“Pastikan kau sembuh. Aku tidak menikahimu untuk jadi patung di rumah ini. Mulailah terapi. Atau…” Edward menunduk, berbisik di telinganya, “...aku pastikan kau tetap di kamar ini. Terikat. Tanpa busana. Menontonku bercinta dengan wanita lain di tempat tidur kita.”
Laras gemetar, tapi matanya tak lagi takut. “Kau memang sejak awal… tak lebih dari monster.”
Edward menyeringai. “Dan kau adalah istri dari monster itu.”
Laras tahu, Edward tidak pernah mencintainya. Tapi ia juga tahu, pria itu menyimpan rahasia yang lebih gelap dari amarahnya. Ia dinikahi bukan untuk dicintai, tapi untuk dihancurkan perlahan.
Dan yang lebih menyakitkan? Cinta sejatinya, Bayu, mungkin adalah korban dari semua ini.
Konflik, luka batin, dan rahasia yang akan terbuka satu per satu.
Siap masuk ke kisah pernikahan penuh luka, cinta, dan akhir yang tak terduga?
Yuk, baca sekarang: "Dinikahi Untuk Dibenci"!
(Happy ending. Dijamin!)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 𝕯𝖍𝖆𝖓𝖆𝖆𝟕𝟐𝟒, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
28. Gugatan Cerai
"Sampai suatu hari... " Pak Dudi menghela napas berat sebelum akhirnya melanjutkan. "...orang tuamu mengalami kecelakaan."
Pak Dudi menghentikan ceritanya sejenak. Matanya menerawang jauh.
"Sebelum meninggal di rumah sakit... mereka memutuskan menitipkan kamu pada Darma dan Wati. Mereka lihat sendiri betapa sayangnya Wati sama kamu. Dan... karena Bapak sudah punya tiga anak, mereka merasa kamu akan lebih terurus kalau tinggal sama Darma. Apalagi waktu itu Darma dan Wati memang belum dikaruniai anak, dan kebetulan Darma juga kerja di pabrik milik orang tuamu. Sedangkan Bapak cuma pedagang kecil di pasar... nggak ngerti apa-apa soal ngurus pabrik."
Pak Dudi terdiam sebentar, membiarkan kata-katanya meresap dalam hati Laras yang remuk.
"Setelah itu, Bapak dengar Wati hamil... Waktu kamu berumur empat tahun. Bapak sendiri nggak tahu banyak setelah itu... Karena Bapak harus pindah ke kampung ini. Orang tua Bapak sakit, dan Bapak anak satu-satunya. Bapak nggak bisa bawa mereka ke kota."
Ia menghela napas panjang. "Sejak itu, Bapak nggak pernah ketemu Darma dan Wati lagi."
Keheningan menggantung di antara mereka.
"Mereka meninggalkan kamu, Nak... Tapi bukan dengan tangan kosong. Rumah besar dan pabrik konveksi dengan lima ratus pekerja... semua itu warisan dari mereka. Mereka ingin kamu hidup terjamin."
Laras menutup mulutnya, mencoba menahan isak yang mendesak keluar dari dadanya. Perasaannya campur aduk—marah, sedih, terluka, bahkan sedikit bersyukur. Ia tak tahu rasa mana yang seharusnya ia pilih.
Perlahan, ia memejamkan mata, suara gemetar keluar dari bibirnya.
"Pabrik itu... rumah itu... semua milik orang tuaku...? Bukan Darma, bukan Wati...? Mereka... sudah menjual semuanya."
Kilasan masa lalu menyeruak di benaknya. Laras ingat betul, saat ia duduk di bangku SMP, Darma menjual pabrik itu.
Pabrik yang ia kira milik Darma.
Pabrik yang bangkrut perlahan di tangan orang yang ia panggil 'Ayah' selama ini.
Pak Dudi tampak terkejut. Ia menggeleng perlahan, menunjukkan bahwa ia sama sekali tidak tahu tentang penjualan itu.
Laras membuka matanya. Dunia di sekelilingnya terasa berubah—udara menjadi lebih berat, cahaya lebih redup, suara-suara di luar terdengar seperti ejekan halus.
Segalanya... seolah menertawakan kebodohannya selama ini.
"Aku... Aku cuma titipan," gumam Laras lirih.
Pak Dudi menatap Laras dengan penuh iba. "Bukan titipan, Nak... Kamu adalah amanah. Orang tuamu percaya bahwa kamu akan disayangi."
Laras tersenyum pahit, hatinya bergetar. "Disayangi? Jika memang disayangi... mengapa mereka tega memperlakukanku seperti ini?" batinnya menjerit dalam kesedihan.
Suasana hening sejenak, hingga akhirnya Laras menatap Pak Dudi dengan penuh harap. "Bisakah Bapak memberitahuku nama kedua orang tuaku dan tempat mereka dimakamkan?"
Pak Dudi mengangguk, wajahnya menunjukkan rasa empati yang mendalam. "Tentu saja." Ia mengambil selembar kertas dan pena, lalu mulai menuliskan nama kedua orang tua Laras beserta alamat tempat mereka dimakamkan.
Laras menerima kertas itu dengan tangan yang bergetar, matanya berkaca-kaca saat membaca informasi yang selama ini ia cari.
Dengan perlahan, ia berdiri dan merapikan tasnya, berusaha menahan emosi yang menggelora di dalam hati.
"Terima kasih, Pak Dudi... atas kejujuran Bapak," ucapnya, suaranya bergetar namun penuh rasa syukur.
Pak Dudi bangkit, memegang lengan Laras lembut. "Maafkan mereka, Nak... Hidup memang kadang nggak adil. Tapi kamu masih bisa memilih jalurmu sendiri."
Laras mengangguk pelan, meski dadanya terasa sesak.
Ia berjalan meninggalkan rumah itu, menembus angin sore, membawa luka baru yang belum sempat sembuh, tapi juga membawa satu tekad baru.
"Mulai sekarang... aku akan hidup untuk diriku sendiri."
"Mereka nggak akan bisa lagi memanfaatkan, apalagi menindasku."
Langkah Laras mantap, meski air mata mengalir diam-diam di pipinya yang dingin diterpa angin.
***
Sekretaris Edward melangkah masuk ke ruangannya dengan ekspresi kaku, seolah-olah ia tahu badai besar sedang menanti.
"Ada apa?" suara Edward datar memecah keheningan.
Dengan gugup, sekretaris itu menjawab, "Ada surat gugatan cerai dari Nyonya Laras."
Mendengar nama itu, wajah Edward langsung mengeras. Seolah petir menyambar jiwanya.
"Beraninya dia..." gumamnya, suara bergetar menahan amarah yang hampir meledak.
"Dia pikir bisa lepas dariku semudah itu?"
Tatapan Edward menajam, menusuk sekretarisnya.
"Siapkan pengacara terbaik. Aku tidak peduli caranya, aku tidak akan membiarkan dia pergi. Jika kau gagal..." Edward mendekat, suaranya menurun penuh ancaman, "...gajimu akan jadi taruhannya."
"Baik, Tuan," jawab sekretarisnya menunduk, lalu buru-buru keluar dari ruangan itu.
Dalam hati, ia mendesah,
"Sial, istrinya yang gugat cerai, kenapa aku yang kena ancam?"
***
Begitu pulang, Edward langsung mencari Laras. Langkahnya cepat, penuh kemarahan yang membara. Bayangan wajah Laras, surat cerai itu, semua berkecamuk liar di pikirannya.
"Mana Laras?" tanyanya kepada salah satu pelayan dengan sorot mata membunuh.
Pelayan itu menjawab gugup, "Nyonya ada di dapur."
Edward bergegas ke sana, surat gugatan di tangannya diremas kuat-kuat hingga hampir robek.
Sherin yang kebetulan melihat Edward, diam-diam mengikutinya dari belakang.
"Kenapa dia kelihatan marah sekali?" gumamnya was-was.
Di dapur, Laras berdiri tenang di depan blender, mengaduk jus dengan santai, seolah dunia sedang baik-baik saja.
Melihat pemandangan itu, darah Edward semakin mendidih.
"Apa yang sebenarnya terjadi?" batin Sherin yang masih mengintai.
Dengan langkah berat penuh tekanan, Edward mendekat. Rahangnya mengeras, matanya membara.
"Laras!" teriaknya, suaranya menggema di seluruh dapur.
Tangan Laras terhenti sejenak. Tubuhnya refleks menegang, namun ia cepat menguasai diri.
Ia menoleh singkat ke arah Edward, lalu kembali mengaduk jusnya tanpa ekspresi.
"Dia sudah menerima surat gugatanku," batin Laras dingin.
Edward mendekat, wajahnya gelap penuh ancaman. Ia mengacungkan surat cerai itu ke hadapan Laras.
"Berani-beraninya kau menggugat cerai!"
Suara Edward berat, penuh kemarahan.
"Kau pikir aku akan membiarkanmu pergi begitu saja? Kalau kau terus melanjutkan ini... aku pastikan keluargamu hancur! Ayah dan ibumu akan hidup di jalanan! Dan adikmu... akan kubuat hidupnya seperti di neraka!"
Sherin di persembunyiannya bergidik ngeri.
"Kenapa dia bawa-bawa aku dan orang tuaku juga?" batinnya panik.
Namun Laras... hanya tersenyum kecil. Tanpa gentar.
"Silakan saja," ujarnya santai. "Aku tidak peduli kau mau membuat mereka jadi pengemis atau menyiksa Sherin."
Ia lalu duduk, mengambil gelas jusnya, dan meneguknya perlahan, seolah ancaman Edward hanyalah angin lalu.
Sherin mengepalkan tangan kuat-kuat di balik pilar tempatnya bersembunyi.
"Laras sialan!" geramnya dalam hati.
"Aku akan pastikan kau tetap jadi istriku... sampai kau berhenti bernapas!" geram Edward.
"Kau tidak punya pilihan, Laras! Tidak akan pernah!"
Dengan penuh emosi, ia membanting surat gugatan cerai itu ke atas meja. Kertas itu terhempas kasar, menandai puncak kemarahannya.
Edward berbalik dan berjalan keluar.
"Buktikan saja jika kau mampu," ujar Laras dengan nada santai, meskipun hatinya bergetar oleh ketegangan.
Di dalam jiwanya, Laras menyadari bahwa pertempuran ini baru saja dimulai. Ia tidak akan menyerah begitu saja untuk melawan monster yang telah mengikatnya dengan cara yang paling kejam. Dengan tekad yang membara, ia bersiap menghadapi segala rintangan yang akan datang, bertekad untuk merebut kembali kebebasannya.
Edward yang baru berjalan beberapa langkah langsung berhenti.
Sherin memeluk tubuhnya sendiri ketakutan melihat perubahan wajah Edward yang makin buas.
"Kau menantangku!" bentaknya, berbalik menghadapi Laras lagi. Rahangnya mengeras, giginya bergemeretak, tangannya terkepal hingga buku-buku jarinya memutih.
Laras, dengan tenang, mendongak dan menatap tajam ke arahnya.
"Kalau iya, kau mau apa?" tantangnya dingin.
Tak ada rasa takut di wajah Laras. Tak ada keraguan. Sejak tahu dirinya sendirian di dunia ini, Laras sudah membunuh ketakutannya sendiri.
"Aku akan memberimu pelajaran!"
Edward melangkah cepat menghampirinya.
Sherin di balik pilar menahan napas, ngeri membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya.
...🍁💦🍁...
.
To be continued
pantesan dicari sampe lubang semut gk ketemu ternyata ganti identitas🤔
selidiki dulu siapa Laras sebenarnya jangan kamu membenci tanpa mengenalnya,Laras itu baik sudah rela berkorban demi anakmu waktu koma, seharusnya kamu membalas semua kebaikannya bukan malah membencinya
Sherin, darma & istrinya semoga dapat ganjaran setimpal.