NovelToon NovelToon
Pernikahan Yang Ketiga

Pernikahan Yang Ketiga

Status: sedang berlangsung
Genre:Duda / Janda / Cerai / Identitas Tersembunyi / Konglomerat berpura-pura miskin / Cinta Lansia
Popularitas:13.5k
Nilai: 5
Nama Author: CovieVy

Setelah sepuluh tahun menjanda setelah pernikahan kedua, Ratna dihadapkan oleh perilaku tak terduga dari anak tiri yang ia rawat. Setelah menikah dengan Dirli, Amora mengusir Ratna dari rumah peninggalan ayahnya (suami Ratna).

Suatu hari, ia bertemu dengan seorang pria tua memakai jaket ojek online. Pria bernama Robin itu melihat ketulusan Ratna yang menolong orang yang tak dikenal. Dengan lantang ia mengajak Ratna menikah.

Dalam pernikahan ketiga ini, ia baru sadar, banyak hal yang dirahasiakan oleh suami barunya, yang mengaku sebagai tukang ojek ini.

Rahasia apakah yang disembunyikan Robin? Apakah dalam Pernikahan yang Ketiga dalam usia lanjut ini, rumah tangga mereka akan bahagia tanpa ada konflik?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon CovieVy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

1. Hanya Ibu Tiri

"Kenapa kau ke sini lagi?" hardik Amora dari balik pintu yang baru saja terbuka. Tangannya terlipat di dada, tatapannya tajam, dan wajahnya menegang. Ia, anak kandung dari mendiang suami Ratna, kini telah berkeluarga dan tinggal di rumah peninggalan ayahnya.

Ratna tersenyum kecil, berusaha menenangkan hatinya yang mendadak gelisah. "Mama hanya ingin melihat cucu Mama, Nak. Warung kopi kan belum buka, jadi Mama pikir tak mengapa lah Mama mampir sebentar melihat keadaan kalian.”

"Dia bukan cucumu!" potong Amora lantang, suaranya menggema hingga membuat Ratna sedikit tersentak. "Dia anakku. Dan kau tak perlu sering-sering datang kemari!"

Sekilas, mata Ratna berkaca. Sorot matanya sayu, dengan keriput di sudut-sudutnya yang tampak lebih dalam saat ia mencoba menahan tangis. “Amora ... kenapa kamu berkata seperti itu? Bukankah kalau dia anakmu, artinya juga cucu Mama?”

"Jangan sok perhatian begitu!" Amora membuang muka dan diam sejenak.

"Kau bukan ibu kandungku! Kau hanya perempuan yang dinikahi papaku, itu pun pasti hanya karena harta! Dan setelah Papa meninggal, kau bertahan di rumah ini seolah-olah semuanya adalah milikmu. Kau pikir aku tidak tahu?"

Tubuh Ratna sedikit bergetar. Napasnya terlihat naik turun. Namun, ia tetap berusaha berdiri tegak setelah meletusnya ucapan yang lebih tajam dari bilah pisau.

Ia sungguh tak menyangka, Amora, anak suami yang ia rawat semenjak meninggal sepuluh tahun lalu, bisa mengatakan hal sekeji itu terhadapnya.

“Jika Mama memang hanya datang untuk kekayaan papamu, takkan mungkin Mama bertahan sendiri menjalankan usaha warung kecil untuk menghidupi kita."

"Mama hanya ingin tetap menjadi Ibu di dalam hidupmu, meski hanya menjadi sosok bayangan yang kamu benci. Setidaknya, Mama bisa merawat anak dari suami Mama, meskipun bukan anak yang lahir dari rahim Mama."

"Hentikan!" Amora berseru dengan mata memerah membara. "Hubungan kita telah selesai di saat aku menikah dengan Mas Dirli. Dan kau, bukan siapa-siapa lagi, bagiku."

Ratna memejamkan mata, menahan bulir bening yang nyaris luruh. “Mama memang bukan ibu kandungmu, Amora. Tapi Mama mencintaimu seperti anak Mama sendiri. Mama tidak pernah membedakanmu … bahkan ketika anak kandung Mama sendiri memilih untuk menjauh.”

Amora terdiam. Bibirnya mengatup rapat, tetapi tatapannya semakin tajam.

"Kau hanya mencari pelarian dari anakmu yang tak mau lagi menemuimu, bukan? Hanza sudah dewasa, dan dia pun pasti tahu siapa ibunya yang sebenarnya. Kau datang padaku karena tak ada lagi tempat untuk kau tuju.”

"Sudah lah! Jangan usik hidupku lagi! Pergi lah! Urus saja warung kopimu itu!"

Bibir Ratna terkatup. Akhirnya ia mengangguk pelan. Namun, terlintas satu hal yang ingin diberikan kepada bayi kecil berusia enam bulan itu. Ia mengeluarkan dompet dan mengeluarkan beberapa lembar ratusan ribu.

"Mama tak sempat membelikan cucu Mama, mainan. Namun, kamu bisa membelikannya dengan uang ini," ucap Ratna menyerahkan uang ke hadapan Amora.

Amora menerima uang itu tanpa kata. Ia tidak menoleh, namun jemarinya menggenggam erat lembaran itu. Mulutnya tak bersuara, tapi sudut bibirnya melengkung samar. Kali ini, Ia merasa menang menghadapi sang ibu tiri.

'Mayan, buat beli skincare, biar tetap cantik meski udah memiliki anak,' batinnya. Tangannya mengayun pelan, isyarat bagi Ratna agar segera pergi.

Ratna menunduk dan mengangguk pelan. Ia melangkah mundur, membalikkan badan dengan sisa harga diri yang ia genggam erat. Air mata tak lagi tertahan. Ia menyeka pelupuk matanya sambil melangkah menjauh, membawa perih yang tak mampu ia ucapkan.

Saat berjalan menyusuri trotoar menuju warung kopi, langkah Ratna terhenti. Di kejauhan, seorang anak berseragam putih-merah tampak sempoyongan, tangan kecilnya memegangi perut.

“Nak, kamu kenapa?” Ratna spontan melangkah cepat mendekatinya.

Belum sempat sang bocah menjawab, tubuh mungil itu ambruk—jatuh tepat ke pelukannya.

“Nak...? Nak?” Ratna memanggil panik, menepuk-nepuk pipi si bocah dengan lembut. Tidak ada reaksi.

Matanya celingukan, panik. Kiri—kosong. Kanan—sepi. Tapi di seberang jalan, ia melihat seorang pria tua dengan jaket ojek daring tengah duduk di atas motornya, menunggu orderan.

Ratna melambaikan tangan. “Pak! Tolong!”

Pria itu menunjuk dirinya, agak ragu. Ratna mengangguk keras. “Iya, Bapak! Tolong!”

Dengan wajah cemas dan penasaran, sang pengemudi menyalakan motornya, menyeberangi jalan.

“Kenapa, Bu? Anaknya kenapa?” tanyanya.

“Dia bukan anak saya ... Tapi dia butuh pertolongan,” jawab Ratna dengan suara bergetar. “Tolong bantu saya bawa dia ke rumah sakit. Saya mohon.”

Mata pria itu menatap anak yang pingsan dalam pelukan Ratna. Sesaat hening seolah menimbang atau mungkin menilai. Lalu ia mengangguk.

“Ayo Bu, naik. Kita antar sekarang.”

Ratna masih memeluk erat tubuh bocah yang lemas di dekapannya. Pria tua dengan jaket ojek daring telah turun dari motornya mencoba membantu untuk menaikkan bocah itu.

Dengan susah payah, mereka mengatur posisi agar Ratna dan anak itu sama-sama nyaman di bangku penumpang.

Dalam perjalanan, pria itu melirik Ratna lewat spion. “Anak siapa itu, Bu?”

Ratna menggeleng pelan. “Saya tidak tahu, Pak. Saya bahkan tidak tahu siapa namanya. Tapi, saya tak tega melihat dia pingsan begini. Mungkin dia belum sempat sarapan atau mungkin memang sedang kurang sehat.”

Pria itu diam sejenak. Lalu bertanya lagi, suaranya agak pelan, menimbang takut menyinggung perasaan.

“Suami Ibu tidak keberatan jika Ibu menolong anak yang tak dikenal seperti ini?”

Ratna terdiam. Rautnya pun berubah drastis. “Suami saya sudah meninggal... sepuluh tahun lalu. Kalau pun masih hidup, mungkin akan tetap sama perlakuannya sepertiku."

“Oh...” Suara pria itu turun satu nada.

“Maafkan saya, Bu.”

Ratna tersenyum kecil, walau matanya masih sembab. “Tak apa. Saya terbiasa sendiri, Pak. Lagipula, hidup itu bukan soal ikatan darah, tapi siapa yang memiliki hati.”

Pria itu melirik spion lagi, lebih lama. Ada sorot kagum di matanya yang sebelumnya tersembunyi di balik helm dan jaket lusuh.

Sesampainya di rumah sakit, ia langsung melompat turun, membantu Ratna, dan mengurus administrasi seolah ia sudah terbiasa melakukannya. Bahkan, saat petugas menanyakan jaminan biaya, ia langsung mengeluarkan dompet dan menyerahkan kartu platinum dengan inisial timbul R.H. di sudutnya.

Petugas menatap kartu itu, lalu beralih heran menatap pria berpakaian ojek daring itu.

“Pak, Anda ini...?”

Pria itu hanya menaruh telunjuk di bibir, memberi kode agar petugas diam.

Petugas itu menatap nama di kartu, lalu menatap pria itu sekali lagi. Namun, pria tua itu sudah berbalik, melangkah tenang seperti angin.

Ratna yang sedang mengelus kepala anak kecil itu tak menyadari apa pun. Tapi diam-diam, pria itu terus memperhatikannya.

Sesaat setelah anak itu dibawa ke ruang perawatan, Ratna terduduk di kursi tunggu. Ia merasa cukup khawatir dan tak sengaja melihat tukang ojek tua yang tadi mengantarnya.

Pria tua itu membuka helm denga perlahan, menatap Ratna dari samping. Rambutnya sudah memutih, tapi wajahnya tampak bersih dan rapi.

“Kalau boleh tahu, Ibu tinggal di mana?” tanyanya hati-hati.

“Tak jauh dari sini, saya punya warung kopi kecil,” jawab Ratna. “Saya hanya tinggal sendiri.”

“Suaminya sudah lama meninggal, ya?”

Ratna mengangguk. “Ya, begitu lah. Saya memiliki satu anak tiri dan satu putri kandung. Hanya saja, tak ada yang menganggap keberadaan saya karena masa lalu saya begitu kelam."

1
MomyWa
semangat thor
MomyWa
thor, jngan rumit2 kali lah bkin cerita. hobi kali nulis yg rumit
MomyWa
wLaaaahh, dah pny anak..gwat dong. ksihan ratna
MomyWa
sepertinya mulai menimbang2 nih
MomyWa
manut2 aja dirli
MomyWa
berbeda dbanding saat brsama ratna
MomyWa
harusnya pcat aja langsung pak
MomyWa
cakep, tp udah tua sih 😅
MomyWa
weeehh, cocok utkku tp ga ada di sini
MomyWa
mungkin ga mau ktemu sm org kayak elu lagi
MomyWa
seharian kemarin sibuk bgt, ga taunya ketinggalan banyak. smpai2 covernya udah ganti lagi ya thor
arielskys
sekarang kami mengerti alasan Robin tak mempermasalahkan masa lalu Ratna. Karena manusia pasti memiliki kekhilafan.
arielskys
ada maksud terselubung
arielskys
jangan smpai lupa tjuanmu td dirli
Anonymous
saya kasih kopi Thor, semangat terus yaaah
Syahril Maiza
tapi emang dr awal pak ojek mengatakan nggak memiliki masa lalu yg lebih baik bukan? kita tnggu authornya mau membawa cerita ke mana
Syahril Maiza
terus pak, buktikan kau tak goyah
Syahril Maiza
emang enak dicuekin?
MomyWa: kasian deh loe
total 1 replies
Syahril Maiza
omaigat, nanti kalau si mertua Amora tau, malah semakin semena2
arielskys: jangan smpai deh
total 1 replies
Syahril Maiza
kalau lu setia, mungkin bisa naik jabatan
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!