Shinkai. Sosok lelaki berusia 25 tahun. Ia tinggal di sebuah rumah sewa yang terletak tepat di sebelah toko bunga tempat ia berada saat ini. Toko bunga itu sendiri merupakan milik dari seorang wanita single parent yang biasa dipanggil bu Dyn dan memiliki seorang anak laki-laki berusia 12 tahun. Adapun keponakannya, tinggal bersamanya yang seringkali diganggu oleh Shinkai itu bernama Aimee. Ia setahun lebih tua dibanding Shinkai. Karena bertetangga dan sering membantu bu Dyn. Shinkai sangat dekat dengan keluarga itu. Bahkan sudah seperti keluarga sendiri.
Novel ini memiliki genre action komedi yang memadukan adegan lucu yang bikin tertawa lepas, serta adegan seru yang menegangkan dari aksi para tokoh. Adapun part tertentu yang membuat air mata mengalir deras. Novel ini akan mengaduk perasaan pembaca karena ceritanya yang menarik.
Yuk, baca kisah lengkap Shinkai dengan aksi kerennya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chira Amaive, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 5
“Kak Shin,” panggil Neptune sambil mengucek matanya yang baru terbuka dari mimpi panjang.
Tampak Shinkai tengah merapikan posisi bunga-bunga sesuai jenisnya. Seharusnya ia tidak peduli akan hal itu. sebab baginya, selagi pelanggan mengetahui perbedaan jenis bunga dan mengetahui bunga apa yang diinginkan, maka tidak perlu lagi untuk dikelompokkan. Namun ia melakukannya atas ancaman Aimee. Pagi-pagi sekali, gadis itu menggedor pintu Shinkai yang biasanya bangun lebih pagi darinya. Baru saja Shinkai membuka pintu dengan sisa kantuk, ia langsung menarik pemuda itu untuk ke toko bunga karena ia akan menemani bu Dyn untuk pergi berobat. Aimee berpesan agar Shinkai merapikan dan mengelompokkan bunga-bunga tersebut.
“Apakah ibu dan kak Aimee masih lama?”
“Apakah ditemani diriku masih kurang bagimu, hah?”
“Jelas saja. kau tak bisa membuatkan sarapan untukku.”
“Beli saja makanan di seberang. Ibumu menitip uang di dekat ranjangmu.”
“Kata temanku, laki-laki dewasa jauh lebih pandai memasak ketika ia jarang menyentuh alat-alat dapur. Semakin jarang kau memasak, semakin jago pula kau memasak.” Neptune memberikan kode.
“Lalu?” tanya Shinkai, masih dengan kesibukannya merapikan pot-pot tanaman.
“Temanku itu mengatakan bahwa masakan ayahnya setelah ribuan tahun, ia pertama melakukannya. Rasanya seperti serpihan surga yang hanyut ke dunia.” Neptune menarik-narik pakaian Shinkai.
“Seberapa keriput dia?” Shinkai tertusuk duri sampai tanpa sengaja, ia mengenai wajah Neptune dengan sikunya.
Neptune mengaduh sejenak. Namun masih belum menyerah, “Ternyata, itulah mengapa ia hidup abadi. Jauh dibandingkan manusia biasa.”
“Bukankah ia memakannya setelah ribuan tahun?”
“Itu karena alam tahu, bahwa di masa yang akan datang. Ia akan memasak makanan paling enak sedunia.”
Hening. Shinkai terdiam. Fokus pada dirinya sendiri yang tampak bosan memindahkan pot-pot bunga sesuai jenis bunganya. Di sisi lain, Neptune mulai geram karena diabaikan.
Dhuakkk.
Tendangan keras menghantam betis Shinkai.
Shinkai bersiul tanpa rasa berdosa, “Apa itu tadi? Sepertinya ada seekor semut yang menghantam kakiku.
“KAK SHINKAI! BUATKAN AKU SARAPAN. AKU LAPAR. JANGAN PURA-PURA BODOH DAN MENGABAIKANKU. PANTAS SAJA HARI-HARIMU DIPENUHI TAI!”
Saat hendak menyudahi tingkah usilnya, Shinkai tersenyum penuh kepuasan. Ia paham betul bahwa Neptune bukannya tidak mau memakan makanan dari toko di seberang. Hanya saja, ia takut dengan pemilik toko makanan tersebut karena terkenal dengan kegalakannya.
“Permisi. Aku mau membeli ima tangkai bunga matahari yang sudah siap petik. Aku ingin mendekor kamar ibuku yang berulang tahun,” pinta seseorang yang merupakan pelanggan.
Seseorang yang nyaris membuat Neptune menjerit, namun Shinkai sigap menutup mulut anak itu. Pelanggan itu memiliki bekas luka cukup besar di wajahnya. Itu membuat Neptune ketakutan.
“Semuanya 25 Iro,” ucap Shinkai.
Pelanggan itu memberikan uang pas dan langsung berlalu.
Terasa seperti sesuatu yang lain ketika Shinkai hendak memasukkan uang itu ke laci. Sebuah kelopak bunga soka.
___ ___ ___
Tepat pada tengah malamnya, Taza bertamu ke rumah Shinkai. Bersama rambut kusut seperti sarang burung itu, sang tuan rumah mempersilakan tamunya masuk. Sekalipun setelah sempat mengomel karena ia sudah terdampar di alam mimpi.
“Beginikah caramu menyambut tamu? Kenapa tidak membawakanku minuman atau makana ringan?” tanya Taza.
Mata Shinkai yang masih setengah terbuka itu melirik tajam, “Siapa yang akan tulus menerima tamu pada jam kelelawar mencari makan, hah?”
“Aku ada niatan baik mengunjungimu malam ini.” Taza menyodorkan sebuah baju abu-abu pudar pada Shinkai. Wangi. Seperti habis diangkat dari jemuran sore tadi.
“Hah? Ini niat baikmu dengan membawakanku baju yang hampir terbuang karena kotoran ayam. Aku lebih suka kau membawakan buah pir milik tetanggamu itu.”
“Sudah kubilang itu mahoni.”
“Aku tidak butuh baju rombeng ini. Lelang saja. aku ikhlaskan untukmu.”
“Tidak ada yang mau merekan 1 koin pun untuk baju dekil ini.”
“Lalu kenapa kau membawanya kembali?”
“Ya, entahlah. Aku hanya ingin melakukannya. Kasihan para pekerja kebun lebih jika harus bekerja sambil menanggung aroma tak sedap bajumu jika masih di dalam karung sampah.”
Rumah Shinkai termasuk penampilan yang rapi. Walaupun laki-laki, ia sangat bertanggungjawab dengan apa yang ia punya. Termasuk kerapian rumahnya. Semua tertata dan enak untuk dilihat. Bahkan bertolak belakang dengan kamar Aimee. Gadis itu tidak lebih rapi dibanding Shinkai.
Namun bulan tanpa sebab. Itu karna Aimee adalah seorang pekerja keras yang kreatif. Banyak dekorasi toko yang merupakan hasil karyanya. Bahkan ada banyak lukisan pada pot yang awalnya polos menjadi lebih unik. Itulah hobi Aime.
Kembali ke rumah Shinkai.
“Kau pernah bertemu Hoshi lagi?”
Demi mendengar nama itu disebut, Shinkai seketika melotot. Kantuknya raib. Tidak peduli lagi dengan mimpi indahnya yang sempat terjeda karena ulah Taza.
“Aku sudah membuang wajah orang sialan itu dalam ingatanku. Jadi, mungkin aku tidak menyadari jika pernah berpapasan dengannya. Atau mungkin dia pernah menjadi pelanggan di toko bu Dyn.”
Taza tertawa renyah. Suara lembutnya membersamai ketentraman malam. Pemuda itu memang memiliki suara merdu yang membius para pendengarnya.
“Padahal, dulu kau jauh lebih senang bersama dengan Hoshi daripada denganku.”
“Ya, sekarang aku tidak menyukai kalian berdua.”
“Wah, jahat sekali.”
Embusan angin mendekap kulit. Jendela terbuka lebar. Dengan tirai hitam yang menari-nari. Shinkai hendak beranjak untuk menutup jendela. Namun seketika embusan kedua yang lebih kencang menerpa. Sebuah kelopak bunga soka merah terbawa angin. Shinkai menelan ludah. Lantas lanjut menuju jendela dan menutupnya. Ia sempat melihat-lihat ke luar untuk memastikan apakah terlihat seseorang yang mencurigakan. Namun nihil.
“Baiklah, kau mau minum apa?” Shinkai menawarkan, demi menghalau pikiran tentang kelopak bunga soka tadi. Juga tadi pagi.
“Memangnya ada tuan rumah yang akan menawarkan minuman pada tamunya di tengah malam begini? Bagaimana jika aku ngompol?”
“Tetangga sebelah punya seorang lansia. Minta popok padanya,” ujar Shinkai sambil membungkus tubuhnya dengan selimut.
“Hei, aku juga mau.”
“Ambil di lemari. Aku tidak sudi satu selimut dengamu.”
“Apakah kau khawatir karena aku seorang lelaki dan orang lain akan melihat kita?”
“Tentu saja. mereka akan menganggap kita pemuda frustrasi karena terlambat menjalankan misi Jatah Berlian Gadis Cantik.”
Kali ini keduanya terdiam sejenak.
Shinkai terjebak dalam pikirannya. Dua kali mendapati kelopak bunga soka. Sampai ia tidak menyadari bahwa Taza merebut selimut hangat darinya.
“Tragedi Darah Soka. Bukankah kau teringat pemberontakan itu karena satu kelopak kecil bunga tadi?” tanya Taza.
“Entahlah. Bunga kecil yang menyebalkan. Tadi pagi juga ada pelanggan yang membayar dengan menyelipkan bunga itu.”
“Mungkin itu terror dari para pecinta bunga soka. Mereka ingin tahu mengapa toko bu Dyn tidak menjual bunga soka.”
Bu Dyn tidak menjual bunga soka karena trauma. Sebab dalam tragedi darah soka itu. suaminya gugur. Sehingga, ia sudah tidak ingin lagi melihat bunga itu.
“Kau akan dibakar jika bu Dyn mendengar leluconmu.”
Beberapa detik yang hening sekali lagi.
“Di kebun lebah kala itu. Aku menemukan ini pada bajumu. Itulah mengapa aku mengembalikannya,” ucap Taza sambil memperlihatkan sebuah kelopak bunga soka yang telah layu dan kering.
“Tiga kali, ya?”
Taza mengangguk seraya menutup wajahnya dengan selimut milik Shinkai.
“SEJAK KAPAN SELIMUTKU ADA PADAMU?”