Dulu, dia hanyalah seorang anak jalanan—terlunta di gang sempit, berselimut kardus, hidup tanpa nama dan harapan. Dunia mengajarinya untuk tidak berharap pada siapa pun, hingga suatu malam… seorang gadis kecil datang membawa roti hangat dan selimut. Bukan sekadar makanan, tapi secercah cahaya di tengah hidup yang nyaris padam.
Tahun-tahun berlalu. Anak itu tumbuh menjadi pria pendiam yang terbiasa menyimpan luka. Tanpa nama besar, tanpa warisan, tanpa tempat berpijak. Namun nasib membawanya ke tengah keluarga terpandang—Wijaya Corp—bukan sebagai karyawan, bukan sebagai tamu… tapi sebagai calon menantu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Portgasdhaaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jemputan Kursi Roda
Pagi itu, langit masih pucat.
Dan aroma antiseptik masih menggantung lembut di lorong rumah sakit.
Laras sudah bersiap untuk pulang setelah Dokter sudah menyatakan bahwa ia boleh pulang hari ini. Ayahnya bahkan sudah menyiapkan semua administrasi sebelum pulang semalam. Semestinya pagi ini Laras hanya tinggal menunggu dijemput dan melangkah keluar dari ruang rawat inap yang penuh kenangan ini.
Namun yang terjadi justru sebaliknya.
Ia duduk di tepi ranjang dengan gelisah, tangannya memainkan ujung lengan jaketnya tipis. Matanya menatap jam dinding — sudah lewat lima menit dari waktu yang dijanjikan. Dan yang paling membuat jantungnya berdebar bukan karena keterlambatan itu... tapi karena pesan WhatsApp dari ayahnya tadi pagi:
“Laras, Ayah nggak bisa jemput kamu pagi ini. Ada urusan mendadak yang harus Ayah tangani. Tapi tenang, Ayah sudah minta Arka untuk menjemputmu.”
Laras nyaris menumpahkan teh waktu membacanya.
Arka.
Pria itu. Lagi-lagi pria itu. Kenapa jantungnya selalu seperti lomba lari begitu nama itu disebut? Kenapa juga dia yang diminta menjemput? Apa Ayah benar-benar tidak tahu apa yang sedang terjadi di kepala dan perasaannya belakangan ini?
Laras bangkit dan berjalan mondar-mandir kecil, seolah itu bisa menenangkan hatinya.
“Kenapa juga harus dia sih…” gumamnya pelan, pipinya memanas sendiri. “Kan di rumah supir juga banyak.”
Di tengah kegelisahan itu, tiba-tiba pintu kamar berderit.
Laras dengan cepat menoleh.
Arka masuk dengan wajah datar dan jaket hitam kebanggaannya. Pria itu masuk seperti biasa—tenang, pelan, dan penuh aura misteri. Tapi yang membuat Laras terpaku bukan karena wajahnya, melainkan karena benda yang ia dorong dengan tenang di tangannya…
Sebuah kursi roda.
Laras langsung memicingkan mata.
“Arka…Itu apa?” tanyanya curiga.
Arka mengangkat alis seolah pertanyaannya aneh sekali. “Kursi roda.”
“I-Iya, aku tahu itu kursi roda…” Laras menggaruk tengkuk lehernya yang tidak gatal. “Maksudku… buat siapa?”
“Buat kamu.”
Laras mematung. Otaknya benar-benar butuh buffering lima detik.
“…Tapi aku udah bisa jalan…” suaranya lirih, nyaris seperti protes anak kecil.
Arka tidak langsung merespon. Ia melirik pelan ke arah kakinya. “Tapi masih ada bekas memarnya."
Nada suaranya tenang, datar. Seolah yang ia katakan barusan bukan alasan, tapi fakta medis yang tak bisa diganggu gugat.
Laras mendesah, lalu menatap kaki sendiri. Iya sih… masih agak lebam. Tapi bukan berarti dia harus didorong pakai kursi roda, kan?
“Arka...serius, aku udah bisa jalan sendiri,” gumamnya pelan, setengah memohon.
Meski begitu Arka tidak merespons. Ia hanya memiringkan kepalanya sedikit, seperti sedang menunggu Laras untuk duduk.
Laras sekali lagi memandangi kursi itu dengan ragu. “…Kamu yakin ini perlu?”
“Ini jauh lebih aman.” Arka dengan cepat mengangguk.
Ia tetap di tempat, tidak bergerak, tidak mendesak. Tapi tatapannya cukup untuk membuat Laras menghela napas panjang dan akhirnya pasrah.
Laras duduk perlahan di kursi roda, dengan gerakan setengah hati. Ia merapikan posisi duduknya pelan-pelan, lalu menarik ujung jaketnya hingga menutupi lutut. Entah kenapa hal ini terasa sangat memalukan baginya. Apalagi setelah membayangkan tentang bagaimana orang-orang akan memperhatikan mereka.
“Arka...kamu serius tentang ini?” Laras sekali lagi bertanya. Berharap laki-laki itu merubah keputusannya.
Namun, seperti yang dia duga. Arka bahkan tidak bergeming sama sekali. Dia hanya menjawab ‘Ya’ dengan wajah datar, lalu perlahan mulai mendorongnya.
Mereka berjalan menyusuri lorong rumah sakit yang perlahan mulai ramai. Beberapa perawat dan pengunjung lalu-lalang, tapi tak satu pun menaruh perhatian lebih pada mereka. Laras diam saja, kedua tangannya masih menggenggam lengan jaketnya sendiri, matanya lurus ke depan, tapi pikirannya ke mana-mana.
Setiap detik terasa terlalu hening. Terlalu sunyi untuk dua orang yang sebenarnya punya banyak hal tak terucap.
Sampai tiba-tiba—
Braak.
Kursi roda sedikit tersentak. Bukan keras, tapi cukup membuat Laras otomatis bersandar ke belakang.
Ia menoleh.
Sebuah pot tanaman plastik tergeser beberapa sentimeter dari tempatnya semula. Daun-daunnya bergoyang kecil akibat tersenggol kaki kursi roda.
“Arka…” Ucap Laras pelan.
“Hm?”
“Kamu… pernah dorong orang pakai kursi roda sebelumnya?”
“Belum,” jawab Arka jujur, tanpa ragu. “Tapi tadi malam aku nonton tutorial di YouTube. Tujuh belas menit.”
Laras langsung diam. Napasnya menggantung di dada.
“…Dan aku sempat latihan juga tadi pagi.”
Laras menoleh pelan ke belakang, menatap punggung Arka. “Latihan?”
“Iya... aku harus mastiin kamu pulang dengan selamat.”
Kali ini Laras terdiam. Tidak lagi bisa berkata-kata. Dia benar-benar tidak habis pikir dengan Arka.
‘Ini orang yang sama dengan yang nyelamatin aku waktu malam itu kan?’ Batinnya merintih.
Nggak masuk akal emang. Tapi entah kenapa hatinya terasa hangat.
___ __ _
Setelah beberapa saat, akhirnya mereka pun berhasil melewati lorong utama. Laras sedikit bernafas lega karena tidak banyak yang memperhatikannya dalam perjalanan.
Seorang kakek pun berjalan dari arah berlawanan, dengan tongkat dan mengenakan sandal rumah sakit sembari tersenyum ramah.
“Cepat sembuh ya, Nak!” katanya pada Laras yang duduk di kursi roda.
“Iya, terima kasih, Pak!” sahut Laras, ramah, meski hatinya berteriak kesal pada Arka.
Sementara itu, Arka...
Dia mendadak berhenti.
Menoleh ke belakang. Matanya menatap si kakek dengan tajam dan penuh evaluasi.
Laras pun ikut menoleh. “…Kamu liatin kakek itu terus ada apa?”
“…Refleks.”
“Refleks apaan?”
“…Biasanya kalau ada orang tiba-tiba terlalu ramah, ada kemungkinan dia penyamar.”
Hah? Sekali lagi Laras dibuat membeku.
“ITU KAKEK-KAKEK PAKAI SANDAL RUMAH SAKIT!!”
“…Kan bisa aja kamuflase.”
Laras hampir loncat dari kursi roda.
“Arka...selama ini kamu hidup gimana sih?”
“Penuh dengan kekerasan.” Arka hanya menjawab santai tapi justru membuat Laras sekali lagi tertegun.
Untuk sesaat dia lupa tentang masa lalu Arka. Tentang bagai mana laki-laki itu pernah duduk digang sempit dengan tatapan kosong. Dia bahkan tidak bisa membayangkan bagaimana hidup yang telah Arka lalui selama ini.
“Maaf,” akhirnya kata itu keluar begitu saja dari mulutnya tanpa sadar.
Tapi Arka justru menatapnya dengan heran.
“Untuk?”
“Tidak. Lupakan.”
_____ ___
Setelah Arka dan Laras berbelok keluar dari lorong menuju lift, suasana kembali tenang. Lorong yang tadi mereka lewati kini kosong.
Tapi…
Si kakek—yang tadi sempat menyapa Laras—masih berdiri di tempat.
Ekspresi ramahnya perlahan menghilang. Senyumnya menipis. Dan tangan yang tadi menggenggam tongkat, kini bergerak pelan ke dalam saku jaketnya.
Ia mengeluarkan sesuatu—benda kecil hitam, seperti earpiece.
Diselipkannya ke telinga, lalu ia bicara dengan suara rendah, nyaris berbisik.
“Tuan, hari ini mereka telah keluar dari rumah sakit.”