Galuh yang baru saja diterima di universitas impiannya harus menerima kenyataan bahwa ia akan tinggal di kos campur karena kesalahan administratif. Tidak tanggung-tanggung, ia harus tinggal serumah dengan seorang senior wanita bernama Saras yang terkenal akan sikap misterius dan sulit didekati.
Awalnya, kehidupan serumah terasa canggung dan serba salah bagi Galuh. Saras yang dingin tak banyak bicara, sementara Galuh selalu penasaran dengan sisi lain dari Saras. Namun seiring waktu, perlahan-lahan jarak di antara mereka mulai memudar. Percakapan kecil di dapur, momen-momen kepergok saat bangun kesiangan, hingga kebersamaan dalam perjalanan ke kampus menjadi jembatan emosional yang tak terhindarkan.
Tapi, saat Galuh mulai merasa nyaman dan merasakan sesuatu lebih dari sekadar pertemanan, rahasia masa lalu Saras mulai terungkap satu per satu. Kedekatan mereka pun diuji antara masa lalu Saras yang kelam, rasa takut untuk percaya, dan batasan status mereka sebagai penghuni kos yang sama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irhamul Fikri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 23 Kenyataan yang Menyakitkan
Pagi itu udara kos terasa lebih dingin dari biasanya. Bukan karena cuaca, tetapi karena jarak yang kembali tercipta antara Galuh dan Saras. Sejak malam itu, setelah pembicaraan mereka yang menggantung, keduanya menjadi lebih pendiam. Bukan lagi canggung seperti awal pertemuan, melainkan ada sesuatu yang tidak terucap, seperti kabut tipis yang menghalangi pandangan.
Galuh membuka pintu kamarnya perlahan. Suara derit engsel menjadi satu-satunya bunyi yang terdengar di lorong sempit itu. Ia berjalan ke dapur dan mendapati Saras sudah duduk sambil menatap kosong secangkir teh yang mulai dingin.
"Pagi," ucap Galuh sambil mencoba tersenyum.
Saras hanya mengangguk, tak menoleh. "Pagi."
Hening kembali menyelimuti ruangan. Galuh mengambil segelas air, berdiri di dekat meja dan akhirnya memberanikan diri bicara.
"Saras... tentang semalam, aku—"
"Nggak usah dibahas," potong Saras cepat. Ia akhirnya menatap Galuh. Matanya terlihat lelah. "Aku cuma... butuh waktu."
Galuh mengangguk pelan. Ia tak ingin memaksa. Ia paham bahwa Saras sedang berjuang dengan pikirannya sendiri. Tapi di sisi lain, ia juga dilanda kebingungan. Apa sebenarnya yang sedang mereka jalani?
Sore harinya, saat Galuh sedang di taman kampus membaca buku, ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari nomor tak dikenal.
> Kamu cowok yang tinggal bareng Saras, kan? Kita harus bicara. Penting.
Galuh mengernyit. "Siapa ini?" balasnya.
> Namaku Vina. Aku adik kelasnya Saras waktu SMA. Ini soal Rangga. Hati-hati, dia nggak sepolos yang kamu pikir.
Membaca pesan itu, Galuh langsung merasa dadanya sesak. Ia tidak tahu siapa Vina, tapi peringatan itu membuat pikirannya langsung terlempar ke kejadian tempo hari. Saat Saras tiba-tiba berubah sikap, dan Rangga yang muncul kembali dalam hidup Saras seperti bayangan dari masa lalu.
Galuh menatap layar ponselnya beberapa saat, lalu mengetik balasan.
> Aku di taman kampus sekarang. Kalau kamu bisa ke sini, kita bicara.
Tak lama kemudian, seorang gadis berambut sebahu, mengenakan jaket denim dan celana hitam, menghampiri Galuh. Wajahnya tegas, tapi terlihat gelisah.
"Galuh? Aku Vina."
Galuh berdiri dan menjabat tangannya. Mereka duduk di bangku panjang, sedikit menjauh dari keramaian.
"Kamu bilang ini soal Rangga? Apa maksudnya?"
Vina menghela napas. "Aku tahu kamu pasti nggak suka denger ini. Tapi Rangga... dia bukan orang yang baik. Waktu SMA dulu, Saras pernah pacaran sama dia. Awalnya manis, perhatian. Tapi lama-lama... dia mulai kasar. Saras berubah sejak itu. Jadi tertutup, sering nangis diam-diam."
Galuh mengatupkan rahangnya. Ia bisa membayangkan betapa menyakitkannya semua itu bagi Saras.
"Dan sekarang dia datang lagi, seolah-olah nggak ada apa-apa?" gumam Galuh marah.
"Iya. Aku tahu Saras pasti nggak cerita apa-apa. Tapi aku nggak mau dia terluka lagi. Kamu harus jagain dia, Galuh."
Galuh menatap Vina dalam-dalam. Ada tekad yang muncul dari sorot matanya.
"Aku janji. Selama aku di sini, Rangga nggak akan bisa ngelakuin hal yang sama lagi."
Sepulang dari taman, Galuh langsung mencari Saras. Ia menemukannya sedang duduk di balkon, membaca novel. Tatapan mereka bertemu sejenak sebelum Saras kembali memalingkan wajahnya.
"Saras, kita harus bicara."
Saras meletakkan bukunya. "Tentang apa?"
"Tentang Rangga. Tentang masa lalu kamu. Aku tahu semuanya nggak gampang, tapi aku nggak bisa pura-pura nggak tahu. Aku ketemu Vina."
Wajah Saras langsung memucat. "Kamu... kamu ngomong sama Vina?"
"Dia yang datang ke aku. Dia cerita semuanya. Aku ngerti sekarang kenapa kamu berubah setelah ketemu Rangga lagi. Dan aku cuma mau bilang satu hal, Saras... kamu nggak sendirian."
Saras terdiam. Matanya mulai berkaca-kaca.
"Aku takut, Galuh. Takut semua ini bakal ngulang lagi. Takut kalau dia... menyakitiku lagi."
Galuh mendekat, duduk di sampingnya. "Kalau kamu izinkan, aku bakal jagain kamu. Rangga nggak akan punya kesempatan lagi. Tapi kamu juga harus jujur. Jangan simpan semuanya sendiri."
Air mata Saras akhirnya tumpah. Ia menyandarkan kepalanya ke bahu Galuh, membiarkan dirinya lemah sejenak.
"Terima kasih, Galuh. Aku nggak tahu gimana bisa nemu orang kayak kamu."
Galuh menggenggam tangan Saras erat. Dalam hati, ia bersumpah tidak akan membiarkan masa lalu Saras kembali menghancurkannya. Ini bukan lagi tentang ketertarikan semata. Ini tentang perasaan yang tumbuh pelan-pelan, dan keberanian untuk mencintai seseorang dengan segala luka yang mereka bawa.
Dan malam itu, untuk pertama kalinya sejak lama, Saras tidur dengan perasaan sedikit lebih tenang.