasa ini bukan hanya soal trik, Raja Iblis. Ini soal kepatuhan pada aturan alam semesta ini," ujar wanita itu, suaranya tenang, namun memiliki wibawa yang luar biasa.
"Kau siapa?" tanya Amon, kini ekspresinya dipenuhi kewaspadaan. Kehadiran wanita ini jauh lebih mengancam daripada pedang Railord.
Royal Railord terkejut melihat sosok yang dikenalnya itu. Meskipun dalam keadaan terdesak, ia segera mengenali wanita berkimono hitam itu. Wajahnya menunjukkan campuran kelegaan dan kebingungan.
"Amanda! Kau kembali!" seru Railord, menyebut nama Amanda Yamada, saudari kembar istrinya. Kehadiran Amanda seolah menjadi titik balik tak terduga dalam pertempuran yang brutal itu.
Amanda hanya tersenyum tipis, senyum yang membawa sedikit rasa misteri. Ia tidak menjawab Railord, melainkan mengalihkan perhatiannya pada lingkaran api kegelapan yang mengurung adiknya.
Dengan gerakan yang tenang namun penuh tenaga, Amanda meletakkan tangan kanannya di gagang pedang yang terselip di pinggangnya. Ia mensummon Odachi-nya (pedang panjang), dan pedang itu ditarik dari sarungnya, diiringi kobaran api berwarna magenta yang intens.
Penarikan pedang itu menghasilkan hembusan angin yang dahsyat dan panas, yang bukan hanya menggetarkan udara tetapi juga meniadakan energi kegelapan. Seketika, api yang mengurung Nia Sayaka dan kelima anaknya menghilang.
Royal Nia Sayaka menarik napas lega. Ia memeluk anak-anaknya sejenak sebelum menatap kakaknya dengan mata berkaca-kaca. "Amanda! Kau kembali!" Nia Sayaka memanggilnya dengan nada senang dan haru.
Amanda tersenyum ke arah adiknya. "Aku tidak akan melewatkan pertarungan yang menarik seperti ini, Nia. Terutama jika menyangkut keselamatanmu," balas Amanda, nadanya penuh kasih sayang yang diselimuti ketegasan.
Amanda kembali menatap Railord, menilai situasinya. "Sepertinya kau sudah kelelahan, Railord," ucap Amanda, menunjuk ke pedang Sol Invictus Railord yang kini mulai berkedip-kedip, menunjukkan energi yang terkuras.
Railord menepis hal itu. "Aku tidak kelelahan! Aku bisa mengurusnya!" sanggah Railord, sedikit merasa harga dirinya tersentuh. Namun, ia tidak menunggu jawaban dan segera bersiap menyerang Amon lagi, tidak mau kehilangan momentum.
Tepat saat Railord meluncur, sebuah bayangan lain ikut meluncur dari arah Ranox City. Araya Yamada telah menyelesaikan tugasnya menyapu kroco, dan kini bergabung ke dalam pertarungan utama, Nodachi-nya berkobar kegelapan.
Meskipun Amon melemah akibat Sol Invictus dan kini dihadapkan pada tiga penyerang mematikan—Railord, Araya, dan Amanda—ia tidak gentar. Raja Iblis itu hanya semakin mengamuk, mengeluarkan raungan keras dan memfokuskan energi kegelapan yang tersisa di tubuhnya.
Araya Yamada, yang meluncur ke alun-alun, mendarat di samping ibunya, Amanda, dengan kecepatan kilat. Meskipun ia telah bergabung dalam pertarungan, ia tidak bisa menahan diri untuk tidak memanggil wanita yang telah lama hilang itu.
Dengan suara yang dingin, penuh kebencian, dan kejengkelan yang telah ia pendam selama bertahun-tahun, Araya memanggil Amanda dengan sebutan "Mama."
"Mama, kenapa baru sekarang kau muncul? Setelah semua yang terjadi di Akademi, setelah kau menghilang begitu lama?" tanya Araya, auranya berbenturan dengan api magenta Amanda, menciptakan pusaran energi yang aneh.
Amanda hanya menatap putranya, ekspresinya dipenuhi kesedihan sesaat yang cepat ia sembunyikan. "Aku akan menceritakannya nanti, Araya. Sekarang bukan waktunya untuk drama keluarga. Fokus pada Raja Iblis itu," jawab Amanda, suaranya mengandung perintah yang tidak bisa dibantah.
Railord tidak menunggu. Ia tahu membiarkan Amon mendapatkan waktu akan berbahaya. Railord kembali menyerang Amon, memaksa Raja Iblis untuk berduel dengannya.
Melihat tekanan dari Railord dan ancaman dari Amanda serta Araya, Amon menyeringai. "Tiga Royal dengan energi yang berbeda? Menarik sekali!"
Amon kini mulai membuat bayangannya sendiri. Energi kegelapan di sekitarnya memadat, membentuk tiga tiruan yang tampak solid dan sama kuatnya dengan aslinya. Bayangan-bayangan itu segera bergerak, masing-masing menyamai jumlah lawan kuat dihadapannya: Railord, Amanda, dan Araya.
Di belakang barisan depan, Agito, Natsuya, dan Liini melihat kesempatan ini. Mereka bertiga melesat maju, menyadari bahwa bayangan Amon adalah ancaman baru yang harus segera ditangani. Agito dengan pedang energinya, Natsuya dengan sihir strategi, dan Liini dengan kecepatan mereka mulai bergabung dengan mereka.
Sementara itu, Nia Sayaka, yang kini bebas, tidak ragu-ragu. Ia mengarahkan Riana dan Raina untuk membantunya. Mereka bertiga mundur sedikit, memfokuskan kekuatan mereka dari belakang.
Nia, Riana, dan Raina mulai melancarkan penyembuhan massal, memulihkan energi yang terkuras dari Railord dan anak-anak mereka yang lain, memastikan mereka bisa bertarung dalam kondisi puncak melawan Amon dan tiruannya.
Railord, Araya, dan Amanda siap menghadapi tiruan Amon, sementara tiga anggota Royal yang lebih muda siap mendukung. Pertarungan kini berubah menjadi enam Royal melawan Raja Iblis Amon dan tiga tiruannya.
Pertarungan epik enam lawan empat dimulai di tengah reruntuhan alun-alun Crown City. Royal Railord, Amanda, dan Araya segera memilih target bayangan Amon yang sesuai dengan energi mereka, sementara tiga Royal yang lebih muda bergerak sebagai pendukung taktis.
Railord berhadapan dengan satu bayangan Amon. Ia memegang Sol Invictus, memanfaatkan keunggulan cahaya murni untuk melawan energi kegelapan tiruan itu. Liini, dengan kecepatan luar biasa, bergerak di sekitar bayangan, menyerang titik buta untuk mengganggu konsentrasi tiruan Amon, memberi Railord celah untuk menebas.
"Liini, Solar Punch dari kiri! Aku akan menahan serangannya!" perintah Railord, sambil menangkis pedang kegelapan bayangan Amon. Liini mengangguk, melepaskan tinju cahaya yang cepat dan terfokus, memaksa bayangan itu untuk mundur sejenak.
Di sisi lain, Araya berhadapan dengan tiruan Amon yang lain. Ia menggunakan Nodachi-nya dengan kecepatan mematikan, melepaskan Lycoris Cutter beruntun. Agito, yang bersemangat, menggunakan pedang energinya untuk menyerang kaki bayangan Amon.
"Agito, serang rendah! Jangan biarkan dia fokus padaku!" seru Araya, ekspresinya sedingin es. "Aku akan memutus sumber energinya!" Agito menjawab dengan teriakan pertempuran, pedang energinya memotong udara dan menghantam lutut bayangan Amon.
Sementara itu, Amanda dengan Odachi dan api magentanya, menghadapi bayangan Amon ketiga. Energinya yang destruktif dan panas bertabrakan dengan aura dingin bayangan. Natsuya, yang paling strategis, menggunakan sihir pengikat untuk menahan pergerakan bayangan Amon.
"Natsuya, ikat pergelangan tangannya! Api magentaku akan membakar kegelapan ini hingga ke intinya!" perintah Amanda. Natsuya mengaktifkan rune sihir, menciptakan rantai energi yang menjerat pergelangan tangan bayangan, memberinya kesempatan untuk melancarkan tebasan api yang menghancurkan.
Mereka kompak saling bekerja sama, mengandalkan kekuatan utama Royal yang menghancurkan dan dukungan taktis dari yang lebih muda. Setiap tim bertekad untuk melenyapkan bayangan Amon, yang meskipun tiruan, memiliki kekuatan yang hampir sama dengan aslinya.
Di kejauhan, Amon yang asli tertawa keras, menikmati pertunjukan yang brutal itu. "Luar biasa! Serangan yang begitu rapi! Tapi ini hanya akan membuat kalian kelelahan!" tantang Amon, matanya memancarkan kegelapan yang lebih pekat.
Namun, di belakang mereka, Nia Sayaka dan kedua putrinya terus memancarkan energi penyembuhan, menopang stamina para petarung, memastikan setiap serangan balik mereka kuat dan mematikan.
Pertarungan sengit di Crown City telah mencapai klimaks yang memilukan. Meskipun enam anggota Royal berjuang keras melawan tiga bayangan Amon, Raja Iblis yang asli tiba-tiba bergerak dengan kecepatan yang tak terduga, memanfaatkan celah kecil dalam formasi pertahanan mereka.
Amon menyadari bahwa sumber kekuatan dan penyembuhan mereka berasal dari belakang. Dengan seringai bengis, Amon mengunci targetnya—Nia Sayaka, Riana, dan Raina—yang berada di belakang, bertugas sebagai penyokong.
"Selamat tinggal, Ratu! Tanpamu, Kerajaan ini akan jatuh!" raung Amon. Ia mengabaikan serangan dari bayangannya dan melepaskan energi kegelapan terkonsentrasi yang menyelimuti dirinya.
Araya, Railord, Amanda, Natsuya, Agito, dan Liini melihat gerakan brutal Amon dan menyadari bahaya yang mengancam. Mereka semua lengah sesaat, terkejut oleh perubahan fokus mendadak dari Raja Iblis itu.
"TIDAK!" teriak Railord. Ia segera meninggalkan duelnya dengan bayangan dan berlari menuju Nia, Sol Invictus di tangannya bersiap untuk menangkis. Araya dan Amanda juga bergerak cepat, mengabaikan tiruan Amon, dan bergegas menuju Nia, Riana, dan Raina.
Namun, terlambat. Amon telah meluncurkan pedang kegelapan panjang yang ditarik dari intinya. Serangan pedang panjang Amon yang terbuat dari energi murni menusuk inti kehidupan mereka bertiga secara bersamaan: Nia Sayaka, Riana, dan Raina.
Darah Royal yang suci tumpah, dan energi penyembuhan yang mereka pancarkan seketika padam. Tubuh mereka ambruk ke tanah, dan lingkaran api hitam Amon di sekitar mereka menghilang, kini digantikan oleh lingkaran kematian yang sunyi.
Amanda, melihat adiknya dan kedua keponakannya jatuh, berteriak dengan suara yang dipenuhi penderitaan dan amarah yang belum pernah terjadi sebelumnya. "NIAAAAA!!!"
Railord berhenti tepat di samping tubuh istrinya dan kedua putrinya, melihat mereka tanpa nyawa. Pedang Sol Invictus jatuh dari tangannya yang gemetar. Railord hanya bisa berteriak dalam kesedihan yang menghancurkan, sebuah suara yang memilukan hati.
Araya, sang jenius dingin, hanya bisa termenung melihat pemandangan itu. Kegelapan di matanya kini bercampur dengan rasa sakit yang tulus. Sememtara itu, Liini, berdiri mematung, termenung dan membisu, sementara Natsuya dan Agito menjerit histeris dalam keputusasaan yang tak tertahankan.
.
.
.
.
.
.
.
Segera setelah serangan fatal Amon, energi yang digunakan untuk menciptakan tiruannya kembali ke tubuh aslinya. Bayangan Amon lainnya seketika menghilang, karena fokus dan energi Raja Iblis sepenuhnya tercurah ke dalam serangan tunggal yang mematikan itu.
Royal Railord berlutut di samping istrinya, memeluk Nia Sayaka erat-erat. Ia meletakkan Sol Invictus di tanah, dan dengan tangan gemetar, ia berusaha menutup luka di perut Nia, berharap keajaiban Royal akan bekerja.
Nia Sayaka, meskipun hidupnya telah ditarik paksa, berhasil tersenyum tipis ke arah suaminya. Senyum yang penuh cinta, kepastian, dan perpisahan. "Railord... jaga... jaga Kerajaan kita..." bisik Nia, napasnya terhenti, dan cahaya di matanya meredup.
Di sebelahnya, kedua putri mereka menderita. Royal Riana sudah tidak bernyawa saat itu juga; serangan Amon terlalu fatal. Sementara Royal Raina berada dalam kondisi yang sangat sekarat.
Raina terus bergumam dengan suara yang nyaris tak terdengar, air mata mengalir di pipinya. "Sakit... Ayah... aku merasakan sangat sakit..." Rasa sakit itu bukan hanya fisik, tetapi juga rasa sakit karena menyaksikan ibunya pergi.
Amon tertawa, menikmati hasil kerjaannya. "Tontonlah Kerajaanmu runtuh, Railord!" tantangnya.
Namun, Amon tidak sempat merayakan. Amanda, yang didorong oleh kemarahan yang meluap-luap, kembali fokus pada pertarungan. Wajahnya keras, api magenta di Odachi-nya kini berkobar tak terkendali.
"Kau akan membayar ini, Iblis!" raung Amanda. Ia melawan Amon dengan penuh emosi, melancarkan serangan bertubi-tubi yang jauh lebih brutal dari sebelumnya. Setiap tebasan Odachi Amanda mengandung amarah yang mampu merobek dimensi.
Sambil bertarung, Amanda melihat ke arah putri dan saudara iparnya. "Railord! Araya! Sadar! Ini bukan saatnya! Jaga Raina! Jaga adik-adik kalian!" teriak Amanda, suaranya berhasil menembus keterkejutan mereka.
Di sisi lain, Liini masih mematung di tempatnya, terkejut menyaksikan kematian ibunya dan kakaknya. Natsuya dan Agito yang berlinang air mata segera berlutut dan memeluk saudari mereka, Raina, mencoba menenangkan dan memberikan kekuatan padanya, berjuang menerima kenyataan pahit tersebut.
Amanda Yamada, yang diliputi amarah, melancarkan serangan Odachi yang sangat cepat dan brutal ke arah Amon. Namun, emosinya menguasai dirinya, dan gerakannya menjadi tidak terarah.
Amon, meskipun terluka oleh serangan Sol Invictus Railord sebelumnya, dengan mudah menghindari tebasan api magenta Amanda yang datang bertubi-tubi. Raja Iblis itu memanfaatkan celah yang ditinggalkan oleh amarah Amanda.
"Amaterasu yang emosional! Kau terlalu fokus pada kebencian!" ejek Amon.
Saat serangan Amanda meleset, perhatiannya kembali teralihkan oleh suara isak tangis dari keluarganya. Ia menoleh ke belakang, dan matanya melebar dalam kengerian.
Amon telah memanfaatkan momen itu. Dengan kekuatan yang tersisa, ia melepaskan serangan balik yang sangat terkonsentrasi. Itu adalah gelombang energi kegelapan yang menghantam tiga anggota Royal yang sedang berduka di tanah.
Railord, yang sedang memeluk Nia Sayaka, Natsuya, dan Agito, yang berlutut di samping Raina, tidak sempat bereaksi. Mereka sepenuhnya tenggelam dalam kesedihan dan tidak siap menghadapi serangan mendadak itu.
Gelombang energi kegelapan itu langsung menghantam Railord, Natsuya, dan Agito, melumpuhkan mereka seketika. Tubuh mereka ambruk di samping Nia Sayaka dan Raina yang sekarat.
Amanda hanya bisa menatap pemandangan itu. Ia kembali melihat kematian—kematian adiknya, keponakannya, saudara iparnya, dan kini kedua keponakannya yang lain. Pemandangan itu terlalu berat untuk diterima.
Air mata Amanda mengalir, namun ia tidak berteriak kali ini. Ia mengangkat tangannya yang gemetar ke arah keningnya. Amanda menaikkan poninya ke atas, memperlihatkan tanda yang bersinar redup di dahinya—tanda yang melambangkan kekuatan Royal tersembunyi yang kini ia aktifkan karena keputusasaan dan rasa sakit yang tak tertahankan.
"Cukup," bisik Amanda, suaranya kini dingin, kosong, namun penuh kekuatan. Ia kini hanya menyisakan dirinya sendiri, Araya, dan kedua keponakannya yang masih hidup di tengah kehancuran ini.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Dengan hati yang hancur namun tekad yang diperbarui, Amanda memimpin sisa-sisa kekuatan Keluarga Royal yang masih mampu berdiri. Araya, yang kini melihat ibunya mengaktifkan kekuatan tersembunyi, segera bergabung di sisi Amanda, diikuti oleh Liini yang masih terkejut.
"Araya, lindungi sisi kanan! Liini, gunakan kecepatanmu untuk mengganggu gerakannya!" perintah Amanda, suaranya tajam. Amon kini menyadari ia berhadapan dengan kekuatan Royal tersembunyi yang jauh lebih mematikan.
Araya mengangguk, Nodachi-nya memancarkan energi kegelapan yang lebih pekat. Liini bergerak bagaikan kilat, mengitari Amon, mencari celah untuk menyerang.
Tiba-tiba, di tengah pertarungan, sebuah serangan tak terduga datang dari langit. Sebuah serangan purwarupa dahsyat, berupa railgun berenergi tinggi, menghantam Amon secara langsung dengan kekuatan yang luar biasa.
Gelombang kejut dari serangan itu membuat Amon terpental mundur beberapa puluh meter, merusak tubuh iblisnya yang mulai melemah.
Hampir bersamaan, dari sisi lainnya, datang serangan kedua. Hempasan ekor sepuluh Kitsune berwarna perak-emas menyerang Amon dari samping, menimbulkan luka sayatan yang dalam di tubuhnya.
Indra dan Evelia telah tiba! Mereka mendarat di alun-alun, di dekat Liini yang terkejut sekaligus lega melihat kedatangan Kakak tertuanya.
Amon tertawa, meskipun tubuhnya terluka parah. "Dua hama baru datang? Dan... energi Kitsune?" Amon terkekeh, suaranya dipenuhi cibiran. "Menarik. Kau membawa Kristal Kehidupan terakhir kepadaku."
Namun, yang menjawab Amon bukanlah Evelia. Di saat Evelia melihat tubuh Nia Sayaka dan Riana yang tak bernyawa, dan Railord yang terluka, jiwa Namitha—leluhur Kitsune Evelia—mengambil alih.
Mata Evelia (Namitha) bersinar keemasan, dan sepuluh ekornya berdiri tegak. Ia menatap Amon dengan tatapan mata kuno yang dipenuhi kemarahan.
"Kau Raja Iblis bodoh," kata Namitha, suaranya kini bergetar, namun memiliki wibawa dari zaman kuno. "Kau telah membangunkanku, dan kau telah membunuh keturunan dari mereka yang melindungiku. Kau tidak akan mendapatkan Kristal Kehidupan ini!"
Indra melangkah cepat menuju adiknya, Liini, yang masih terkejut dan membeku di tempatnya. Melihat adiknya yang terpukul, Indra meletakkan tangan kirinya di kepala Liini, mengelusnya dengan lembut, mencoba menanamkan kekuatan dan ketenangan padanya.
"Liini, jangan putus asa," bisik Indra, suaranya mengandung kesedihan yang mendalam, namun juga ketenangan khasnya. Ia tahu, Liini membutuhkan kehadiran satu-satunya keluarga yang tersisa saat ini.
Dari balik jubahnya, Indra memberikan Senjata Sniper purwarupa yang baru ia ciptakan kepada Liini. Senjata itu memancarkan aura dingin energi es yang kuat.
"Ambil ini. Tugasmu bukan bertarung di garis depan, tapi menjadi penembak jitu terbaik kita," perintah Indra. "Kau harus hidup. Kau masih memiliki Kakak Indra. Aku tidak akan membiarkanmu pergi juga."
Liini, yang kini memegang senjata sniper itu, hanya bisa mengangguk, matanya yang berkaca-kaca menatap kakaknya. Ia menyalurkan semua kesedihan dan keputusasaannya ke dalam senjata itu.
Indra kemudian mengalihkan pandangannya ke tengah alun-alun. Ia melihat jasad Royal Railord, Nia Sayaka, dan Riana yang sudah tak bernyawa. Di dekat mereka, Natsuya dan Agito terbaring tak bergerak, sementara Raina masih berjuang melawan maut.
Indra hanya terdiam sejenak, wajahnya menunjukkan kesedihan yang tak terlukiskan. Ia menarik napas dalam-dalam, menundukkan kepala sejenak memberikan penghormatan terakhir kepada keluarganya yang telah gugur.
Setelah itu, ia mengangkat kepalanya, dan seluruh emosi menghilang. Matanya kini membeku, sedingin es, dan fokus sepenuhnya beralih ke Amon.
Indra melangkah maju, menjauh dari Liini, dan bergabung dengan Evelia (Namitha) dan Amanda. Aura es yang dipancarkannya kini begitu kuat sehingga udara di sekitarnya mengembun.
"Amon," panggil Indra, suaranya rendah dan dingin. "Kau telah mengambil segalanya dariku. Aku akan memastikan kau tidak akan pernah mengambil apa pun lagi dari Kerajaan ini."
Dengan gugurnya sebagian besar Keluarga Royal, Indra dan Evelia (Namitha) segera mengambil alih komando. Pertarungan yang tadinya hanya perlawanan kini berubah menjadi serangan balasan yang dingin dan terarah.
"Amanda, alihkan perhatiannya dengan api! Araya, potong jalur mundurnya! Liini, cari titik lemah dari jarak jauh!" perintah Indra, suaranya tenang, namun penuh otoritas yang baru diaktifkan.
Amanda tidak menunggu, Odachi api magentanya berkobar, ia melancarkan serangan beruntun ke Amon. Araya mendukungnya dengan Lycoris Cutter, menciptakan jaring kegelapan yang membatasi pergerakan Raja Iblis.
Sementara itu, Evelia (Namitha) memanfaatkan kesempatan itu. Ia melompat tinggi ke udara. Sepuluh ekor Kitsune di belakangnya memancarkan energi perak-emas yang menyilaukan, menandakan aktivasi kekuatan Namitha sepenuhnya.
Dari kejauhan, Liini menembakkan sniper purwarupa yang diberikan Indra. Peluru energi es itu, yang telah diisi dengan semua kesedihan dan amarah Liini, meluncur cepat dan sangat akurat, menghantam bahu Amon yang sudah terluka.
Amon awalnya arogan, ia menangkis serangan-serangan itu dengan mudah, menganggap mereka hanyalah serangan putus asa. "Sungguh pertarungan yang menyedihkan! Kalian tidak akan bisa menyentuhku!" ejek Amon.
Namun, lambat laun, Amon merasa ada yang janggal. Setiap serangan Evelia (Namitha) terasa sangat kuno, dan kekuatan es Indra jauh lebih dingin dan korosif daripada es biasa. Energi mereka berdua tidak hanya menyerang fisik, tetapi juga inti kegelapannya.
"Kekuatan ini... kau bukan manusia biasa! Guardian dan Kitsune!" raung Amon, akhirnya mengenali kekuatan sejati yang ada di hadapannya. Ia sadar bahwa kekuatan Evelia (Namitha) dan Indra (Guardian) berada di atasnya.
Indra meluncur maju, menciptakan badai es besar yang menyelimuti Amon. "Ini adalah harga dari kejahatanmu!" teriak Indra. Evelia (Namitha) memanfaatkan celah itu.
Dengan kekuatan penuh, Evelia (Namitha) melancarkan serangan laser berskala besar dari sepuluh ekornya. Laser perak-emas yang sangat terfokus itu langsung mengarah ke jantung Amon, diiringi oleh serangan es terkuat Indra: Dread Chase yang membekukan dan Shooting Star yang menghancurkan.
Gelombang serangan gabungan dari Evelia (Namitha) dan Indra—laser Kitsune emas-perak, Dread Chase, dan Shooting Star—menghantam tubuh Raja Iblis Amon secara telak. Serangan itu adalah kombinasi kekuatan Kitsune kuno dan energi Guardian yang suci.
Kekuatan yang dilepaskan begitu dahsyat. Di atas Crown City, terjadi ledakan besar yang memekakkan telinga, namun alih-alih asap hitam, ledakan itu memancarkan aura kebiruan (energi es Indra) dan emas (energi Kitsune Evelia). Cahaya itu menyelimuti seluruh kota, membersihkan energi kegelapan dan memberikan harapan di tengah kehancuran.
Tubuh Amon mulai terfragmentasi dan menghilang dalam cahaya suci itu. Ia telah dikalahkan oleh kekuatan yang baru bangkit dan energi kuno yang ia pandang remeh.
Jauh di Akademi Animers, Nuita, Nina, Kizana, Miku, dan Akihisa yang masih sibuk dalam upaya evakuasi, menghentikan semua kegiatan mereka. Mereka semua mendongak ke langit.
Dari Akademi Animers, mereka melihat cahaya tersebut. Cahaya biru dan emas yang meletus di langit Crown City begitu terang, melampaui semua asap dan debu.
Nuita yang berada di atap gedung tertinggi, menghentikan serangan robot tempurnya. Ia hanya termenung, matanya terpaku pada cahaya itu. Ia tahu, Indra dan Evelia telah mencapai batas kekuatan mereka.
Akihisa dan Miku yang sedang berada di area shelter, saling berpegangan tangan. "Itu... itu pasti Indra dan Evelia," bisik Miku, suaranya dipenuhi kelegaan yang bercampur kesedihan.
Nina dan Kizana berdiri berdampingan. Nina menatap cahaya itu. Meskipun ia membenci Indra dan Evelia di masa lalu, ia tahu cahaya itu adalah satu-satunya harapan mereka. Mereka berdua hanya termenung, menyadari pengorbanan yang telah terjadi.
Namun, bahkan dalam proses kehancurannya, Amon tidak diam. Suaranya, meskipun lemah dan terdistorsi, bergema di ether, mencapai pikiran semua orang, termasuk mereka yang berada di Akademi.
"Kau menang kali ini, wahai Guardian dan Kitsune," suara Amon bergema di udara.
"Tapi ingat ini! Aku akan kembali. Aku akan kembali untuk mengambil Kristal Kehidupan dan Kerajaan ini," ancam Amon.
Sebelum lenyap, Raja Iblis itu bahkan masih bisa mengatakan kalimat ancaman terakhirnya, sebuah janji mengerikan akan kembalinya dia.
Kemudian, cahaya emas dan biru memudar. Raja Iblis Amon lenyap, meninggalkan kawah besar dan kehancuran. Namun, ia juga meninggalkan sebuah janji yang akan menghantui Sakura Flurry di masa depan.
.
.
.
.
.
Setelah ledakan dahsyat yang menyelimuti Crown City, energi kegelapan perlahan mulai surut. Langit yang tadinya hitam pekat oleh asap dan aura jahat, kini perlahan mulai terlihat bersih. Cahaya matahari menembus sisa-sisa debu, dan hari perlahan menjadi siang kembali, dihiasi langit biru yang damai, kontras dengan kengerian yang baru saja terjadi.
Di alun-alun, puing-puing berserakan, dan di tengahnya, Indra melangkah dengan langkah yang berat dan lemas. Kekuatan Guardian dan energi esnya telah habis terkuras, menyisakan kekosongan yang dalam.
Ia berjalan mendekati anggota keluarganya. Ia berlutut di sisi mereka, Royal Railord, Nia Sayaka, Riana, Natsuya, dan Agito. Indra menyentuh nadi mereka satu per satu, dan kenyataan pahit menghantamnya: mereka sudah berpulang. Bahkan Raina, yang berjuang keras, kini telah menyerah pada luka-lukanya.
Indra berlutut dengan lemas, pandangannya kosong, menatap keluarga yang kini terbaring kaku. Semua ambisi, semua rencana, kini terasa tidak berarti di hadapan kehilangan yang begitu besar.
Di sebelahnya, Liini segera merangkul dan memeluk Indra erat-erat, sembari menangis tersedu-sedu. Ia telah kehilangan semua orang—orang tua, kakak-kakak, dan kini hanya tersisa Indra sebagai satu-satunya tumpuan.
Tak lama kemudian, Evelia yang telah kembali ke wujud normal setelah jiwa Namitha meninggalkannya, berjalan menghampiri mereka. Air mata mengalir di pipi Evelia. Ia memeluk mereka berdua dengan lembut sambil menangis, berbagi duka yang tak terperikan.
"Ini... ini tidak adil..." isak Liini dalam pelukan Indra dan Evelia.
Indra hanya bisa memejamkan mata, memeluk kedua gadis itu. "Aku gagal. Aku gagal melindungi mereka," gumam Indra, suaranya parau.
Evelia menggeleng. "Tidak, Indra. Kau menyelamatkan Kerajaan. Mereka pergi sebagai pahlawan," bisik Evelia, memberikan kekuatan pada Guardian yang kini terasa rapuh itu.
Di kejauhan, Amanda berdiri, air mata mengalir di wajahnya saat ia melihat putrinya, Araya, berdiri tegar di sisinya. Mereka berdua memandang mereka yang bersedih, menyaksikan duka keluarga yang kini terpisah oleh takdir yang kejam.
.
.
.
.
.
.
.
.
Araya melihat pemandangan duka yang menyayat hati itu cukup lama, sebelum akhirnya menguatkan diri. Ia tahu, meskipun Raja Iblis telah pergi, bahaya belum sepenuhnya berakhir. Dengan langkah dingin, ia mendekati Indra yang masih berlutut.
Araya meletakkan tangan kirinya di bahu Indra, sentuhan yang dingin dan tegas. "Bangun, Guardian. Ini bukan waktunya untuk kesedihan," ujar Araya, suaranya kembali ke nada komandan yang keras.
Indra menoleh ke arah Araya dengan mata yang merah dan kosong. "Pergi, Araya. Jangan sentuh aku," gumam Indra, amarah dan kesedihan kini bercampur.
Araya mengabaikan protes Indra. "Sisa-sisa kroco iblis itu masih berkeliaran di Akademi. Jika kau benar-benar ingin menghormati keluargamu, jangan biarkan kota dan warga sipil yang lain menjadi korban sia-sia," kata Araya, menunjuk ke arah utara.
Perkataan Araya itu menusuk emosi Indra yang sudah di ambang batas. "Jangan ceramahi aku! Kau... kau juga salah satu penyebab ini terjadi!" protes Indra kepada Araya, emosinya meledak.
Namun, amarah itu segera disalurkan menjadi fokus yang mematikan. Indra yang sudah mengeluarkan emosinya sebagai Guardian, berdiri tegak, memancarkan aura es yang kini terasa brutal dan dingin.
Ia mengangkat tangannya, dan mensummon Heavy Railgun-nya—sebuah senjata purwarupa raksasa yang membutuhkan seluruh energinya. Railgun itu memancarkan aura biru es yang kejam.
"Aku akan menghabisi setiap kotoran yang tersisa," tekad Indra, suaranya serak. Ia bahkan tidak berpamitan pada Evelia atau Liini. Ia hanya menoleh ke arah Akademi, dan dengan Railgun di bahunya, pergi ke Akademi Animers seorang diri.
Sementara Indra melesat dengan kecepatan penuh menuju Akademi untuk menuntaskan dendamnya, Evelia memeluk Liini lebih erat. Mereka berdua, bersama Araya dan Amanda yang tetap dingin dan tegar, masih di alun-alun mengamankan jasad bangsawan Royal.
Mereka harus memastikan kehormatan terakhir Raja, Ratu, dan Pangeran serta Putri Kerajaan. Tugas mereka kini adalah mengurus yang meninggal, sementara Indra mengurus yang masih hidup.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
....
.
.
.
.
.
.
.
.
.
...
Di dalam kompleks Akademi Animers, suasana masih mencekam. Meskipun serangan utama Raja Iblis telah dipukul mundur, Akihisa, Miku, Nina, dan Kizana masih sibuk dalam pertarungan hidup mati. Mereka menghalau sisa-sisa iblis bersayap yang berkeliaran. Iblis-iblis itu memang sudah melemah energinya, tetapi jumlah mereka masih cukup banyak dan cukup mematikan.
Akihisa, dalam wujud Shape-Shifter yang gesit, menggunakan kecepatan supernya untuk menyerang iblis dari berbagai arah. Ia menendang dan meninju, menghancurkan demon-demon yang mencoba mendekati area evakuasi. "Kita tidak boleh lengah! Meskipun mereka lemah, mereka masih berbahaya!" teriak Akihisa.
Miku bergerak di belakang Akihisa, menggunakan kekuatan penyembuhnya sebagai perisai dan serangan. Setiap sentuhan Miku pada demon melumpuhkan mereka sementara, memungkinkan Akihisa untuk memberikan pukulan pamungkas. "Aku menutupi punggungmu, Akihisa! Jangan biarkan mereka mendekatiku!"
Nina dan Kizana bertarung dengan sinkronisasi yang baru ditemukan. Nina menggunakan energi darahnya untuk menciptakan cambuk dan pisau yang memotong demon-demon yang terbang rendah. Kizana, dengan shinai yang diperkuat, melindungi Nina dari serangan balik di udara.
"Mereka terus datang, Nina-chan! Berapa banyak lagi sisa mereka?" tanya Kizana, menangkis dua iblis sekaligus.
Nina tersentak. "Tidak tahu! Mereka seperti jamur setelah hujan! Tapi kita harus bertahan! Demi para murid!" jawab Nina, matanya penuh tekad yang dingin.
Tiba-tiba, di gerbang utama Akademi Animers yang sudah porak poranda, sesosok Guardian muncul. Indra tiba, dengan Heavy Railgun terpasang di bahunya, membawa aura kematian dan balas dendam yang pekat.
Indra berjalan menuju ke dalam kompleks. Ia mengabaikan reruntuhan dan hanya fokus pada targetnya. Kehadirannya yang penuh amarah segera menarik perhatian para iblis yang terbang di atas kepala.
Para iblis bersayap itu segera berbalik arah dan terbang menuju ke arah Indra, menganggapnya sebagai ancaman terbesar dan mangsa yang mudah karena terlihat sendirian.
Indra menghentikan langkahnya. Ia menaikkan Heavy Railgun di bahunya. Matanya yang dingin kini terpaku pada ratusan demon yang terbang menuju dirinya, bayangan mereka memenuhi langit Akademi.
...
...
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
..