NovelToon NovelToon
Istri Rahasia Tuan Davison

Istri Rahasia Tuan Davison

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Aliansi Pernikahan / Nikah Kontrak / Crazy Rich/Konglomerat / Cinta Seiring Waktu / Romansa
Popularitas:4k
Nilai: 5
Nama Author: Rembulan Pagi

Pura-pura menikah dengan tetangga baru? Tentu bukan bagian dari rencana hidup Sheina Andara. Tapi semuanya berubah sejak tetangga barunya datang.

Davison Elian Sakawira, pria mapan berusia 32 tahun, lelah dengan desakan sang nenek yang terus menuntutnya untuk segera menikah. Demi ketenangan, ia memilih pindah ke sebuah rumah sederhana di pinggir kota. Namun, hari pertama justru dipenuhi kekacauan saat neneknya salah paham dan mengira Sheina Andara—tetangga barunya—adalah istri rahasia Davison.

Tak ingin mengecewakan sang nenek, Davison dan Sheina pun sepakat menjalani sandiwara pernikahan. Tapi saat perhatian kecil menjelma kenyamanan, dan tawa perlahan berubah menjadi debaran, masihkah keduanya sanggup bertahan dalam peran pura-pura?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rembulan Pagi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 11. Sebuah Kesenjangan Sosial

Sheina duduk bersandar di dinding kamarnya, lampu redup menyorot lembut di sekitar. Ponselnya baru saja menampilkan notifikasi:

@davisonelian.s mulai mengikuti Anda

Alis Sheina terangkat sedikit. Nama itu terasa familiar, namun juga asing. Dengan perlahan, dia membuka profil tersebut.

Tampilan feed Instagram itu langsung menyambut matanya dengan komposisi yang estetik dan warna yang lembut. Foto-foto itu tertata rapi, tampak seolah disusun dengan penuh perhatian.

Foto pertama memperlihatkan Davison berdiri di samping mobil hitam elegan, mengenakan jas gelap dengan latar belakang gedung tinggi. Foto lain menunjukkan dia bermain golf dengan sikap tenang, memegang tongkat golf dengan penuh konsentrasi.

Ada pula foto Davison berdiri di depan lukisan di sebuah museum, tatapannya serius dan penuh arti.

Sheina berhenti sejenak ketika menemukan sebuah foto yang berbeda. Di situ, Davison duduk di teras sebuah rumah sederhana, mengenakan kemeja putih dan celana kain, dengan seorang perempuan tua duduk di sampingnya—neneknya. Ekspresi Davison lembut dan hangat.

Caption-nya hanya satu kata: “Rumah.”

Sheina terdiam, merasakan sesuatu yang mengusik hatinya.

Dia melanjutkan guliran layar dan melihat sisi lain dari Davison. Foto-foto yang memperlihatkan dia sedang mencicipi kopi, menata alat seduh, dan berdiri di depan sebuah kafe bernama Eliano Kafe.

Logo yang sama tampak pada beberapa cabang lain, yang interiornya memadukan kayu dan lampu gantung, menciptakan suasana hangat dan nyaman.

Dari bio Instagram Davison, tertulis:

“CEO | Coffee Entrepreneur | Passion for art, detail, and silence.”

Sheina segera membuka Google dan mengetik nama lengkapnya: Davison Elian Sakawira.

Sebuah artikel muncul di layar:

“Produk Kopi Davison Elian Sakawira Diekspor ke Luar Negeri, Omzet Capai Dua Miliar per Bulan.”

Matanya membelalak. Satu miliar per bulan? Itu luar biasa.

Dia membaca lebih lanjut. Brand kopi yang kini dipegang Davison bukanlah hal baru. Ternyata, itu adalah usaha yang diwariskan dari kakeknya sejak lama. Namun yang membedakan, Davison menambahkan inovasi dengan membuka jaringan kafe bernama Eliano Kafe yang kini memiliki banyak cabang.

Brand kopi warisan kakeknya itu sudah dikenal luas dan diekspor ke berbagai negara seperti Jepang, Singapura, dan Jerman.

Bukan hanya karena cita rasanya yang unggul, tapi juga karena konsistensi kualitas dan desain kemasannya yang elegan.

Sheina bergumam pelan, “Jadi ini kopi yang pernah aku coba di kafe itu, aku kira dari luar negeri.”

Ternyata, semua itu berasal dari kota mereka sendiri. Dari seseorang yang kini menjadi suami rahasianya dalam sandiwara dan kontrak.

Dia kembali menatap layar, melihat foto-foto Davison di luar negeri, Jepang dengan jalanan kecil penuh daun merah, Belanda dengan kanal dan bangunan klasik, Perancis di bawah Menara Eiffel, dan Singapura dengan langit senja di rooftop bar.

Caption yang menyertainya berbunyi, “Kadang, untuk bisa tenang, cukup diam dan nikmati apa yang sudah diperjuangkan.”

Sheina menarik napas panjang.

Ada sesuatu dalam diri Davison yang sulit dijelaskan. Bukan hanya soal kekayaan atau foto-foto indahnya, tapi bagaimana dia membangun dunianya dengan ketenangan yang dalam.

Dia menggigit bibir bawahnya.

“Dia bukan tipe yang suka banyak bicara. Dia orang yang penuh dengan rencana,” pikirnya, “tapi walaupun dia punya kekayaan, tetap aja dia lebih memilih membohongi neneknya dengan pernikahan rahasia."

Sheina merasa kecil di hadapan sosok seperti itu.

“Lima puluh juta sebulan? Itu mah kecil banget buat dia, tapi terlalu besar bagi keluarga aku.”

Tubuhnya direbahkan di atas kasur. Pandangannya kosong, pikirannya melayang ke mana-mana. Ia bingung, uang sebanyak itu akan digunakan untuk apa jika akhirnya terkumpul begitu banyak.

Namun, tiba-tiba saja ia membuka suara.

“Uangnya bisa bikin rumah impian, liburan ke luar negeri.”

Sheina ingin melakukan semuanya, segala hal yang dulu pernah menjadi impian. Hal-hal yang perlahan ia kubur dalam-dalam, sejak kepergian seseorang yang begitu berarti.

Sesaat hening, lalu Sheina bergumam pelan, nyaris tak terdengar.

“Dia apa kabar ya?”

Seseorang yang selama tujuh tahun terakhir ini selalu ia paksa untuk dilupakan. Sosok yang hadir dalam setiap luka, dalam setiap malam yang tak pernah benar-benar tenang. Bukan karena ia masih mencintainya, tapi karena kenangan itu tak pernah benar-benar pergi.

......................

Di kediaman barunya yang sunyi, Davison duduk di sofa panjang berlapis kulit abu-abu. Jendela besar di depannya masih basah oleh sisa hujan sore, menciptakan bayangan kabur dari pohon-pohon kecil di taman belakang. Cahaya lampu gantung memantul samar di permukaan lantai marmer yang mengilap. Tak ada suara. Tak ada detak jam. Hanya diam yang pekat menyelimuti ruangan.

Tangannya meraih ponsel yang tergeletak di samping cangkir kopi yang sudah dingin. Ia menekan satu nama yang sudah tersimpan lama—Ari.

Panggilan hanya berdering sekali sebelum suara familiar menyambut di ujung sana.

“Yo?”

“Ari, aku butuh kontrak pernikahan,” ucap Davison singkat.

Hening sejenak. Seolah kalimat itu tak langsung diproses dengan utuh oleh Ari.

“Kontrak apa?” tanyanya akhirnya, pelan.

“Pernikahan rahasia,” jawab Davison, tetap tenang. “Antara aku dan Sheina Andara.”

Terdengar deru napas Ari yang tertahan. Suara gesekan kursi di belakangnya memberi tanda bahwa ia langsung duduk tegak.

“Kamu serius?”

Davison tidak menjawab pertanyaan itu. Sebagai gantinya, ia langsung mendikte poin-poin perjanjian dengan nada dingin, seolah tengah membaca daftar belanja harian.

Kontrak Pernikahan Rahasia

Pihak A: Davison Elian Sakwira

Pihak B: Sheina Andara

Pihak B akan berpura-pura menjadi istri rahasia di hadapan nenek pihak A, serta dalam situasi-situasi genting yang melibatkan keluarga pihak A.

Pihak A dan B akan terus mengenakan cincin pernikahan selama berada di dekat nenek pihak A.

Pihak A akan memberikan uang sebesar Rp50.000.000 setiap tanggal 1 tiap bulan secara tepat waktu kepada pihak B.

Tidak diperkenankan adanya sentuhan fisik berlebihan di luar konteks pekerjaan.

Pihak B bersedia merahasiakan kontrak ini dari pihak mana pun.

Kontrak berakhir hanya jika pihak A menyatakan ingin mengakhiri kerja sama.

“Gila kamu,” ucap Ari akhirnya, napasnya terdengar berat. “Kalau gitu niat, kenapa nggak nikah aja sekalian?”

Davison mengangkat pandangannya dari lantai, menatap bayangan samar hujan di kaca. Udara di ruangan itu sejuk, tapi ada dingin lain yang muncul dari dalam dirinya. Dingin yang tak bisa dihangatkan oleh benda semahal apa pun.

“Aku udah bilang berkali-kali, Ari. Aku nggak mau menikah,” suaranya rendah dan lambat. “Aku nggak percaya sama pernikahan.”

Kata-katanya terdengar lebih seperti pengakuan daripada penegasan. Dan Ari tahu, Davison bukan sedang membahas soal institusi. Ia sedang bicara tentang luka.

Tentang kepercayaan yang pernah ia tanam, lalu dicabut dengan paksa. Tentang harapan yang pernah ia pegang erat, lalu runtuh dalam satu malam.

“Yaudah,” Ari menyerah, nadanya melembut. “Besok kontraknya jadi.”

Panggilan berakhir.

Davison meletakkan ponsel di atas meja marmer. Ia bersandar pelan ke sandaran sofa, matanya tetap tertuju pada jendela.

Rumah itu sempurna di luar, bersih, rapi, segala sesuatu di tempatnya. Tapi tak ada satu pun kehangatan yang tinggal di dalamnya. Tak ada foto. Tak ada musik. Tak ada cerita yang dibiarkan tumbuh.

Seperti hatinya.

Semua tampak lengkap. Tapi sesungguhnya kosong.

1
LISA
Menarik juga nih ceritanya
LISA
Aneh tp ntar kmu suka sama Sheina Dev🤭😊
LISA
Aku mampir Kak
Rian Moontero
lanjuutt thor,,smangaaat💪💪🤩🤸🤸
Rembulan Pagi: terima kasih kakk
total 1 replies
Umi Badriah
mampir thor
Rembulan Pagi
Bagi yang suka romance santai, silakan mampir
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!