Raska dikenal sebagai pangeran sekolah, tampan, kaya, dan sempurna di mata dunia. Tak ada yang tahu, pendekatannya pada Elvara, gadis seratus kilo yang kerap diremehkan, berawal dari sebuah taruhan keji demi harta keluarga.
Namun kedekatan itu berubah menjadi ketertarikan yang berbahaya, mengguncang batas antara permainan dan perasaan.
Satu malam yang tak seharusnya terjadi mengikat mereka dalam pernikahan rahasia. Saat Raska mulai merasakan kenyamanan yang tak seharusnya ia miliki, kebenaran justru menghantam Elvara tanpa ampun. Ia pergi, membawa luka, harga diri, dan hati yang hancur.
Tahun berlalu. Elvara kembali sebagai wanita berbeda, langsing, cantik, memesona, dengan identitas baru yang sengaja disembunyikan. Raska tak mengenalinya, tapi tubuhnya mengingat, jantungnya bereaksi, dan hasrat lama kembali membara.
Mampukah Raska merebut kembali wanita yang pernah ia lukai?
Atau Elvara akan terus berlari dari cinta yang datang terlambat… namun tak pernah benar-benar pergi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
10. Versi yang Bertahan
Asep mengangkat ponsel. Senyumnya langsung melebar.
“Ini… Raska.”
Gayus mendongak. “Telepon?”
“Bukan.” Asep menyeringai. “Video call.”
"Yang bener?" tanya Vicky. ""Emang boleh?"
Belum sempat Gayus bereaksi, Asep sudah menekan tombol hijau.
“GAS!”
Layar menyala.
Dan—
“HOLY--” Asep hampir menjatuhkan ponsel.
Vicky refleks berdiri. “Buset.”
Di layar, Raska berdiri dengan kaus loreng tipis. Rambutnya dipotong sangat pendek, nyaris tanpa gaya. Kulitnya jauh lebih gelap, dan sorot matanya… tajam.
Bukan tajam mahasiswa, tapi tajam orang yang kelelahan dan tetap berdiri.
Keringat masih membasahi pelipisnya.
Gayus terdiam dua detik lebih lama dari biasanya. “…itu lo?”
Raska mengernyit. “Kenapa kalian kayak lihat hantu?”
Asep menepuk pahanya sendiri. “BRO. LU DULU PANGERAN SEKOLAH. SEKARANG KAYAK HABIS LONCAT DARI POSTER REKRUTMEN MILITER.”
Raska mendesah kecil. “Baru istirahat. Lima belas menit.”
Asep langsung mendekat ke layar. “BENTAR. BENTAR. DI SANA BISA VC?”
“Bisa,” jawab Raska singkat. “Kalau jam istirahat dan di tempat yang dibolehin.”
Asep menoleh ke Vicky, penuh kemenangan. “TUH KAN.”
Gayus mengangguk pelan. “Secara teknis, masuk akal.”
Asep menunjuk Gayus. “NIH. NIH. PERUSAK MOMEN.”
Ia menggeser ponselnya. “Gue pindahin ke laptop. Biar kelihatan jelas.”
Beberapa detik kemudian, wajah Raska memenuhi layar di tengah meja.
Vicky menyandarkan tangan di meja, menatap layar lebih saksama.
“Gue jujur ya, Ras,” katanya akhirnya. “Lo kelihatan… bukan anak yang sama.”
Raska tersenyum tipis. “Beda bagus atau beda mengkhawatirkan?”
“Beda kayak,” Asep menyela cepat, “kalau lo sekarang masuk restoran kita, karyawan bakal mikir lo mau sweeping.”
Gayus menambahkan datar, “Secara fisik, lo terlihat lebih padat. Massa otot meningkat.”
Asep melotot. “ITU PUJIAN, RAS. TERIMA AJA.”
Raska tertawa kecil. Suara yang sama, tapi nadanya lebih tenang. “Kalian gimana?”
Asep langsung tarik napas panjang. “CAPEK.”
“Detail,” pinta Raska.
“CAPEK FISIK, MENTAL, EMOSIONAL, SPIRITUAL,” Asep menghitung di jari.
“Karyawan ribut, supplier drama, kuliah jalan tapi otak kepisah dua, dan—”
Vicky memotong. “—tapi bisnis jalan.”
Asep mendengus. “Iya… untungnya jalan.”
Gayus menambahkan, “Keuangan stabil. Risiko terkontrol. Ekspansi ditunda sementara.”
Raska mengangguk. Matanya menyapu wajah mereka satu per satu. “Makasih.”
Hening sesaat.
Bukan hening canggung. Tapi hening yang penuh makna.
Asep menggaruk kepala. “Lo sendiri gimana?”
Raska menghela napas. “Keras.”
Asep nyengir. “Kelihatan.”
“Tapi perlu,” lanjut Raska. “Di sini gak ada yang peduli siapa gue dulu.”
Gayus mengangguk pelan. “Itu… sistem yang adil.”
Vicky tersenyum tipis. “Dan kejam.”
Raska melirik jam di pergelangan tangannya. “Gue harus balik.”
Asep refleks berseru, “EH—”
Raska tersenyum. “Jaga usaha itu.”
Asep menepuk dada. “Lo tenang. Gue ribut, tapi gue jaga.”
Vicky mengangkat gelas. “Kita di sini. Lo di sana. Sama-sama berantem sama hidup.”
Gayus menutup dengan satu kalimat pendek, “Kita tunggu lo pulang… dengan versi yang lebih utuh.”
Raska menatap mereka. Lama. Lalu mengangguk. “Gue percaya.”
Layar gelap.
Asep menatap laptop itu beberapa detik. “…anjir. Cepet amat.”
Vicky menghembuskan napas. “Dia berubah.”
Gayus menyandarkan tubuhnya. “Tapi tidak pergi.”
Asep duduk kembali, menatap makanannya yang sudah dingin. “Ya udah,” katanya pelan, lalu menyeringai.
“Kita juga gak boleh kalah.”
***
Nata dan Lisa telah duduk di meja makan.
Pandangan Nata melirik kursi kosong di seberangnya, kursi yang biasa diduduki Roy.
“Ke mana anak itu?” tanyanya tanpa menoleh.
Lisa ikut melirik sekilas. “Mungkin masih di kamar. Biar aku suruh pelayan memanggilnya.”
Ia melambaikan tangan. “Panggilkan Tuan Muda,” ujarnya refleks.
Pelayan itu mengangguk cepat. “Baik, Nyo—”
“Tidak usah,” potong Nata dingin. “Jangan panggil nyonya. Panggil saja Bu.”
Pelayan itu tampak gugup. “Baik, Pak,” katanya, lalu segera berlalu.
Tatapan Nata beralih ke Lisa. Datar, namun menekan.
“Dan kau,” ucapnya pelan, “sudah berapa kali kubilang. Jangan biasakan memanggil Roy tuan muda.”
Lisa terdiam.
“Anak yang belum tahu tanggung jawab,” lanjut Nata, “tidak pantas dimanjakan dengan sebutan itu.”
Ia berhenti sejenak, lalu menambahkan tanpa emosi,
“Dan wanita yang hidup dari hasil kerja suami, juga tidak perlu dipanggil nyonya.”
Tangan Lisa mengepal di atas meja. Wajahnya tetap tertunduk. Tapi hatinya,
"Mulut tua bangka ini… sejak kapan jadi setajam ini?
Kalau bukan karena hartanya, apa aku masih duduk di sini?"
Nata sudah kembali pada ponselnya, jemarinya bergerak seolah percakapan barusan tak pernah ada.
Nata 💬
Apa sudah ada kabar tentang Elvara?
Di layar, tanda mengetik muncul. Beberapa detik kemudian, balasan masuk.
Detektif 💬
Belum, Pak. Ini janggal. Saya bahkan tak menemukan informasi apa pun, termasuk dari sekolahnya. Pihak sekolah menghindar saat saya menanyakan data siswi itu.
Nata terdiam membaca balasan itu. Matanya menyempit.
“Gadis ini tak sederhana," gumamnya dalam hati.
Ia mengetik satu baris singkat.
Nata 💬
Terus selidiki.
Tak lama, pelayan kembali.
“Bu… tuan muda—”
“Panggil saja nak,” potong Nata dingin.
Lisa berhenti mengangkat gelas. Jarinya mengeras di kaca dingin itu, seolah takut menjatuhkannya.
Pelayan itu terdiam setengah detik terlalu lama, lalu mengangguk cepat. “Nak Roy bilang masih mengerjakan tugas. Meminta Bapak dan Ibu makan dulu.”
Nata mengangguk singkat. Tidak lebih.
Pelayan itu segera pergi.
Lisa baru menyadari napasnya tertahan sejak tadi.
Nata meletakkan ponselnya, lalu mulai menyantap makan malam.
“Didik anak itu lebih baik,” katanya datar.
“Jangan sampai jadi anak durhaka.”
Lisa menggigit bibir.
“Atau kau lebih sibuk berkumpul dengan para sosialita itu,” lanjut Nata tenang, “daripada memastikan anakmu tahu batas?”
Lisa menunduk.
Bukan tanda patuh. Bukan pula tanda setuju. Hanya satu-satunya cara aman menyembunyikan amarah di dadanya.
Sejak mengetahui taruhan warisan antara Roy dan Raska, Nata yang biasanya tenang dan terkontrol, kini berubah.
Bukan menjadi pemarah. Melainkan lebih dingin. Lebih tajam.
Dan tak lagi menahan kekecewaan.
***
Di belahan bumi lain.
Elvara mendekati ibunya yang sedang menghitung uang hasil rumah makan kecil-kecilan yang mereka buka di tanah asing itu. "Rumah Makan Nusantara" itulah sumber penopang hidup mereka sekarang.
Untungnya, Elvara mendapat beasiswa. Kuliahnya tak terlalu menjadi beban.
“Ra,” panggil Elda sambil tersenyum, mengangkat beberapa lembar dolar di tangannya.
“Alhamdulillah, jualan Ibu laku. Berkat promosi kamu di internet, sama aplikasi itu, yang buat pesan makanan. Ah, pokoknya kalau begini, kita bisa bertahan di sini.”
Matanya berbinar memandangi uang kertas itu.
Elvara terdiam menatap ibunya.
"Kemarin Ibu syok setengah mati saat tahu aku dan Raska menikah karena kesalahan semalam. Dan lebih hancur lagi saat tahu aku dijadikan objek taruhan.
Kalau sekarang aku bilang ini…"
Elvara menarik napas pelan, lalu duduk di samping ibunya.
“Bu. Aku mau bicara penting.”
Suaranya pelan. Tangannya di pangkuan saling bertaut, gelisah.
Elda menoleh. Keningnya berkerut. Firasat tak enak merambat pelan.
“Ada apa?”
Elvara menunduk.
“Aku… hamil.”
DEG.
Jantung Elda seperti dipukul palu godam. Napasnya tercekat. Matanya melebar. Lembaran uang kertas di tangannya jatuh ke lantai tanpa terasa.
“R-Ra…” Lidah Elda kelu. Suaranya nyaris tak keluar.
Elvara semakin menunduk. “Maaf. Aku nggak bisa jaga diri. Aku ngecewain Ibu.”
Air matanya menetes satu-satu.
Elvara yang biasanya cuek level dewa, penuh percaya diri, kini tertunduk dengan wajah basah. Ini kali kedua hidupnya runtuh sejak Raska hadir dalam hidupnya.
Tanpa berkata apa pun, Elda memeluk putrinya.
Ia menahan air mata yang membuat pandangannya buram.
“Tak apa,” bisiknya lirih.
“Dia tidak berdosa. Kita akan merawat dan membesarkannya… dengan kasih sayang.”
Bibir Elda bergetar.
Hati-nyalah yang hancur, bukan pelukannya.
...🔸🔸🔸...
...“Tidak semua orang pergi untuk meninggalkan....
...Sebagian pergi agar tidak hancur.”...
...“Kepercayaan bukan ditinggalkan....
...Ia dirawat, atau dikhianati perlahan.”...
..."Nana 17 Oktober"...
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
Semangat Kak Nana, Up Babnya 🙏🙏🙏😁