Anna tidak pernah membayangkan bahwa sebuah gaun pengantin akan menjadi awal dari kehancurannya. Di satu malam yang penuh badai, ia terjebak dalam situasi yang mustahil—kecelakaan yang membuatnya dituduh sebagai penabrak maut. Bukannya mendapat keadilan, ia justru dijerat sebagai "istri palsu" seorang pria kaya yang tak sadarkan diri di rumah sakit.
Antara berusaha menyelamatkan nyawanya sendiri dan bertahan dari tuduhan yang terus menghimpitnya, Anna mendapati dirinya kehilangan segalanya—uang, kebebasan, bahkan harga diri. Hujan yang turun malam itu seakan menjadi saksi bisu dari kesialan yang menimpanya.
Apakah benar takdir yang mempermainkannya? Ataukah ada seseorang yang sengaja menjebaknya? Satu hal yang pasti, gaun pengantin yang seharusnya melambangkan kebahagiaan kini malah membawa petaka yang tak berkesudahan.
Lalu, apakah Anna akan menemukan jalan keluar? Ataukah gaun ini akan terus menyeretnya ke dalam bencana yang lebih besar?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eouny Jeje, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bencana Gaun Pengantin
*Seorang pria keluar dari Fashion House* Rose Marrie, butik ternama yang dikenal dengan koleksi mewah dan eksklusifnya. Langkahnya cepat dan penuh keyakinan. Di tangannya, sebuah cover clothes berisi gaun pengantin mewah nan indah tergenggam erat, sementara tangan kanannya memegang ponsel, membahas bisnis miliaran yang akan ia raih esok hari.
Pria itu adalah Ethan Ruan, pengusaha muda paling berpengaruh di seluruh pelosok Tianrong Nation—negara adidaya dengan ekonomi maju dan politik penuh intrik. Di usia 29 tahun, ia telah mencapai puncak kejayaan. Wajahnya tampan, tubuhnya tinggi menjulang dengan bahu lebar dan dada bidang yang terlihat jelas di balik kemeja putihnya. Aura maskulin dan karismatiknya terpancar kuat.
Dua minggu lagi, ia akan menikahi Susan Lin, seorang direktur cantik dan cakap di Neo Digital Bank, salah satu bank terbesar dan paling inovatif di negara itu. Untuk melamar gadis itu, Ethan telah menyiapkan kejutan luar biasa—gaun pengantin yang harganya setara dengan sebuah mobil Force keluaran terbaru.
Tik! Tik!
Tetesan hujan pertama jatuh ke aspal, kecil, hampir tak terasa. Namun dalam sekejap, langit yang semula cerah mendadak berubah kelam. Awan hitam tebal bergulung-gulung, menyelimuti kota dalam bayangan gelap. Udara yang tadi hangat perlahan berubah dingin, membawa serta angin yang berembus kencang. Hujan mulai turun dengan intensitas yang semakin deras, membasahi trotoar dan jalanan yang kini dipenuhi pantulan cahaya lampu kendaraan.
Ada sesuatu yang tidak beres.
Ethan mendongak sekilas ke langit yang kini gelap pekat. Ia mengerutkan kening. Kenapa cuaca tiba-tiba berubah seperti ini?
Tapi ia tak punya waktu untuk memikirkannya. Yang terpenting sekarang adalah gaun ini tidak boleh basah.
Ia menutup ponselnya dan mulai berlari, tanpa memperhatikan lampu penyebrangan berwarna merah menyala—peringatan jelas bahwa ia tak boleh menyeberang.
"Susan pasti akan menyukai gaun ini," pikirnya sambil mempercepat langkah. "Semuanya harus sempurna."
Di saat yang sama, sebuah mobil putih melaju menembus hujan deras.
Anna Li, seorang gadis muda berbakat, memegang kemudi dengan erat. Wiper mobilnya bergerak cepat, tapi derasnya hujan membuat dunia di depannya tampak buram. Kilatan petir membelah langit, menambah ketegangan yang menusuk dadanya.
"Aku harus cepat!" pikir Anna. "Ini debutku. Aku tidak boleh terlambat. Semua kerja kerasku akan sia-sia kalau aku tidak sampai tepat waktu."
Ia menggigit bibirnya. Tangannya semakin erat menggenggam kemudi.
"Bagaimana jika mereka menolakku? Bagaimana jika gaunku tidak cukup bagus?"
Ia menggelengkan kepalanya. Tidak! Tidak ada waktu untuk berpikir seperti itu. Ia harus percaya diri. Ini adalah langkah besar dalam kariernya.
Namun, perasaan aneh tiba-tiba menjalar ke sekujur tubuhnya. Ketegangan yang tak bisa dijelaskan.
Ethan semakin dekat ke jalan.
Anna semakin menekan pedal gas.
Siluet seseorang muncul di hadapannya.
"Apa itu?" pikir Anna, matanya membelalak.
BRAK!
Suara benturan keras mengguncang udara. Tubuh seseorang terlempar ke udara, berputar dalam kehampaan sebelum jatuh menghantam aspal dengan bunyi yang menggetarkan.
Jantung Anna serasa berhenti.
"TIDAK! APA YANG BARU SAJA AKU LAKUKAN?"
Tangannya gemetar di atas kemudi. Napasnya tercekat. Dunia di sekitarnya terasa hening, seolah waktu berhenti.
Di depannya, seseorang tergeletak tak bergerak di tengah jalan basah, diterangi pantulan lampu kendaraan yang mulai berhenti.
Gaun pengantin rancangan pertamanya…
Gaun yang selama ini ia impikan, yang seharusnya berjalan anggun di atas panggung debutnya, kini menghilang dari pikirannya.
Sebagai gantinya, bayangan lain muncul—gaun pengantin lain, tapi bukan miliknya.
Sebuah gaun putih… berlumuran darah.
Darah pria itu.
Pemandangan itu menghantam pikirannya seperti badai yang tak terelakkan. Seolah-olah nasib mempermainkannya, menggantikan debut impiannya dengan mimpi buruk yang tak akan pernah bisa ia hapus.
Anna terkejut. Dunia terasa berhenti berputar.
Tangannya yang masih menggenggam kemudi bergetar hebat. Napasnya memburu, dadanya naik turun, tapi udara seakan tak bisa mencapai paru-parunya. Keringat dingin merembes di pelipisnya, bercampur dengan ketakutan yang semakin menyesakkan.
Matanya perlahan bergerak ke depan, menembus hujan yang masih deras menghantam bumi. Sosok pria itu… tergeletak di atas aspal, tak bergerak.
Tidak… Tidak…
Anna menelan ludah, tapi tenggorokannya terasa kering. Dengan tangan gemetar, ia melepas sabuk pengaman dan membuka pintu mobil. Darah… Darah mulai menyebar, mengalir di atas aspal yang dingin.
Langkahnya terasa berat saat ia mendekat. Lututnya melemas, tubuhnya jatuh di sisi gaun pengantin yang kini berlumuran merah. Gaun yang seharusnya menjadi simbol kebahagiaan… kini ternoda oleh tragedi.
Tiiin! Tiiin!
Suara klakson mobil di sekitarnya meraung, bersaing keras dengan suara hujan yang terus menghantam jalanan. Pekak. Memekakkan telinga. Menikam hatinya dengan kepiluan.
Anna memejamkan mata sesaat, tubuhnya gemetar. Ini bukan mimpi. Ini nyata.
Dia telah menabrak seseorang.
Tangannya perlahan bergerak, ingin menyentuh gaun pengantin itu. Jarinya nyaris menyentuh kain yang dulu ia impikan sebagai mahakarya perdananya. Tapi di saat yang sama… darah pria itu merembes ke telapak tangannya.
Darah hangat itu terasa di kulitnya.
Anna menahan napas. Tidak. Ini bukan tentang gaun lagi.
Dengan gemetar, ia merangkak mendekat. Jantungnya berdetak begitu kencang, rasa panik menyergap seluruh tubuhnya. Dia harus bertindak!
Tangannya terulur, menyentuh bahu pria itu, mengguncangnya dengan lembut.
“Hei…” suaranya tercekat. “Hei! Bangun!”
Tak ada reaksi.
Panik melanda. Anna dengan putus asa menarik tubuh pria itu ke dalam rangkulannya, menggoyang-goyangkan bahunya dengan lebih kuat. Air matanya mulai menggenang.
“Kau tidak boleh mati!” teriaknya, suaranya serak, penuh ketakutan.
Ia mendekatkan telinganya ke dada pria itu, berharap… memohon…
Degup jantung.
Masih ada! Masih berdetak!
Anna terisak lega, tapi rasa takut belum pergi. Pria itu pucat. Bibirnya membiru. Matanya terpejam tanpa ekspresi.
Dia masih hidup, tapi sampai kapan?
Anna menoleh dengan panik, menatap siapa pun yang kini mulai berkerumun. Wajah-wajah asing memandangnya dengan tatapan cemas, beberapa hanya berbisik, beberapa mengeluarkan ponsel untuk merekam.
Tidak! Mereka tidak boleh hanya diam!
Air mata bercampur hujan membasahi wajahnya. Suaranya pecah saat ia memohon, “Tolong! Tolong aku! Seseorang bantu aku mengantarnya ke rumah sakit!”
Namun, tak ada yang langsung bergerak. Mereka semua hanya terpaku, seakan masih mencoba memahami situasi ini.
Anna putus asa.
Tangannya terus menggenggam erat pria itu, mendekapnya lebih erat seakan jika ia melepaskan, nyawa pria ini akan ikut pergi bersama rinai hujan yang jatuh tanpa henti.
Anna terisak, mengguncang bahunya lagi. “Hei! Kau dengar aku? Kau tidak boleh mati! Kumohon…”
Tepat saat kepanikan mencapai puncaknya, suara lain menggantikan bising klakson—sirene.
Woo—woo—woo!
Anna menoleh. Cahaya merah dan biru memantul di genangan air, menerangi jalanan yang masih diguyur hujan.
Tak lama, seorang petugas keamanan tampak berlari mendekat, diikuti beberapa orang paramedis dengan tandu. Langkah mereka cepat, tegas.
Untuk pertama kalinya, sedikit kelegaan menyusup ke hati Anna.
Namun, rasa takut belum benar-benar pergi.
Belum sampai pria ini selamat.
Tangannya masih menggenggam erat lengan pria itu saat paramedis mulai mendekat. Seorang di antaranya berjongkok di sampingnya, menyentuh lengannya dengan lembut.
“Kami akan menanganinya, Nona.”
Anna menatap wajah pria itu sekali lagi—pucat, dingin, tak bergerak.
Apakah ia masih punya waktu?
Matanya berkabut oleh air mata saat ia perlahan melepaskan genggamannya. Dan untuk pertama kalinya, ketakutan itu berubah menjadi sesuatu yang lebih dalam—ingin mati jika pria itu mati.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Fashion House bukan sama dengan Rumah Mode dalam bahasa?