KETOS ALAY yang sedang mengincar murid baru disekolahnya, namu sitaf pria itu sangat dingin dan cuek, namun apakah dengan kealayannya dia bisa mendapatkan cinta Pria itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayinos SIANIPAR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
EPISODE 34
Hari Minggu biasanya adalah hari yang sangat tenang bagi Sarah, sebuah hari yang ia nantikan untuk beristirahat dan menata pikirannya. Namun, kali ini tidak. Catatan: kali ini sangat berbeda. Pagi itu, otaknya tidak henti-hentinya berputar, dipenuhi dengan memori kelam kejadian tadi malam yang terus-menerus mengulang tanpa henti, bagai kaset rusak dalam benaknya. Sarah sedari tadi mengubah-ubah posisi tidurnya di ranjang, mencoba menemukan ketenangan yang tak kunjung datang. Ia merasa gelisah, emosi, dan kesal secara bersamaan, namun anehnya, entah mengapa ia suka mengulang kembali tentang hal itu dalam pikirannya, seolah ingin memahami setiap detail yang menusuk perasaannya.
"Aaaaaa, apa yang aku pikirkan, sih?!" teriak Sarah kesal, suaranya teredam oleh bantal yang ia pukulkan ke kepalanya sendiri. "Gila, sepertinya aku bisa gila kalau memendam ini semuanya sendiri!" ujarnya kesal pada dirinya sendiri, frustrasi dengan pikiran yang terus menghantuinya. Ia meraih ponselnya yang menggunakan pelindung hitam, benda kecil itu terasa dingin di tangannya yang bergetar. Dengan cepat, ia mencari nomor ponsel Hanifa, sahabat terbaiknya, dan mulai meneleponnya. Nada sambung berbunyi panjang, namun tidak ada jawaban. Sudah tiga kali Sarah menelepon sahabatnya itu, Hanifa, namun tidak ada balasan sama sekali. Keresahan Sarah semakin menjadi-jadi.
"Aduh, Nifa, kamu sedang apa sih, Sahabat? Kamu wajib dengar curhatku!" ujarnya dengan nada memohon, sembari menelepon Hanifa sekali lagi. Kali ini, sebuah keajaiban terjadi. Dan ya, akhirnya Hanifa mengangkat telepon itu.
"Halo, Sarah," ujar Hanifa dari seberang sana, suaranya sedikit serak, seperti baru bangun tidur. Sarah menarik napasnya dalam-dalam, mengumpulkan kembali ketenangannya, sebelum mulai menyapa sahabatnya.
"Halo, Nifa, kamu ke mana saja sih? Dari tadi aku telepon tidak diangkat!" ujar Sarah kesal, nada protesnya jelas terdengar. Ada rasa lega bercampur jengkel karena Hanifa sulit dihubungi.
"Maaf ya, Sarah, aku tadi sedang sarapan, jadi tidak memegang ponsel," ujar Hanifa, merasa bersalah, meskipun suaranya tetap tenang. Sarah mendengus.
"Oke, baiklah, kali ini aku beri maaf," ujar Sarah bercanda, meskipun ada sedikit kejengkelan yang masih tersisa. Ia menyambungkan kalimatnya setelah memberi jeda beberapa detik, memastikan tidak ada orang lain di dekat Hanifa. "Ibumu di situ tidak?" tanyanya memastikan.
"Iya, di sini. Kamu mau bicara?" tanya Hanifa pada Sarah, sembari menatap Mama Sarah yang sedang duduk di sofa ruangannya, tampak sibuk dengan tabletnya.
"Tidak, aku hanya mau minta tolong kalau kamu agak menjauh sedikit dari ibuku, karena aku mau bicara secara eksklusif kepadamu," ujar Sarah memohon, nadanya penuh kerahasiaan. Hanifa segera mencari ide bagaimana ia bisa keluar dari ruangannya tanpa menimbulkan kecurigaan. Karena kalau ia hanya sendiri, tentu ia tidak akan diberi izin oleh Mama Sarah, mengingat kondisinya. Akhirnya, pandangannya jatuh pada Alvaro yang sedang duduk di sudut ruangan, membaca sebuah buku. Ya, walaupun Alvaro sangat menyebalkan dan sering mengganggunya, namun saat ini sahabat Hanifa sedang membutuhkan pertolongan. Jadi, Hanifa harus keluar bersama Alvaro, itu satu-satunya cara.
"Sebentar, aku izin dulu ya, Sar," ujar Hanifa kepada Sarah, kemudian ia mendekati Mama Sarah.
"Hemm, Mama, kalau Hanifa izin keluar sebentar sama Varo boleh tidak, ya?" tanya Hanifa, memasang wajah sedikit memelas dan imut. Tante itu pun tersenyum dan langsung memberi izin. "Baiklah, Nif, tapi jangan lama-lama, ya," jawab Mama Sarah, suaranya penuh kelembutan. Selagi bersama Alvaro, pasti semuanya diizinkan. Mama Sarah tahu Varo bisa diandalkan untuk menjaga Hanifa. Varo menatap Hanifa tidak menyangka, alisnya terangkat, sebuah senyum tipis tersungging di bibirnya. Sejak kapan wanita jutek ini mau keluar bersama dengannya, kecuali Alvaro yang memaksa? Ini adalah pertama kalinya Hanifa yang mengajaknya. Mereka pun keluar, menuju taman rumah sakit yang sejuk. Hanifa menatap Varo dengan tatapan enggan, menunjukkan bahwa ia tidak senang dengan situasi ini.
"Aku mengajakmu keluar karena aku lagi butuh saja, bukan bermaksud apa-apa," ujar Hanifa ketus, mendahului pikiran Varo. Varo hanya tersenyum melihat tingkah gadis jutek di hadapannya, merasa geli dengan pertahanan diri Hanifa yang begitu kuat. Sarah, dari seberang telepon, mendengar ucapan Hanifa itu.
"Tunggu, Varo? Kamu didampingi dokter pria, Nif?" tanya Sarah, yang sangat penasaran maksimal. Hanifa malas membahas tentang Varo.
"Tidak, sudah itu tidak penting. Kita bahas apa yang ingin kamu ceritakan tadi, yang mengharuskan aku menjauh dari Mama," ujar Hanifa, mengingatkan Sarah kembali pada topik pembicaraan sebelumnya. Sarah juga, yang sudah tidak bisa menahan ceritanya itu, langsung terbawa suasana topik yang mendesak itu.
"Kamu kenal Refan, kan, adik Farel?" ujar Sarah memberi intro pembicaraannya, suaranya sedikit melirih, penuh dengan rahasia yang ia pendam.
"Hemm, aku tahu," ujar Hanifa mendengarkan, mencoba membayangkan sosok Refan.
"Tahu tidak sih, kemarin aku dan Agung sedang gladi bersih untuk Makres. Terus dia ada di sana, dan aku heran, dong. Aku tanyakan, ternyata dia disuruh sama ayahnya untuk mengawasi anak-anak yang lagi gladi di ruangan hotel itu," Sarah bercerita, nadanya bersemangat. "Tapi, sebelum itu, dia menatapiku, tahu, Nif! Tatapannya aneh, lama, seperti sedang menyelidikiku." ujarnya dengan sangat antusias kepada Hanifa, mengingat kembali detail tatapan Refan yang membuatnya merasa tidak nyaman. Hanifa sangat paham Sarah; Sarah tidak pernah langsung salah tingkah, dan dia tahu Sarah tidak langsung menuduh. Tapi dia juga bingung kebenarannya karena dia tidak ada di sana untuk menjadi saksi.
"Ah, mungkin kamu saja yang perasaan, Sar," ujar Hanifa kepada Sarah, mencoba memberikan perspektif lain, berpikir positif. Namun Sarah menyangkal hal itu dengan cepat.
"Terus, saat orang-orang sudah kembali, dia belum kembali, Nif. Dia menungguku, hingga kami akhirnya pulang bersama," ujar Sarah lagi, memberi informasi tambahan agar ceritanya lebih valid dan meyakinkan. Ia ingin Hanifa percaya sepenuhnya pada apa yang ia rasakan.
"Mungkin itu kebetulan saja, dia melihatmu terus dia ajak kamu kembali bersama karena kebetulan searah," lagi-lagi Hanifa masih ragu, berusaha memastikan bahwa Refan memang menyukai Sarah, tidak ingin berprasangka buruk.
"Ada lagi, Nif. Jadi semalam, Agung memberiku minum. Terus Refan seperti marah begitu, dan dia malah minum semuanya. Dia tidak memberiku minum itu sedikit pun," ujar Sarah lagi-lagi memberi informasi untuk meyakinkan Hanifa, namun lagi-lagi Hanifa tidak percaya sepenuhnya. Sebenarnya Hanifa bukan tidak percaya, namun tidak ingin berprasangka buruk dulu tanpa bukti yang kuat.
"Mungkin karena lagi haus, Sar," ujar Hanifa, memberikan pembelaan yang logis.
"Iya, sih, dia bilang lagi haus," ujar Sarah membenarkan, mengingat ucapan Refan.
"Tuh, kan, benar," jawab Hanifa, merasa lega karena dugaannya sedikit terbukti.
"Ada satu lagi informasi yang membuatmu syok, begitu juga aku," ujar Sarah kepada Hanifa, suaranya kini terdengar lebih serius, mengisyaratkan bahwa ini adalah puncaknya.
"Apaan lagi?" tanya Hanifa, rasa penasarannya memuncak.
"Jadi, tadi malam saat Makres, aku dekati Agung dan lagi mengobrol. Terus Refan tiba-tiba menarikku dengan sangat kuat, dan dia bilang kalau aku tidak peka. Dia bilang dia suka kepadaku, dan dia mencium bibirku, Nif!" ujar Sarah, suara di ujung telepon itu terdengar frustrasi, seolah ingin menangis. Hanifa terdiam sesaat, memproses kalimat terakhir Sarah.
"Apa?! Dia mencium bibirmu, Sar? Gila!" ujar Hanifa dengan sangat terkejut, suaranya melengking tinggi, memecah kesunyian taman. Alvaro yang sedang duduk di sampingnya, membaca buku, sontak melihat ke arah Hanifa, alisnya terangkat. Tentu saja Alvaro mendengarnya, mengingat volume suara Hanifa yang tidak terkontrol.
"Iyaaa, aku kesal sekali! Aku merasa dilecehkan!" ujar Sarah, frustrasi dan marah.
"Kamu kenapa tidak langsung ke inti saja sih, Sar, dari tadi?!" teriak Hanifa kesal, tangannya mengepal, sembari menendang udara di depannya, melampiaskan amarahnya yang meluap. "Lihat saja, kalau aku kembali, akan kugampar orang itu!" Alvaro menatap wanita aneh itu sembari tersenyum tipis dan menggelengkan kepalanya. Dalam hati, ia berpikir betapa unik dan ekspresifnya Hanifa, bahkan saat marah sekalipun.
akumaudibintangi
TOLONG JANGAN LUPA MEMBERI DUKUNGANNYA DENGAN CARA MELIKE, KOMEN YAH GUYS