Selina harus menerima kenyataan bahwa dirinya ternyata menjadi istri kedua. Tristan suaminya ternyata telah menikah siri sebelum ia mempersuntingnya.
Namun, Selina harus berjuang untuk mendapatkan cinta sang suami, hingga ia tersadar bahwa cinta Tristan sudah habis untuk istri pertamanya.
Selina memilih menyerah dan mencoba kembali menata hidupnya. Perubahan Selina membuat Tristan perlahan justru tertarik padanya. Namun, Selina yang sudah lama patah hati memutuskan untuk meminta berpisah.
Di tengah perjuangannya mencari kebebasan, Sellina menemukan cinta yang berani dan menggairahkan. Namun, kebahagiaan itu terasa rapuh, terancam oleh trauma masa lalu dan bayangan mantan suami yang tak rela melepaskannya.
Akankah Sellina mampu meraih kebahagiaannya sendiri, atau takdir telah menyiapkan jalan yang berbeda?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Uswatun Kh@, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
12. Pertemuan tak terduga.
Sellina membeku, "Pak Erza ..." bisiknya terkejut dengan pernyataan tiba-tiba itu.
Erza sebaliknya, tampak tenang. Dengan gerakan santai namun berwibawa, ia berdiri dan menarik kursi untuk Sellina. "Duduklah," ucapnya dengan nada ramah. "Kasihan pak Tristan, dia sudah nunggu lama. Rasanya kurang sopan kalau kita tunda-tunda lagi, bukan begitu Sellina?"
Erza kembali duduk, menatap Sellina dengan senyum tipis yang sulit di artikan.
Sellina menelan ludah, matanya beralih pada sosok yang duduk di ujung meja. Tristan, suaminya sendiri.
Tak menghiraukan dengan tatapan menyelidik Tristan, Sellina segera membuka iPad-nya bersiap mencatat poin dari rapat kali ini.
"Oh, ya, Sellina. Rapat ini tentang apa, sih?" Erza bertanya dengan nada bicara yang sedikit merendahkan, sambil melirik Tristan. "Maaf ya, pak Tristan, soalnya aku belum sempat bahas detail rapat ini dengan sekretarisku. Aku hanya percaya sepenuhnya padanya."
Sellina, yang merasa canggung, segera menggulir iPad-nya. "Hari ini, kedatangan mereka ingin membahas potensi kerja sama dalam meningkatkan kualitas furnitur hotel kita, Pak."
"Ada beberapa bagian dari hotel yang rencananya akan di ubah, agar tampil lebih segar dan berbeda. Perusahaan mereka memang memiliki spesialisasi di bidang furnitur arsitektur," tambahnya, sesekali ia menatap ke arah Tristan dan Erza.
Erza mengangguk-angguk, tangannya mengelus jam tangan roleks di tangannya dengan santai.
"Baiklah," katanya, menatap Tristan dengan tatapan menilai. "Jadi apa yang kalian tawarkan agar hotelku ini bisa tampil beda dari yang lain dari segi furniturnya? Tapi ingat, kenyamanan tetap harus jadi prioritas utama."
Tak menghiraukan yang lain, Tristan terus mengamati Sellina. Ada sesuatu yang berbeda dari sosok yang biasa ia lihat di rumah. Di ruangan ini, Sellina memancarkan aura wanita berkelas dan cerdas.
Pakaiannya yang biasanya syar'i, kini berganti dengan gaya yang lebih modern, meski tetap anggun dengan hijabnya.
Mata Tristan seolah terpaku, tak mampu berpaling, barang sedetik pun. Tiba-tiba hatinya bergetar tanpa bisa ia kendalikan. Pemandangan Sellina yang begitu dekat dengan Erza membuat darahnya terasa panas, seolah ada yang mendidih dalam dirinya.
"Ada apa? Kenapa menatap sekretarisku begitu intens? Tolong jaga pandangan Anda, Pak Tristan." sindir Erza, senyum mengejek tersungging di bibirnya.
"Saya tahu sekretaris saya ini cantik, tapi rasanya kok gak pantas kalau Anda terus-menerus memandangnya seperti itu. Dan aku dengar juga, Anda sudah menikah kan?"
Tristan mengepalkan tangannya kuat-kuat di bawah meja, berusaha menahan amarah yang mulai membakar dirinya. Ia sadar, kerja sama ini terlalu penting untuk digagalkan hanya karena emosi sesaat.
Namun, dalam hatinya, gejolak amarah semakin membuncah. Ia ingin segera menarik Sellina dari sisi pria hidung belang itu.
'Sial!' batinnya geram. 'Kalau aja aku gak sedang butuh kerja sama ini, udah lama aku nolak berurusan dengan orang tidak kompeten seperti dia.'
"Maaf, hanya saja sekretarismu sangat mirip dengan istriku di rumah," Tristan berseru, senyumnya mengembang ke arah Sellina, namun justru menambah kecanggungan wanita itu.
Tristan mengubah posisi duduknya, menegak tegap dengan wibawa yang terpancar. Kedua tangannya bertaut di atas meja, jari-jarinya mengelus cincin di jari manisnya, seolah menegaskan statusnya yang sudah beristri, sebuah pengingat halus bagi Sellina.
"Baiklah, mari kita kembali ke pembahasan awal," ucapnya, sorot matanya berubah serius, menghilangkan kesan menggoda sebelumnya.
"Kedatangan kami ke sini tentu sudah disertai rencana dan rancangan yang matang untuk proyek ini. Perusahaan kami akan mengubah hotel Anda menjadi lebih mewah dan menarik, tanpa mengorbankan kenyamanan yang menjadi prioritas utama."
"Kami akan membuat hotel ini terlihat berbeda dan menarik dari segi furnitur," ungkap Tristan, sorot matanya memancarkan kepercayaan diri yang tinggi.
"Fokus utama kami adalah menciptakan pengalaman tamu yang tak terlupakan, melalui kombinasi desain yang menawan, fungsionalitas optimal, kenyamanan paripurna, dan sentuhan personal yang unik tentunya."
Ia menarik napas panjang, memberikan jeda dramatis sebelum melanjutkan penjelasannya yang terstruktur. "Untuk menciptakan kesan pertama yang tak terlupakan, yang kami yakini sangat krusial, area lobi akan kami rombak total. Kami akan menghadirkan furnitur kontemporer, seperti meja resepsionis yang stylish dan kursi ruang duduk yang nyaman, untuk menyambut setiap tamu dengan nuansa kemewahan sekaligus kehangatan."
"Dan tentu saja, kenyamanan adalah prioritas utama kami," Tristan melanjutkan, menekankan setiap kata. "Furnitur berkualitas tinggi akan kami tempatkan di setiap kamar tamu dan area umum. Bayangkan kasur premium yang menjanjikan tidur nyenyak, rangka tempat tidur yang stylish, serta kursi modular yang fleksibel dan nyaman untuk relaksasi maksimal. Tak hanya di dalam, area luar ruangan seperti kolam renang atau taman juga akan kami perhatikan. Furnitur outdoor di sana akan didesain khusus agar tahan cuaca, namun tetap mengutamakan kenyamanan dan estetika yang memukau."
Tristan mengakhiri presentasinya dengan tatapan langsung ke lawan bicaranya, "Bagaimana, Pak Erza? Apa Anda setuju dengan usulan kami ini?"
Erza mengangguk pelan, menyandarkan tubuhnya dengan santai.
"Bagus, boleh lah. Boleh untuk dipertimbangkan." Senyum tipis menghiasi wajahnya, namun tak sepenuhnya meyakinkan.
Kemudian, Erza menegakkan tubuhnya dan berdiri.
"Tapi maaf, sepertinya waktu saya sudah habis. Aku masih ada urusan yang lain. Nanti sekretarisku yang akan menghubungi kalian lagi mengenai kelanjutannya." Nada bicaranya profesional, namun terkesan menggantung.
Sellina menatap Erza dengan bingung. Ia tak habis pikir bagaimana mungkin Erza memperlakukan klien seperti itu. Tidak memberikan jawaban pasti, seolah sengaja menggantungkan harapan mereka. Sebuah taktik yang sulit dipahami.
Tristan langsung berdiri, ekspresinya menunjukkan ketidakpuasan yang mendalam. "Apa maksudnya ini? Kau menolak kami setelah aku menjelaskan panjang lebar, hah!" Nada bicaranya meninggi.
Erza menatap Tristan dengan dingin, sorot matanya tajam dan tak gentar. "Santai. Aku gak bilang nolak, loh. Cuma, aku juga harus mengikuti prosedur yang ada. Hotel ini melibatkan banyak pihak, bukan hanya aku. Jadi, aku harus meminta persetujuan dari yang lain. Bersabarlah, Sellina akan menghubungi kalian lagi, kok."
Tanpa menunggu jawaban, Erza berbalik dan berjalan menuju pintu.
"Sellina, ayo pergi," ajaknya singkat, meninggalkan Tristan yang masih terpaku dengan ekspresi tak percaya.
Sellina bergegas mengejar Erza, langkahnya tergesa-gesa berusaha mengimbangi langkah lebar atasannya itu. Pikirannya dipenuhi pertanyaan dan kekhawatiran.
Dengan wajah tak puas, Sellina akhirnya memberanikan diri bertanya, "Kenapa Pak Erza melakukan itu?" tanya Sellina dengan nada bicara hati-hati, namun jelas menunjukkan ketidaksetujuannya terhadap sikap Erza sebelumnya.
Erza menggeleng pelan, seakan tak percaya dengan keberanian Sellina yang bertanya terus terang seperti itu. Ia menghentikan langkahnya di depan lift yang sepi.
Tiba-tiba, Erza berbalik dengan cepat, membuat Sellina sedikit terkejut. "Apa kau emang secerewet ini, ya? Kau belum pernah kerja jadi sekretaris sebelumnya, kan? Jadi kau gak tau apa yang boleh dan gak boleh kau lakukan."
"Kau ... dapat keberanian itu dari mana, sih?" Erza berjalan mendekat, hingga tubuh Sellina menempel di dinding lift.
ditunggu kelanjutannya❤❤