Di khianati dan terbunuh oleh orang yang dia cintai, Nada hidup kembali di tubuh seorang gadis kecil yang lemah. Dia terkejut dan tidak tahu harus berbuat apa?
"Kakak, tolong balaskan dendam ku." Pinta gadis kecil yang namanya hampir sama dengan Nada.
"Hah!! Gimana caranya gue balas dendam? tubuh gue aja lemah kayak gini."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nopani Dwi Ari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab.1
Uhuk! Nada menatap darah yang ada ditangannya, dia merasa bahwa hidupnya akan berakhir di tangan orang yang sangat dia percaya dan cintai.
Suara pintu terbuka dan Nada langsung menatap kedua orang itu, dengan penuh permusuhan.
"Aku berjanji akan membalas semua, perbuatan kalian." Tekadnya, walau dia sendiri tidak yakin terdengar oleh mereka berdua.
"Lakukan saja jika kamu masih hidup," balas sang lelaki dengan senyum sinis.
Rowman, merangkul pinggang gadis yang di kenal oleh Nada. Dia menatap benci pada sepasang pengkhianat tersebut.
"Cih, kalian sama-sama pengkhianat memang cocok." Cibir Nada dengan suara lemah.
"Nada sayang, jangan banyak berbicara." Ujar gadis tersebut, tanpa ampun dia menginjak perut Nada membuat Nada kembali muntah darah.
"Ayo sayang, kita pergi biarkan tubuhnya membusuk di rumah susun kumuh ini." Kata Rowman.
Suara letusan terdengar membuat, Nada langsung memejamkan mata. Rowman, tersenyum sinis tidak ada lagi yang menghalangi dirinya.
"Selamat tinggal, sayang." Ejek Rowman.
"Sudah?"
"Sudah, kita bisa hidup bahagia dengan semua hartanya." Kata Rowman.
Mereka pergi begitu saja, tidak ada yang tahu akan nasib takdir seseorang seperti apa? Di kehidupan yang akan datang.
*****
Dokter bekerja keras untuk menyelamatkan nyawa gadis kecil, dia datang di antar oleh salah satu tetangganya bernama Jayden.
"Selamatkan, Kara." Gumamnya, Jayden terus menatap cemas ke arah dalam.
Tak lama pintu terbuka, Jayden langsung berdiri dan menatap dokter.
"Bagaimana, dok?" tanya Jayden.
"Syukurlah, masa kritisnya sudah berlalu. Kita tinggal menunggu pasien sadar dan kami akan memindahkannya, keruang perawatan tapi setelah dua puluh empat jam." Jelas dokter.
"Ohh, satu lagi. Sebaiknya anda melakukan visum pada pasien, karena kami menemukan luka lebam di sekujur tubuh juga terdapat bekas kekerasan seksual di organ intimnya." Dokter kembali menjelaskan, sebelum berlalu dari hadapan dokter.
Jayden lemas, dia tidak menyangka nasib tragis menghampiri gadis kecil tersebut.
"Baik, dok. Terima kasih," balas Jayden, dia memejamkan mata akan penderitaan Kara.
Jayden menatap ponsel yang masih sepi, sudah dari dua jam yang lalu dia memberitahu Ibunya Kara yang bernama Evelin. Namun, tidak ada balasan sama sekali.
Jayden selalu bertanya, apa dia tidak merasa khawatir pada gadis kecilnya?
"Huh! Lupakan Mbak Eve, aku yakin dia tidak akan datang. Karena kekasihnya yang gila pasti melarangnya," gumam Jayden, Jayden pun terpaksa memberi tahu orang tuanya. Dan mereka berjanji, akan segera datang.
Tak lama suster memindahkan Kara, yang terbaring lemah tangan mungilnya di infus sekarang terlihat jelas. Terdapat banyak luka lebam, juga luka bakar di tangan Kara.
"Kara ya Tuhan." Lirih Jayden.
Jayden mengikuti langkah suster, menuju ruang perawatan kelas dua. Karena dia tidak mungkin memberikan ruangan istimewa untuk Kara.
"Maafkan, Abang. Kara, Abang telat menolong kamu. Harusnya Abang paham saat kamu terlihat tidak baik-baik saja," isak Jayden, untuk pertama kalinya dia menangis.
Suara langkah terdengar, membuat Jayden menoleh. Karena dia benar-benar belum masuk kedalam kamar rawat.
"Jayden." Panggil Sekar.
"Mama." Jayden memeluk Sekar dengan erat, dia menangis tersedu-sedu akan nasib Kara. Gadis kecil, yang sudah dia anggap adik.
"Sudah-sudah, Kara akan baik-baik saja. Jangan khawatir, dia anak yang kuat." Ujar Sekar menangkan sang anak.
Satria menepuk pundak anak lelakinya, mencoba memberikan dukungan.
"Papa, sudah memberitahu Eve. Tapi dia tidak bereaksi sama sekali, bahkan wajahnya terlihat datar sekali." Satria menatap istri dan anaknya.
"Apa terjadi sesuatu dengan, Eve? Aku sangat mengkhawatirkannya." Kata Sekar. "Apa pekerjaannya, baik-baik saja?"
"Baik kata teman Papa, pekerjaannya baik selama menjadi pekerja pabrik. Dia cekatan, dan selalu bergerak dengan cepat melakukan tugas."
Sekar pun mengangguk, Jayden pun menyela obrolan orang tuanya. Dia memberitahu bahwa Kara harus di visum. Karena banyak luka di tubuhnya, dan yang paling parah adalah dia mengalami kekerasan seksual.
"Astaga, Kara." Desis Sekar dengan suara lirih, tak menyangka gadis kecil itu berjuang sendiri.
"Pasti dia ketakutan, memang gila pacarnya si Evelin." Marah Sekar.
"Kita lakukan visum, lalu jebloskan lelaki bajingan itu ke penjara. Biarkan saja Evelin." Sahut Satria, Jayden pun setuju dengan ucapan sang Ayah.
Pintu terbuka, suster mengangguk ke arah keluarga Jayden dan mempersilahkan mereka untuk masuk. Jayden dan kedua orang tuanya masuk kedalam, dia menatap sedih Kara yang masih belum sadar.
"Apa kita, pindahkan Kara keruangan VIP, saja?" tanya Sekar, pasalnya didalam kamar tersebut ada satu orang pasien.
"Tapi biayanya bagaimana, Ma?" tanya Jayden, merasa mereka tak sekaya Ayah dari Kara. "Apa kita minta saja, ke Ayahnya Kara?"
"Papa gak setuju, Jay. Ayahnya Kara pasti akan abai, apalagi jika ada istri keduanya." Ujar Satria, Jayden pun menghela nafas dengan pelan.
Dia menatap sendu gadis kecil, yang dia anggap sebagai adik.
"Ya sudah, tidak apa-apa. Mama akan jaga Kara saat siang selagi kamu sekolah dan Papa bekerja. Lalu kamu dan Papa jaga Kara malam, bagaimana?" tanya Sekar.
"Baiklah aku setuju, Ma." Balas Jayden, Satria pun setuju.
****
Tak terasa sore pun tiba, waktu menunjukan pukul lima sore. Evelin, keluar dari pabrik tempatnya berkerja. Lelah? Tentu saja dia lelah, tapi demi sang anak dan masa depannya. Dia akan melakukan apapun, untuk Kara anak semata wayangnya.
Setibanya di rumah, dia mendapati rumah berantakan dan gelap. Evelin menghidupkan lampu, memutuskan untuk masuk ke kamar. Dia menghembuskan nafas dengan pelan, dia menatap kesal pada kekasihnya yang tidur.
Saat berangkat kerja, kekasihnya itu berjanji akan membereskan rumah. Namun, apa yang dia lihat sekarang? Rumah berantakan, cucian numpuk, piring kotor masih di wastafel.
"Astaga," gumam Evelin.
"Yang, bangun ini sudah sore loh! Kenapa gak beresin, rumah?" tanya Evelin.
"Yang." Evelin mengguncang tubuh kekasihnya, dia bernama Alfa.
"Apaan sih, ganggu aja. Aku cape kamu aja sana yang kerjain," balasnya.
"Cape? Memang kamu habis apa, hah?" bentak Evelin hilang sudah kesabarannya.
"Cari kerja, apa lagi memang. Kamu pikir aku diam saja, apa?" Alfa balas membentak.
"Sudah sana pergi, ganggu aja." Usir Alfa, Evelin menghembuskan nafasnya dengan pelan. Dia memutuskan untuk mencuci piring sambil menyiapkan makan malam, lalu membersihkan rumah dan mencuci. Rumah tersebut adalah pemberian mantan suaminya. Namun, Alfa berlagak dia adalah pemiliknya. Bahkan, Alfa sempat ingin mengadaikan sertifikat rumah.
Beruntung Evelin, langsung mengamankan sertifikat tersebut. Evelin sibuk di dapur, dan Dia belum menyadari bahwa putri kecilnya tidak dirumah.
Bahkan ponselnya tidak hidup, karena kehabisan daya. Jadi dia tidak tahu, bahwa Jayden menghubungi dirinya. Evelin, pun lupa saat Satria memberi kabar bahwa Kara masuk rumah sakit.
Entahlah akhir-akhir ini, dia sering merasa lupa. Mungkin karena terlalu lelah bekerja, begitu pikir Evelin.
Bersambung...
Hai!!! Selamat datang di novel terbaru ku, mohon dukungannya ya! Makasih 🙏