Original Story by : Chiknuggies (Hak cipta dilindungi undang-undang)
Aku pernah menemukan cinta sejati, hanya saja . . . Arta, (pria yang aku kenal saat itu) memutuskan untuk menjalin kasih dengan wanita lain.
Beberapa hari yang lalu dia kembali kepadaku, datang bersama kenangan yang aku tahu bahwa, itu adalah kenangan pahit.
Sungguh lucu memang, mengetahui Arta dengan sadarnya, mempermainkan hatiku naik dan turun. Dia datang ketika aku berjuang keras untuk melupakannya.
Bak layangan yang asyik dikendalikan, membuat aku saat ini tenggelam dalam dilema.
Hati ini. . . sulit menterjemahkan Arta sebagai, kerinduan atau tanda bahaya.
°°°°°°
Airin, wanita dengan senyuman yang menyembunyikan luka. Setiap cinta yang ia beri, berakhir dengan pengkhianatan.
Dalam kesendirian, ia mencari kekuatan untuk bangkit, berharap suatu hari menemukan cinta yang setia. Namun, di setiap malam yang sunyi, kenangan pahit kembali menghantui. Hatinya yang rapuh terus berjuang melawan bayang masalalu
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chiknuggies, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Prolog
...-.Bagiku, apapun yang kamu lakukan untukku akan menjadi obat penawar bagi pikiran yang menyakiti.-...
^^^Chiknuggies, 8 - Agustus - 2015^^^
Bukankah pergi darimu akan membuat semua lebih indah? Tetapi entah kenapa, dengan segala yang membuatku tetap utuh, begitu mudahnya itu semua, kuberikan kepadamu.
Dibinari temaram lampu kota, terlantun indah derung mesin kendaraan yang lalu-lalang menemaniku. Tepat di gang sempit dengan aroma basah saluran air, kulihat tikus hilir mudik mencari makan melintasi jalan melewati ku.
Di bawah remang lampu restoran kota, kulihat lusuh nya botol bir, kian lelah ditenggak seniman mural jalanan ibukota, yang membuat mereka tenggelam lebih jauh ke dalam buih irama dansa.
Nyiur melambai rindang tanaman palm, berbaris menaungi langkah demi langkah ku yang tertunduk lesu mengarungi padatnya lintas ibu kota. Tidak perlu khawatir dengan batinku, aku hanya sedang berlinang di bawah semerawut bintang bersama awan.
Apa yang membuatmu rela melepas ku?Padahal tangan ini tidak pernah yakin untuk melepasmu. Ketika kepergianmu pun tangan yang sama akan tetap terbuka, menunggu sambut dari telapak yang aku ragu akan kembali.
Dengan berbekalkan earphone yang melekat ditelinga, ku putar musik dengan suara keras, dan terlantun lirik yang terucap lirih,
*I quite understand that, even your kindness. I understand it, that's why "...let go of this hand." I'm glad I've met you.*
sebut lirik yang asyik menertawakan keadaan ku.
Dingin malam yang menusuk, membiaskan semburat cahaya malam, seolah terlihat menjadi tabir pada tujuan di hadapanku ini, rumah yang sama tetapi terasa lebih luas tanpa kehadiran dia di dalamnya.
Arta, mantan pacarku. Mengingat selumbari ia datang membawa perasaan yang berbeda dan sangat menunjukan jiwa angkuhnya kepadaku, kurasakan ia bak orang lain di hadapan ku.
Semua manja yang ku hadirkan untuknya, tidak lagi ditanggapi hangat lagi seperti dulu. Aku asik sendiri dibuatnya, serba salah mencari topik terbaik, sembari berayun pada lengan kekar yang biasa melindungi ku itu. Tetapi tetap sama saja, tidak ada hasil yang menemui semua jerih payahku.
Kubiarkan angin malam menarik waktu dengan saling membuang wajah satu sama lain, kuharap ia paham dengan rajuk ku yang tidak payah ini. Meski tengah bersebelahan, aku merindu sosoknya yang ahli merayuku terutama disat-saat seperti ini. Hanya saja, semakin lama, kami malah semakin terjebak dalam kebisuan yang tak kunjung mereda.
Hingga pukul 12 tepat tengah malam, ketika Cinderella tengah berlari mencari waktu demi melarikan diri dari pangeran. Arta juga pergi membawa sejuta tanya yang tidak terjawab, mengenai apa yang membuatnya seacuh itu.
Kini sudah sepekan dari malam itu, dan telah lama pula aku melupakan perasaan ini, rasa yang pekat dalam keraguan mengenai jalan mana yang harus kupilih, tetap bertahan dengan prinsipku, atau menyerah kepada riuhnya hubungan kami.
Gawai (smart phone) sudah tidak lagi menghibur, tatkala layar tidak menampakkan basa-basi nya dalam kotak pesan seperti biasa. Meski dahulu percakapan kami tidak memiliki arah dan tujuan yang jelas, tetapi tiap untaian kata yang keluar dari mulut juga belaian jari-jemarinya, selalu dapat membunuh waktu, saat dia ada di sisiku.
Aku masih mengingat jelas disaat kami pergi memadu kasih ke atas gunung. Aku yang amatir, merasa kelelahan dan tidak sanggup untuk menaklukkan trek terjal lintas pegunungan. Kelelahan, membuatku penuh amarah, dan segera meminta untuk menghentikan perjalanan kami, lalu segera pulang saja.
Namun, ... Dia hanya tersenyum menungguku selesai memburu nafas, karena lelah di paksa tujuan yang masih belum terlihat juga dimana garis akhirnya.
Di sampingku, tanpa keluh ia membakar sebatang tembakau putih, sembari menungguku selesai beristirahat. Dengan penuh perhatian dia adu pundak kami, untuk menawarkan bantuan kepadaku.
"Mau aku yang bawa?" Usul nya sembari melirik ransel tinggi di punggungku, bermaksud ingin membawa seluruh barang bawaanku di pundaknya. Padahal aku lihat jelas, kalau peralatan kami sudah sepenuhnya ia bawa sendiri. Saat itu dia begitu damai menanggapi ku, yang terus mengeluh terhadap pilihannya untuk bermadu menginjak awan.
"Aku nggak suka kamu paksa buat naik setinggi ini!" Bentak ku, sembari menahan tangis menyalahi nya.
Ia memilih cengengesan menatapku, seperti sedang menangani anak kecil yang jauh dari ibunya. Meski saat itu aku kesal bukan kepalang, tetapi kini, aku dapat menyebut kenangan itu sebagai potongan manis dalam hubungan kami berdua.
°°°°°
Bila aku adalah buku dengan sampul kesedihan, maka jadilah aku sebagai kamus, yang jelas mengartikan rasa sakit meski terpendam. Menunggu seseorang untuk datang dan membuka serta arti dari perasaanku.
Hanya saja, dia yang pernah aku biarkan menyibak raga ini lembar demi lembar, sudah tidak ingin lagi membaca isi dari perasaan ku. Matanya menjadi dingin ketika menatap ke arah tubuhku, dia yang dahulu lembut membelai ku, kini menjadi kasar seolah tidak ada lagi yang menarik untuk dilihat. Aku mencoba memeluknya dengan erat, tetapi dia selalu mengelak, memilih untuk duduk di sudut ranjang dan membakar rokok. Merk rokok sama, tetapi dengan nuansa yang berbeda.
Kata maki dari hati yang kecewa ini tidak lagi dapat aku tahan, ku amuk Arta sepuas hati, membiarkan nya mendengarkan seluruh ketidak nyamanan ku ketika bersama. Namun respon yang ia berikan hanya diam, lalu pergi melenggangkan kaki dari rumahku tanpa pamit seperti biasanya, sebelum dia pulang.
Di hari itu aku tidak tahu lagi mengenai kesialan apa yang kini tengah menimpa diriku. Dengan tanya yang tidak terjawab ini, ku lampiaskan amarahku kepada bayang nya dan berharap bila berteriak akan membuat sakit menjadi reda.
Lama menangis, kini aku hanya bisa tertawa renyah, melihat satu persatu lembar kenangan dari galeri, berisikan perjalanan yang kami arungi beberapa tahun ke belakang. Hingga akhirnya, aku tidak kuasa menahan kantuk, dan tertidur pulas memeluk kenangan.
Begitu bangun dari peraduan, aku memutuskan untuk menjawab rasa penasaran ini, untuk terakhir kalinya menuju rumah Arta dan meminta kejelasan.
Bersamaan dengan mentari yang kian menyingsing, ku kenakan pakaian terbaikku dan menaiki kendaraan umum untuk menyambangi rumah Arta. Dalam perjalanan menuju rumahnya, sesekali tangisku pecah tak tertahankan, mengingat perlakuan nya belakangan ini yang semakin keras bagi batinku. Tetapi aku masih saja perduli terhadap nya yang semakin kasar kepadaku.
Dingin AC kendaraan yang mengantarkan ku ini, membuat tubuhku meringkuk sebab enggan meminta pak supir untuk menaikan suhu kabin. Sudah tidak ada waktu lagi untuk menanggapi tubuh yang menggigil hebat, karena hati tengah melumat habis rasa perduli ku terhadap diri sendiri.
Kacamata yang ku kenakan semakin basah menutupi pandangan ke layar gawai (smart phone). Dengan hanya fokus untuk terus menelpon Arta yang menolak semua panggilan dariku.
Merusuk canggung keadaan di sekitarku, mendengarkan derung mobil yang menambah jarak di antara kehadiranku dengan pak supir. Penuh ragu, ia sesekali meminta validasi, bertanya kemana jalan yang akan kuambil, sembari melirik kaca spion bagian dalam.
Di depan rumah Arta, tanpa mengetuk kubuka pintu rumahnya, dan menyaksikan kemesraan yang tengah terjalin antara dia dan orang yang sama sekali tidak pernah ku sapa.
Ada gadis lain bersama Arta, dan ia tidak pernah hadir sebelumnya dalam hidup kami.
Terlihat Arta menoleh, mengangkat rangkulannya pada gadis tersebut, sebelum akhirnya gadis itu sigap bangun dan menunduk keluar tanpa berbicara, dia terus berjalan melewati ku yang mematung di muka pintu.
"Ini apa-apaan Ta, ini semua maksudnya apa!?" Aku bergetar menahan suhu tubuh yang menurun drastis seiring dengan emosi yang melompat keluar dari kepala.
Dia hanya diam, sambil terus menggonta-ganti channel TV, mengacuhkan pertanyaan juga keberadaan ku yang berdiri tepat di belakangnya. Aku setengah berlari menghampiri Arta, lalu duduk bersimpuh di sebelahnya, sambil menggoncangkan kakinya demi meminta penjelasan.
Merengek pada keadaan yang memaksaku untuk menerima pemandangan yang aku lihat barusan. Tetapi dia hanya menatap ke televisi seolah tidak ingin diganggu.
°°°°°
Aku pernah menjadi andalan di hatimu, menjadi kanvas terbaik bagi setiap lukisanmu. Tetapi setelah engkau bosan melukis tinta pada tubuh ini, kini aku kau campakkan begitu saja.
Bukankah dahulu kalung ini adalah bukti, bahwa aku adalah lukisan karya terbaikmu? Sekarang, setelah aku melihat dunia secara berbeda, engkau memilih kanvas baru yang lebih muda dan lebih menarik untuk kau lukis.