Dia mendengar kalimat yang menghancurkan hatinya dari balik pintu:
"Dia cuma teman tidur, jangan dibawa serius."
Selama tiga tahun, Karmel Agata percaya cintanya pada Renzi Jayawardhana – bosnya yang jenius dan playboy – adalah kisah nyata. Sampai suatu hari, kebenaran pahit terungkap. Bukan sekadar dikhianati, dia ternyata hanya salah satu dari koleksi wanita Renzi.
Dengan kecerdasan dan dendam membara, Karmel merancang kepergian sempurna.
Tapi Renzi bukan pria yang rela kehilangan.
Ketika Karmel kembali sebagai wanita karir sukses di perusahaan rival, Renzi bersumpah merebutnya kembali. Dengan uang, kekuasaan, dan rahasia-rahasia kelam yang ia simpan, Renzi siap menghancurkan semua yang Karmel bangun.
Sebuah pertarungan mematikan dimulai.
Di papan catur bisnis dan hati, siapa yang akan menang? Mantan sekretaris yang cerdas dan penuh dendam, atau bos jenius yang tak kenal kata "tidak"?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NonaLebah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 10
Renzi menyunggingkan senyum manis yang sempurna ke arah Nani. "Aku pengen ajak ibu ke Jeju Island," ujarnya dengan suara lembut yang dibuat-buat.
"Di mana itu, Renz?" tanya Nani, matanya berbinar penuh antusiasme.
"Ibu tinggal duduk manis aja di mobil. Abis sarapan kita jalan, ya," bujuk Renzi, seolah-olah ini adalah rencana spontan yang tulus.
"Wah, ibu nggak bisa pakai baju kayak gini," keluh Nani sambil melihat pakaian sederhananya.
"Renzi udah beliin ibu baju kok," jawabnya sambil menunjuk tumpukan tas belanja mewah di samping Nani. "Ibu pilih aja mana yang ibu suka."
Kemudian Renzi menoleh ke Karmel, senyumnya berubah menjadi lebih dalam, penuh arti. "Kamu bisa ikut kalau mau."
"Ikut ya, Mel," pinta Nani dengan wajah berharap. "Ibu pengen banget jalan-jalan mumpung di sini."
Karmel hanya bisa mengangguk pelan, mulutnya terkunci oleh berbagai emosi yang bertempur dalam dirinya.
"Kalau gitu ibu siap-siap dulu ya. Kalian tunggu sini," ujar Nani sebelum bergegas pergi dengan langkah girang.
---
Begitu Nani menghilang dari pandangan, Karmel langsung berbalik menghadap Renzi, matanya menyala-nyala.
"Mau apa kamu deketin ibu aku! Mau apa di sini!" desisnya, suara bergetar menahan amarah.
Renzi tak terburu-buru, menyelesaikan seteguk kopinya terlebih dahulu. "Aku cuma nggak sengaja aja ketemu ibu kamu di sini," jawabnya santai, seolah ini semua kebetulan belaka.
"Nggak sengaja tapi bisa beliin ibu barang-barang mewah?" sergah Karmel, tangannya mengepal di atas taplak meja yang putih bersih. "Aku tau sifat kamu, Renz!"
Wajah Renzi berubah, senyumnya menghilang. "Bagus kalau kamu tau," ucapnya, tatapannya menjadi tajam dan dingin.
"Jangan pikir aku akan nurut sama kamu lagi!" tegas Karmel, mencoba menunjukkan kekuatannya.
Tapi Renzi hanya menyunggingkan senyum sinis. "Kamu akan selalu nurut sama aku, Mel."
Dengan gerakan tenang yang penuh perhitungan, dia mengeluarkan ponselnya. Jarinya mengetuk layar beberapa kali, lalu memperlihatkannya pada Karmel. Tampak jelas gambar hasil USG dan dokumen rekam medis rahasia.
"Menurut kamu, kalau ibu kamu tau anak gadisnya sudah pernah hamil dan mengugurkan kandungannya beberapa kali," ucap Renzi dengan suara rendah penuh ancaman, "Apa tanggapan ibu kamu?" Dia sengaja berhenti sejenak, memastikan setiap kata meresap dalam. "Jantung dia akan baik-baik aja kan?"
Karmel membeku, wajahnya memucat dalam sekejap. Renzi tahu persis tentang penyakit jantung ibunya—dan dia menggunakan itu sebagai senjata pamungkas.
"Atau..." Renzi melanjutkan, senyumnya semakin lebar dan mengerikan, "Gimana rasanya aku sebar poto-poto kamu saat di ranjang." Tawanya pendek, dingin, dan penuh kemenangan.
Karmel gemetar, seluruh tubuhnya terasa lemas. Dia tahu Renzi benar-benar mampu melakukannya.
"Aku nggak takut sama ancaman kamu!" bantahnya, tapi suaranya bergetar tak terkontrol. "Kamu pikir aku nggak berani laporin kamu ke polisi?!"
Renzi mengeluarkan tawa pendek yang membuat darah Karmel berhenti mengalir. "Karmel... Karmel..." ujarnya, menggeleng-geleng seolah menertawakan kenaifannya. "Kamu lupa kalau uang bisa membungkam segalanya?"
Dan Karmel tahu itu benar. Dalam dunia yang mereka tinggali, uang, koneksi, dan kekuasaan yang dimiliki Renzi bisa dengan mudah membungkam segala perlawanan.
***
Pesawat Korean Air lepas landas dari Bandara Gimpo menuju Jeju Island. Dari jendela pesawat, Nani takjub melihat pemandangan laut biru dan gunung Hallasan yang perkasa. Renzi dengan cerdik telah menyusun segalanya - tiket business class, mobil pribadi yang sudah menunggu di bandara, dan pemandu wisata berbahasa Indonesia bernama Ms. Park.
Karmel duduk di antara Renzi dan ibunya, merasa terjebak. Setiap kali pesawat bergoyang, pundaknya tak sengaja bersentuhan dengan Renzi.
"Sorry," gumam Karmel dengan kesal.
"Tenang saja, nggak perlu minta maaf," jawab Renzi sambil sengaja mendekatkan wajahnya, napasnya hampir menyentuh telinga Karmel. Lalu tangan renzi mengelus paha karmel pelan.
Karmel mengatupkan bibirnya, menahan amarah.
Di Seongsan Ilchulbong (Sunrise Peak). Ms. Park dengan sabar mendampingi Nani yang bersemangat, sementara Renzi dan Karmel berjalan di belakang dengan suasana tegang.
"Lihat itu, Mel!" seru Nani sambil menunjuk kuda-kuda Jeju yang sedang merumput. "Lucu banget ya!"
Karmel hanya bisa memaksakan senyum. Dia berusaha menikmati pemandangan tapi sulit dengan kehadiran Renzi yang terus mengawasinya.
Renzi dengan licik memanfaatkan setiap kesempatan. Saat Nani asyik berfoto dengan pemandu, Renzi tiba-tiba menarik Karmel ke sudut tersembunyi di balik bebatuan.
"Apa sih?!" desis Karmel dengan marah.
Renzi tersenyum tipis. Dia mencoba mencium Karmel tapi Karmel buru-buru mendorong Renzi.
"Inget, Mel... Kapan aja aku bisa bongkar rahasia kamu." Renzi kembali menarik Karmel mendekat. Tangannya dengan sengaja menyentuh pinggang Karmel.
Karmel kembali mendorongnya kasar. "Jangan ancam aku!"
Mereka lalu mengunjungi Jeju Folk Village. Karmel berusaha menjaga jarak dari Renzi, tapi pria itu selalu berada di dekatnya.
Saat melewati rumah tradisional yang rendah, Renzi tiba-tiba menarik Karmel mendekat.
"Hati-hati kepala kamu," ujarnya sambil menahan Karmel yang nyaris terbentur balok kayu.
Karmel mendorongnya. "Jangan sentuh aku!"
Tapi tak lama kemudian, saat berjalan di antara bebatuan licin, nasib berkata lain. Karmel yang sedang emosi menginjak batu licin. Kakinya terpelintir dengan keras, disusul suara sendi yang berderak.
"Aduh!" teriaknya sambil terjatuh.
Dengan refleks cepat, Renzi segera mendekat dan tanpa basa-basi mengangkat Karmel dalam gendongannya. Tangan kanannya dengan sengaja menempatkan diri di bagian dada Karmel.
"Tangan kamu, Renz!" gerutu Karmel pelan, wajahnya memerah campur marah.
"Kenapa? Lagian aku udah sering pegang dan liat," jawab Renzi santai, senyum tipisnya tak tersembunyi.
Renzi lalu berpaling ke Ms. Park dan Nani yang tampak khawatir. "Tolong jaga ibu saya ya. Saya bawa Karmel ke klinik terdekat."
"Mel... Kamu bener nggak papa?" tanya Nani dengan suara panik.
"Aman, Bu. Renzi bawa Karmel dulu ke klinik. Ibu having fun aja. Ini cuma keseleo kok," ujar Renzi meyakinkan.