Ningrat dan kasta, sebuah kesatuan yang selalu berjalan beriringan. Namun, tak pernah terbayangkan bagi gadis proletar (rakyat biasa) bernama Sekar Taji bisa dicintai teramat oleh seorang berda rah biru.
Diantara gempuran kerasnya hidup, Sekar juga harus menerima cinta yang justru semakin mengoyak raga.
Di sisi lain, Amar Kertawidjaja seorang pemuda ningrat yang memiliki pikiran maju, menolak mengikuti aturan keluarganya terlebih perihal jodoh, sebab ia telah jatuh cinta pada gadis bernama Sekar.
Semua tentang cinta, kebebasan dan kebahagiaan. Mampukah keduanya berjuang hingga akhir atau justru hancur lebur oleh aturan yang mengekang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sinta amalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ATN 11~ Menak vs rakyat kecil
"Jaga sikapmu kang!" sorot mata Amar jelas sedang menahan dan menurunkan tensi amarah.
Reksa sudah menatap Amar dan memajukan wajah bengisnya, "sikapku yang mana? Yang berusaha merebut sesuatu yang sudah dikehendaki orang?! Anda saja tau, kamu yang harusnya menjaga sikap! Aku kakangmu, aku yang paling tau, aku pewaris tahta, calon pengganti ayahanda!"
Alis Amar mengernyit, percayalah ia menatap kakangnya itu sangsi atau justru iba? Jika saja ia tau bahwa ayahanda dan ibunda sedang berusaha menyingkirkannya dari posisi pewaris?
Untung saja para staff pabrik itu berangsur berkurang, mungkin hanya ada dua orang saja disana menemani mereka dan Somantri kebagian bersih-bersihnya. (bertanggung jawab meredakan keributan dan bicara pada dua orang staf pejabat pabrik itu)
Anda dan Wardana menatap gelas mereka masing-masing, "kang, Amar...sudahlah. Apa yang kalian ributkan?! Hanya seorang ronggeng biasa?!" tanya Somantri yang baru saja berhasil membuat kedua orang tadi paham jika ini hanya salah paham.
Amar dan Bahureksa menatap Somantri, "bukan. Tanya adikmu ini apa yang ia ributkan!" Bahureksa sudah kembali duduk di tempatnya.
"Mar, biasanya kamu yang paling bisa mengendalikan emosi. Kau sudah tau kalau kang Reksa begitu .." ujar Somantri.
"Iya. Dan seharusnya sudah sejak lama dia ditegur karena sifatnya yang egois begitu. Mana ada pemimpin yang begitu, itu bukan sifat pemimpin .."
"Bicara sekali lagi! Maka akan kupatahkan lehermu!" ujar Reksa melempar apa yang sedang ia makan ke piring kecil di depannya, Amar hampir maju kembali jika saja Somantri tak menahannya, "sudah. Biarkan saja."
"Lagipula aku tidak melanggar aturan. Hal ini sudah biasa dilakukan, para ronggeng sudah tau! Justru harusnya mereka senang, toh mereka dapat banyak uang kan?" Kembali Reksa mendengus sumbang, atau--- ia menatap Amar yang kembali ke tempat duduk bersama Somantri.
Senyum Reksa menyeringai, jelas....karena jarang sekali adiknya itu marah saat apapun miliknya ia rebut. Tapi saat Sekar ia le ceh kan, Amar begitu marah.
"Aku ingin menjadikan Sekar selirku nantinya."
"APAA?!" keempatnya terkejut, bahkan Wardana sampai terbatuk ketika tengah minum.
"Kakang gila?! Menikah saja belum...memangnya calon istrimu nanti akan merestui!" sembur Amar.
"Harus. Sepertinya aku suka gadis ronggeng itu...." tuduhnya saat melihat kedatangan Sekar bersama amih Mayang dari kejauhan.
***Sekar Taji***
*Beruntung kamu Sekar*.
*Kalo saya jadi kamu, ngga akan pikir lagi, langsung ikut*.
*Ikut saja, ikuti maunya Gusti Raden Bagus Bahureksa*. *Dia pewaris tahta*.
Pergolakan batin Sekar saat ini, sambil mere mas hasil saweran dari Bahureksa tadi, ia menunduk. Karena nyatanya ia tak menganggap dirinya seberuntung apa yang dibilang oleh teh Sari dan teh Nuroh baru saja...apa tadi? Sifat breng sek lainnya yang harus ia ketahui dari para keturunan raja itu. Semakin saja ia membenci, meski awalnya ia sempat terpesona hingga tak bisa berkata-kata saat bersitatap dengan salah satunya di depan kamar mandi tadi. Ia sempat terpikir dengan ucapan Imas.
*Memangnya kamu ngga begitu, Kar? Gusti Raden Bagus Bahureksa atau Gusti Raden Bagus Amar*? Apa ia akan *mimpi basah* seperti yang dialami oleh Imas? Namun kejadian barusan, membuat Sekar merasa ia justru semakin benci.
Sekar sudah menggosok pundaknya yang tadi dikecup Reksa, seperti kotoran tak terlihat yang menempel dan bikin jijik.
Amih Mayang tersenyum menemuinya ketika baru saja masuk ke ruangan, "kamu diminta menemani disana."
"Tapi amih, Sekar...."
"Tidak perlu takut. Saya menemani..." tukas amih. Entahlah, harus bergembira kah ia sekarang? Karena yang jelas, ia ingin seperti yang lain, sudah beres-beres dan melepas semua perintilan jaipong.
Ayunan langkahnya bersama amih Mayang keluar dari ruangan para ronggeng beserta rombongan, menuju tempat tadi menuju tempat dimana dirinya merasa takut.
Amar berdehem saat pandangannya kini searah dengan tunjukan dagu Bahureksa.
"Permisi Gusti aden," ucap amih Mayang membawa Sekar yang membungkuk sopan juga.
"Sekar, berapa usiamu?" tanya Bahureksa.
"Seharusnya saya baru lulus SLTA."
Bahureksa mengangguk-angguk, "hampir seusia Wardana."
"Duduk."
Amih Mayang membawa Sekar yang awalnya diam mematung, "Hayuk atuh, Kar...ngga apa-apa." bisiknya.
Amar melihat keengganan Sekar. Ia paham, mungkin Sekar takut atau mungkin segan, terutama setelah kelakuan Bahureksa tadi....hanya saja, sedikit aneh, baru kali ini ia melihat seorang ronggeng yang emoh-emohan begini, padahal biasanya....hampir semua penari sangat menginginkan kesempatan yang Sekar dapatkan sekarang. Mereka akan dengan bangganya penuh perasaan senang diberi kesempatan emas ini.
Bukan sedang bersiap makan siang, sebab....Sekar merasa sedang berada di jurang kini.
Duduk diantara Bahureksa dan Amar membuatnya kesulitan bernafas, sangat-sangat sesak.
Bahureksa telah mendorong gelas berisi minuman penyegar dahaga ke pinggir, tepat di depan Sekar yang tengah menumpukan kedua tangannya di lipatan lutut dengan saling mere mas.
"Minum."
"Terimakasih, kanjeng. Saya sudah minum tadi di..." ia menatap amih Mayang yang memberinya sorot mata memperingati.
"Saya minum, kanjeng. Hatur nuhun..." Tangannya terulur mengambil gelas dan mulai meneguk air di dalam gelas itu membuat Bahureksa tersenyum senang.
Wardana mendengus sumbang, siapapun akan paham dengan ekspresi dan reaksi Sekar sekarang, tapi Reksa seolah ia sedang mempermainkan mereka semua termasuk Amar.
Amar sudah menatap ke sampingnya sejak tadi, dimana Sekar terlihat, berkeringat....
Hidangan utama datang, dan 2 porsi tambahan benar-benar disiapkan untuk Sekar dan amih Mayang.
Bahureksa terlihat senang, lantas ia menoleh ke samping, "kamu suka yang mana, Sekar? Dari sekian banyaknya menu disini?"
Sekar melihat satu persatu menu di atas meja, dimana semua ini makanan yang jarang ia temukan namun bukan berarti tak pernah mencoba, hanya jarang.
"Saya suka empal gentong dan nasi Jamblang. Tapi saya lebih suka masakan mak saya." tunjuknya dengan jempol.
"Wah, saya jadi penasaran dengan masakan mak mu..." Bahureksa meraih empal di dalam kendi kecil lalu menyendoknya untuk ia sodorkan di depan mulut Sekar, "coba."
"Maaf den?"
Wajahnya tengil nan bengis, alisnya berkedut demi mengintruksi Sekar untuk segera melahap makanan yang ia sendok, dan mau tak mau Sekar kembali melahap apa yang disiapkan Reksa.
Ada tawa puas untuk Reksa yang membuat Amar muak, ia meneguk minumnya berkali-kali, si alan! aku tau kakang Reksa sengaja melakukan itu. Ia melahap makanan miliknya cepat-cepat sampai-sampai rahang tegasnya itu jelas terlihat bergerak mengunyah.
"Enak?" tanya Reksa diangguki Sekar.
Lebih enak lagi, kau biarkan aku pergi, dasar lelaki breng sek! Umpatnya dalam hati.
Segepok uang ditaruh Reksa tepat di depan Sekar, ia menatap Sekar genit, "terimakasih sudah menemani saya makan siang. Kamu sangat menghibur..."
Sekar menatap uang itu nyalang, tangannya sudah benar-benar mencengkram lutut.
"Benar kan, den bagus Amar?" tanya Reksa pada sang adik. Seolah sejak tadi hanya ada dirinya, Amar, dan Sekar saja yang ada di meja itu.
Amar justru mengangguk membuat Sekar ingin sekali menjambak kedua pewaris tahta raja ini, lalu menjedotkan kedua kepala mereka, ia menatap Amar disamping dengan nanar, nyatanya penilaiannya tadi salah. Amar sama saja. Mereka sama saja.
"Hatur nuhun Gusti Raden Bagus dan Gusti Raden Ajeng.... suatu kehormatan untuk kami----" dan amih Mayang masih bicara sopan disana, namun sungguh...Sekar tak lagi ingin mendengar itu, bahkan ia melihat wajah Amar yang baginya kini berubah sama menyebalkannya seperti Bahureksa.
"Saya pamit undur diri bersama Sekar..."
Sekar sudah beranjak dari duduknya dan membungkuk pada kelima orang disana termasuk Amar. Ia memang hanya rakyat kecil, tapi apakah pantas?
"Oh ya, teh Mayang..." ujar Bahureksa memanggil amih setelah keduanya sempat berjalan menjauh. Namun, alih-alih ikut berhenti dan kembali, Sekar justru semakin kencang berjalan bahkan setengah berlari.
"Sekar melupakan uangnya." Reksa memberikan gepokan itu pada amih Mayang, dan satu lagi---"alamat sanggarmu?"
Amar tak lagi begitu memperhatikan apa yang ditanyakan Bahureksa, namun ia sudah ikut beranjak untuk menyusul Sekar, entahlah ia merasa ...ia perlu meminta maaf.
.
.
.
.
" jembar kisruh" aja si teh🤭🤭🤭😂😂😂🙏