Sebelum lanjut membaca, boleh mampir di season 1 nya "Membawa Lari Benih Sang Mafia"
***
Malika, gadis polos berusia 19 tahun, tidak pernah membayangkan hidupnya akan berubah hanya dalam satu malam. Dijual oleh pamannya demi sejumlah uang, ia terpaksa memasuki kamar hotel milik mafia paling menakutkan di kota itu.
“Temukan gadis gila yang sudah berani menendang asetku!” perintah Alexander pada tangan kanannya.
Sejak malam itu, Alexander yang sudah memiliki tunangan justru terobsesi. Ia bersumpah akan mendapatkan Malika, meski harus menentang keluarganya dan bahkan seluruh dunia.
Akankah Alexander berhasil menemukan gadis itu ataukah justru gadis itu adalah kelemahan yang akan menghancurkan dirinya sendiri?
Dan sanggupkah Malika bertahan ketika ia menjadi incaran pria paling berbahaya di Milan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 10
Di Mansion Frederick, hanya ada satu aturan tak tertulis yang dijunjung tinggi semua orang, termasuk penghuninya, jangan pernah mencoba berdebat dengan Alexander Frederick.
Karena begitu pria itu membuka mulut, setiap katanya akan berubah menjadi pisau logika yang mampu membungkam siapa pun, termasuk adik kembarnya sendiri, Leana, si cerewet yang tak pernah menang jika berhadapan dengannya.
Pukul sembilan pagi, suasana ruang makan keluarga Frederick terasa hangat oleh aroma roti panggang renyah dan kopi hitam yang mengepul.
Di sisi meja panjang itu, Alex duduk dengan santai, menyilangkan kaki sembari menikmati sarapannya seakan waktu masih menunjukkan pukul tujuh.
Penampilan terlihat kasualnya, kaus t-shirt hitam dengan lengan yang memperlihatkan otot-ototnya, tetap memancarkan aura dominasi.
Leana berdiri di samping meja dengan wajah cemberut sedari tadi. Kedua tangannya bertolak pinggang, bibirnya manyun ke depan.
“Kak! Sudah jam sembilan! Kau lama sekali makan!” rengeknya.
Alex tidak menanggapi. Ia sengaja mengangkat cangkir kopinya, menyesap perlaha dan, menikmati rasa pahitnya. Setelah puas, ia meletakkannya kembali dengan elegan.
“Kakak!”
“Cukup Leana! Kau bicara seolah hidupku bergantung pada rengekanmu?” ujar Alex dengan tenang, tanpa sedikit pun emosi.
“Tapi, aku sudah terlambat kuliah! Kau yang tadi janji mau mengantarku, kan?” balas Leana.
Alex menatapnya datar. Tatapan yang selalu membuat siapa pun yang berhadapan dengannya merasa kecil dan tidak penting.
“Aku tidak pernah mengucapkan janji itu,” sahutnya. “Yang berjanji mengantarmu adalah kesalahpahaman di kepalamu sendiri.”
Leana terdiam. Mulutnya menganga lebar. “T-tapi kau tadi bilang lihat saja nanti!”
“Memang benar.” Alex mengangkat alis. “Dan kau menafsirkannya sebagai janji? Leana, tolong. Gunakan logika dasar. Lihat saja nanti tidak sama dengan aku akan mengantarmu.”
Leana terpaksa menelan ludah. Kalimat itu lagi-lagi membuatnya mati kutu. Alex memang jago membuat orang kehabisan kata-kata.
“Kenapa bicaramu selalu seperti buku hukum?” dengusnya pelan.
“Karena aku tidak berbicara menggunakan emosi sepertimu,” balas Alex tanpa menatapnya, menikmati sisa kopi.
Leana ingin protes, tapi lidahnya kelu. Ia hanya mengembungkan pipinya sambil mengepalkan tangan, berusaha menahan diri untuk tidak melempar kakaknya dengan sepotong roti panggang.
Alex berdiri, mengambil serbet, lalu mengelap sudut bibir.
“Paman!” panggilnya.
Jimmy masuk tak lama kemudian. “Ya, Tuan Muda?”
“Antar Leana ke kampus. Aku ingin beristirahat hari ini. Kepalaku masih belum sembuh karena ulahmu!” ucap Alex menatap sinis Jimmy.
“Apa yang kau maksud kepala atas dan bawah, Alex?” sahut Jimmy, membuat Alex melotot ke arahnya, namun tidak membantah.
“Sekarang, Paman!” seru Alex.
“Kenapa harus dia? Semalam dia sudah mempermalukanku di depan teman-temanku! Aku tidak mau!” protes Leana.
Alex menoleh dengan santai. “Masalahmu dengan Jimmy bukan masalahku. Tugasnya mengantarmu. Selesai.”
“Tapi aku mau kau yang mengantarku, Kak!”
“Dan aku,” Alex menunjuk dirinya dengan telunjuk, “tidak mau. Jadi keputusan siapa yang berlaku? Tentu saja keputusan orang yang membayar semua keperluanmu selama ini!”
Skakmat. Leana terkunci di tempat. Alex selalu menggunakan kartu finansial untuk mengakhiri perdebatan.
Alex berbalik dan berjalan menuju tangga sambil menambahkan, “Jika terlambat, jangan salahkan siapa pun. Kau yang memilih menghabiskan lima belas menit untuk merajuk daripada bersiap.”
Leana kembali bungkam melihat punggung Alex yang menghilang di balik tangga.
“Mau berangkat sekarang, Nona?” tanya Jimmy menahan tawa.
“Kau jangan tertawa!” ucap Leana mendelik ke arahnya.
“Siapa bilang saya tertawa?” Jimmy berdehem dan pura-pura serius.
Dengan langkah berat, Leana menuju pintu depan. Sembari menyambar tasnya, ia jelas kesal bukan main.
Saat hendak masuk ke mobil, Leana melihat seseorang di halaman depan. Seorang gadis kecil bertubuh mungil sedang menyiram bunga di area taman Mansion dengan senyum cerah di wajahnya.
Rambutnya dikuncir sederhana, pakaiannya rapi, dan gerak-geriknya lembut.
“Siapa gadis itu? Baru pertama kali aku melihatnya,” gumam Leana dengan alis terangkat.
“Dia keponakan Albert,” jawab Jimmy dari belakang.
Leana menoleh. “Aku tidak sedang berbicara denganmu!”
“Baik, Nona,” balas Jimmy mengangguk, tak tersinggung sama sekali.
Malika yang mendengar suara Leana menoleh sebentar, lalu tersenyum ramah.
“Selamat pagi. Hati-hati di jalan, ya. Hujannya mungkin turun lagi siang ini,” sapa Malika.
Ia masih belum tahu kalau gadis yang nampak seumuran dengannya ini adalah putri majikan Albert.
Leana terkejut. Gadis itu, berbicara padanya dengan sopan dan lembut. Tak ada ketakutan, tak ada kepura-puraan.
Leana membuka mulut hendak membalas, tapi suaranya tak keluar. Entah kenapa, senyum gadis itu membuatnya gagal melanjutkan kekesalannya akibat ulah sang kakak.
Malika kembali menyiram bunga sambil bersenandung kecil.
“Ayo cepat, Paman! Aku bisa terlambat!” ajak Leana, menarik Jimmy masuk ke mobil.
Saat mobil pergi, Leana menoleh ke belakang. Gadis itu masih sibuk menyiram bunga sambil mulutnya komat-kamit.
Dan untuk pertama kalinya pagi itu, amarah Leana menguap entah kemana.
*
*
Alex sedang membuka kancing kemejanya sambil melirik ke luar jendela. Dari sana, ia melihat Malika di taman.
Mata Alex menyipit. “Aneh, sejak kapan ada gadis kecil di halaman mansion? Apa dia pelayan baru?” gumamnya.
Lalu, Alex mengangkat bahu. Ia terlalu lelah untuk memikirkan hal lain.
“Nanti saja kutanya Albert. Sekarang aku butuh tidur.” Ia menjatuhkan diri ke kasur.
Tanpa Alex sadari, gadis yang baru saja ia lihat itu adalah gadis yang sama, yang sudah membuat pikirannya kacau semalaman dan yang kini bersembunyi di sarang singanya sendiri.
malika dan Leon cm korban😄🤣