NovelToon NovelToon
SAYAP PATAH MARIPOSA

SAYAP PATAH MARIPOSA

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Lari Saat Hamil
Popularitas:261
Nilai: 5
Nama Author: Essa Amalia Khairina

Seharusnya di bulan Juni, Arum tidak menampakkan dirinya demi mendapatkan kebahagiaan bersama seseorang yang di yakini bisa mengubah segala hidupnya menjadi lebih baik lagi. Nyatanya, sebelah sayapnya patah. Bukan lagi karena hujan yang terus mengguyurnya.

Sungguh, ia begitu tinggi untuk terbang, begitu jauh untuk menyentuhnya. Dan, begitu rapuh untuk memilikinya...

Langit.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Essa Amalia Khairina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

PERNYATAAN BERSYARAT

Langit menepikan mobilnya setelah jauh mereka meninggalkan sudut kota yang ramai. Jalanan kini lengang, sunyi, dan sejuk, diselimuti hamparan dataran hijau yang membentang di sisi kiri dan kanan, diwarnai pepohonan rindang yang menjulang dan tanaman-tanaman liar yang tertata alami. Angin membawa aroma segar daun dan tanah basah, menambah rasa damai yang menyelimuti suasana.

Setelah memasuki area sebuah taman, Langit memarkirkan mobilnya di tempat yang teduh, di bawah kanopi pohon besar yang daunnya bergoyang lembut diterpa angin. Arum kemudian menuruni mobil, langkahnya pelan, seolah menikmati setiap detik momen itu.

"Langit. Ini..." Gumam Arum, seketika pria itu berjalan mendekatinya.

Matanya membaur, menatap ke sekeliling taman yang luas. Bunga-bunga indah berwarna-warni tertata rapi di sepanjang jalan setapak, dari mawar merah dan putih yang mekar rapi, hingga lavender dan bunga liar yang menambah kesan alami. Pepohonan tinggi menebarkan keteduhan, daunnya saling bertautan seolah menciptakan langit-langit indah. Tak kalah dengan rumput hijau yang lembut menyelimuti tanah di antara bunga dan pohon, mereka berkilau diterpa sinar matahari yang menembus celah dedaunan.

"Kamu suka?" Tanya Langit mengejutkan.

Arum mengangguk tanpa suara. Sekejap, lebih tak bisa mengungkapkannya dengan kata-kata.

“Kita ke sana!” Ajak Langit, sambil menunjuk ke arah jalan setapak yang berliku di tengah taman. Jalan itu dibatasi bunga-bunga berwarna cerah di kedua sisinya, dari mawar merah yang mekar sempurna hingga bunga liar ungu dan kuning yang menambah kesan alami. Pepohonan tinggi menaungi jalan setapak, daunnya saling bertautan membentuk kanopi hijau yang meneduhkan, sementara sinar matahari menembus celah-celah daun, menari-nari di permukaan jalan berbatu halus itu.

Arum menatap jalan itu sejenak, senyum tipis tersungging di bibirnya sambil melangkah lebih dulu daripada Langit. Udara segar dan harum bunga menyambutnya, membuat langkah mereka terasa ringan dan menenangkan.

Sejauh mereka berjalan, pandangan mereka tertumbuk pada sebuah bangku taman kayu yang terletak di bawah pohon rindang. Bangku itu terlihat sederhana, namun kokoh, dengan permukaan kayu yang halus dan warna hangat alami, seolah mengundang siapa saja untuk duduk dan menikmati sekeliling.

Langit duduk lebih dulu, menyandarkan punggungnya dengan santai. Arum kemudian mengikuti, perlahan menempati sisi bangku di sebelahnya. Hingga, jarak di antara mereka cukup dekat untuk terasa semakin hangat.

Mereka menatap langit di atas bersama. Awalnya langit nampak biru cerah, kini perlahan memudar menjadi kelabu, awan-awan tipis bergerak pelan menutupi cahaya matahari yang lembut. Namun di antara suasana yang sejuk serta hening itu, tak menimbulkan rasa suram—justru menambah kedalaman ketenangan di taman ini.

“Wah…! Ada kupu-kupu!” Seru Arum, matanya berbinar saat jari telunjuknya menunjuk ke arah kupu-kupu yang menari-nari di udara. Sayapnya berwarna-warni, merah muda dengan corak merah muda dan titik-titik hitam yang indah, bergerak lincah di antara bunga-bunga di sekitar mereka.

Langit menoleh, mengikuti arah jari Arum, dan senyum tipis muncul di bibirnya. “Cantik, ya,” Katanya pelan, suaranya lembut seolah tak ingin mengusik kelincahan makhluk kecil itu.

Kupu-kupu itu berputar-putar, lalu hinggap sebentar di salah satu kelopak bunga. Tak lama kemudian, makhluk indah itu kembali melayang, menambah kesan hidup dan manis di taman yang tenang.

“Aku suka hewan satu ini… lebih dari hewan manapun yang aku tahu,” Ucap Arum, matanya masih terpaku mengikuti gerak kupu-kupu itu. Ada kilau kagum di matanya, campuran rasa ingin tahu dan senang yang tulus dan nyata.

Langit hanya menatap Arum dengan senyum tipis muncul di bibirnya.

"Bukan hanya bebas. Tapi, mereka indah..." Lanjut Arum. "... mereka mengingatkan aku tentang menikmati perjalanan, bukan hanya hasil akhirnya saja. Dan…" Bibirnya menarik senyum tipis. "... mereka selalu membawa warna, bahkan di tempat yang paling sunyi sekalipun.”

Langit menatap Arum lebih lama, matanya berbinar samar. Ada sesuatu dalam cara Arum melihat dunia—hal-hal kecil yang bagi orang lain biasa saja. "Arum?" Katanya pelan, namun berhasil gadis itu menoleh ke arahnya. "Bagaimana jika... kupu-kupu itu adalah kamu? Sosok yang aku kagumi, bahkan lebih dari itu."

Arum tersentak, Matanya melebar, tubuhnya kaku sesaat. Tergagap, ia menahan napas seolah tak percaya mendengar kata-kata itu. “Ka-kamu...” Suaranya hampir berbisik, hatinya berdebar kencang. Rasanya dunia di sekitarnya memudar dan hanya ada satu suara, yakni detak jantungnya dan tatapan Langit yang nyata.

Arum tertegun dan tertunduk sesaat, "Kenapa... harus aku?" Tanyanya.

"Karena entah apa yang membuatku merasakan sesuatu yang tak biasa, sejak kali pertama kita bertemu." Tandas Langit. Tanpa permisi, ia meraih punggung jemari Arum sambil mengusapnya lembut. "Aku... jatuh cinta sama kamu, Arum."

Pernyataan itu membuat mata Arum berbinar seketika. Ia tak percaya dengan apa yang didengarnya, seolah ada cahaya kecil baru saja dinyalakan di dalam dadanya. Ia terdiam, napasnya tertahan, dan seketika itu juga jantungnya berdetak begitu kencang hingga terasa memenuhi telinganya sendiri.

Sesungguhnya, di sepanjang hidupnya, sejak ia mulai mengenal masa remaja, ia tak pernah ada lelaki yang benar-benar datang mendekat—apalagi mengucapkan kalimat seperti itu padanya. Ia tumbuh dengan kesunyian yang akrab, belajar kuat dalam diam, menampung harapannya sendiri tanpa pernah tahu bagaimana rasanya menjadi pilihan.

Dan kini, Langit hadir. Sosok yang tak pernah ia duga, tak sempurna—namun justru terasa utuh. Hadir seperti penolong yang datang tanpa janji, menyelamatkannya dari rasa sepi yang selama ini ia pikul sendirian.

Dada Arum terasa hangat sekaligus sesak. Perasaan haru bercampur bahagia memenuhi hatinya, hingga air mata perlahan menggenang lalu menetes di pipinya. Ia tak segera menyekanya, membiarkan air mata itu jatuh sebagai saksi betapa dalam kata-kata Langit telah menyentuhnya.

"Hey, kenapa menangis?" Kata Langit sambil mengusap air mata itu dengan punggung jemarinya. "Apa... kalimatku, menyakitimu?"

Arum tertunduk sesaat, "Jujur, aku... aku tidak pernah mengenal apa itu jatuh cinta dan seperti apa rasanya." Liriknya bergetar. "Tapi... semenjak aku bertemu dan mengenalmu, ada perasaan yang membuat aku sudah lupa, semua tentang kamu. Bahkan, didekatmu sekarang... dadaku terasa sesak namun nyaman. Setelah aku sadar.... bahwa itu cinta."

Arum menelan saliva. "Tapi aku sadar diri siapa aku, dan kamu."

Langit tertelan.

Arum kemudian mengangkat wajah dan menatapnya dengan senyuman. "Aku gak pernah yakin untuk bisa memiliki kamu, Langit. Harapanku terlalu tinggi untuk mendapatkan kamu."

"Kamu salah." Tandas Langit cepat dengan gelengan tegas di kepalanya. "Aku yang justru terlalu mengharapkan kamu, seorang wanita yang sederhana dengan ketulusannya."

"Tapi, aku hanya..."

"Aku gak melihat kamu di balik itu semua, Arum." Potong Langit pelan. "Memang... semua begitu cepat, semua begitu singkat..."

Langit menarik napas, sejenak menoleh ke langit yang kian kelabu, lalu kembali menatap Arum. “... Tapi perasaan tidak selalu menunggu waktu yang lama untuk menjadi nyata. Kadang, ia tumbuh dari hal-hal kecil—cara kamu diam, cara kamu tersenyum, bahkan cara kamu memandang dunia tanpa banyak menuntut. Itu yang menjadikan aku mencintai kamu, Arum."

Arum menelan saliva, "Langit..."

"Mulai saat ini... aku ingin memilikimu, adalah kesempatan itu untukku?"

Pertanyaan itu menggantung di udara, berat namun jujur. Arum memejamkan mata sesaat, menarik napas dalam-dalam. Dadanya berdesir, hatinya penuh—takut, haru, dan bahagia bercampur jadi satu.

Perlahan ia membuka mata, menatap Langit dengan keberanian yang baru ia temukan hari ini. Air mata yang berhenti, kini membekas di sudut matanya, dengan senyum kecil yang mulai terukir di bibirnya. Detik berikutnya, ia mengangguk pelan, nyaris tak terlihat.

Langit kemudian tersenyum—senyum yang hangat dan lega. Tanpa kata tambahan, ia mengulurkan tangannya, Arum lalu menyambutnya. Di bawah langit yang kian kelabu, ada dua hati yang kini lama sunyi akhirnya menemukan tempat untuk pulang.

"Aku bisa lihat kebahagiaan kamu." Kata Langit kemudian. "Jelas saat aku mengajakmu jalan hari ini."

Arum menyeka wajahnya dan menoleh ke arah Langit. "Ma-maksud kamu?"

"Kamu tahu gak..." Ujar Langit, menatap Arum. "...kalau tadi... aku sempat ngintip kamu di jendela. Senyum kamu saat aku ajak kamu jalan."

"A-Apa?!" Tergagap Arum. Bola matanya membulat, sementara pipinya merona merah menelan rasa malu. "Langit, kamu..."

Langit terkekeh pelan, tawanya rendah dan hangat, seolah menikmati reaksi Arum yang begitu jujur. Ia menggeleng kecil, matanya memandang Arum dengan sorot yang lembut namun penuh godaan tipis. “Kenapa? Aku cuma jujur,” Ujarnya ringan

Arum menunduk cepat, jemarinya saling meremas di pangkuan. Jantungnya berdetak tak karuan, antara ingin menegur dan ingin tersenyum.

"Arum." Panggil Langit, menarik wajah Arum lagi. "Aku senang melihat kamu sebahagia tadi. Dan mulai sekarang... aku janji, aku akan selalu membuat kamu bahagia, bahkan sekecil apapun itu."

Mata Arum berbinar, "Langit..."

"Tapi..." Sela Langit memalingkan wajahnya menatap langit yang kelabu, namun belum memunculkan rintiknya.

"Ta-Tapi... apa?" Tanya Arum cemas.

"Ada satu syarat agar kamu selalu bahagia bersamaku,"

Arum mengangkat sebelah alisnya. "Sya-Syarat?" Ulangnya memastikan apa yang ia dengar—benarkah itu keluar dari mulut Langit?

Langit tersenyum, bukan tersenyum yang serius, tapi ringan—sedikit nakal, sedikit tenang. Ia mengangkat tangan, menyentuh ujung bahu Arum dengan lembut, tidak terlalu dekat, hanya cukup untuk membuat Arum merasakan kehangatan yang sama sekali bukan sekadar angin taman.

“Ya,” Jawab Langit, suaranya tetap rendah namun tegas, “Ada satu syarat.”

"A-Apa syaratnya?"

Langit sedikit condong, namun tetap menjaga jarak sopan, matanya tak lepas dari mata Arum. "Mulai sekarang... kamu harus panggil dengan sebutan Mas."

Ucapan itu meluncur begitu saja dari Langit, ringan namun penuh keyakinan.

Arum tersentak. Ada rasa kaget yang bercampur geli, membuat bahunya sedikit terangkat. Napas yang sejak tadi tertahan akhirnya keluar lega. Untuk sesaat ia bahkan hampir tertawa—ternyata bukan syarat yang menegangkan seperti yang ia bayangkan.

“Ma-mas?” Ulang Arum ragu, pipinya kembali memerah. Kata itu terasa asing di lidahnya, canggung namun entah kenapa hangat.

Langit mengangguk pelan, senyumnya melebar, jelas menikmati reaksi Arum.

Arum menarik napas kecil, lalu mencoba mengejanya dengan suara yang nyaris berbisik, “Ma-Mas… Langit?”

Langit tersenyum. "Ya, sayang?" Balasnya.

Ada jeda singkat setelah itu. Langit menatapnya, matanya berbinar puas, seolah panggilan sederhana itu sudah cukup untuk mengikat sesuatu yang baru di antara mereka. Dan Arum, di saat yang sama, menyadari—syarat dan panggilan itu bukan tentang sebutan semata, melainkan tentang kedekatan yang perlahan mulai mereka izinkan untuk tumbuh bersama.

****

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!