Zona Khusus Dewasa
Adriel (28), sosok CEO yang dikenal dingin dan kejam. Dia tidak bisa melupakan mendiang istrinya bernama Drasha yang meninggal 10 tahun silam.
Ruby Rose (25), seorang wanita cantik yang bekerja sebagai jurnalis di media swasta ternama untuk menutupi identitas aslinya sebagai assassin.
Keduanya tidak sengaja bertemu saat Adriel ingin merayakan ulang tahun Drasha di sebuah sky lounge hotel.
Adriel terkejut melihat sosok Ruby Rose sangat mirip dengan Drasha. Wajah, aura bahkan iris honey amber khas mendiang istrinya ada pada wanita itu.
Ruby Rose tak kalah terkejut karena dia pertama kali merasakan debaran asing di dadanya saat berada di dekat Adriel.
Bagaimana kelanjutannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yita Alian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7 ACICD - Ruby Rose August
Di sebuah gedung pencakar langit, Adriel keluar dari ruangan meeting dengan rahang mengeras.
Bagaimana tidak?
Pagi-pagi dia mendapatkan laporan kalau salah satu karyawan berkhianat dan menjual data ke perusahaan pesaing. Dia marah karena timnya tidak becus untuk menangani hal tersebut.
Langkah Adriel cepat, Hougan sampai berlari semut mengikuti dari belakang saat menuju lift.
"Tiga orang dari pihak kepolisian sudah ada di ruangan, Pak," kata Hougan melaporkan.
Tidak ada jawaban dari Adriel, pria itu semakin mempercepat langkahnya.
Begitu tiba di ruangan kerja yang ada di salah satu lantai teratas, suara sepatu kulit Adriel bergema lembut di lantai.
Di dalam, tiga pria berseragam rapi telah duduk di sofa abu gelap, membelakangi pintu dan menghadap jendela tinggi, dari sana pemandangan kota menjuntai di bawah.
Ketiganya beranjak menegakkan punggung begitu mendengar langkah masuk.
"Selamat pagi, Pak Adriel," ujar Dirreskrimum Polda, diikuti oleh seorang Kasat Reskrim dan Kepala Detektif yang juga mengatakan hal yang sama.
"Selamat pagi, silakan duduk kembali," kata Adriel duduk di sofa single. "Bagaimana, apa ada kabar baik mengenai kasus penembakan mendiang istri saya?" tanyanya to the point.
Keheningan menggantung sejenak.
Dirreskrimum Polda saling bertukar lirikan dengan kedua pria di sebelahnya. Suara angin luar menembus celah ventilasi pendingin, sangat halus tapi cukup membuat atmosfer jadi tegang.
Dirreskrimum akhirnya menatap lurus pada Adriel.
"Sebelumnya kami minta maaf, Pak Adriel, kami datang sebenarnya untuk menyampaikan keputusan resmi institusi bahwa kasus penembakan mendiang Nona Drasha…" dia berhenti sejenak, menarik napas pelan, "…resmi ditutup, Pak Adriel."
Kasat Reskrim membuka map perlahan, seolah setiap gerakannya harus hati-hati.
"Per hari ini, setelah evaluasi ulang, unit memutuskan untuk… menutup kasus tersebut," sambung Dirreskrimum.
Cahaya dari luar memudar perlahan, menyisakan bayangan di wajah Adriel. Sang CEO itu kemudian menatap ketiga pria berseragam tersebut lama, matanya dingin menusuk, lanjut dia menoleh sedikit ke arah kaca besar.
"Ditutup? Setelah satu dekade. Tanpa perkembangan. Tanpa tersangka. Tanpa penjelasan?" ujarnya pelan, seperti gumaman.
"Lucu…" Adriel kembali menatap ketiga perwira itu.
Hening. Tiga pria tersebut seperti membeku.
Kasat Reskrim akhirnya buka suara meski dengan hati-hati. "Kami sudah memeriksa kembali semua kru IMPERIUM SHARIEL yang ikut berlayar bersama Anda dan Nona Drasha 10 tahun yang lalu, tapi tidak ada yang mencurigakan, potensi adanya kendaraan air lain di area superyatch Anda saat itu tidak ada sama sekali, juga tidak ada yang tampak mencurigakan sebelum IMPERIUM SHARIEL berlayar … kami juga bekerja sama dengan FBI mengenai peluru yang menyerang Nona Drasha, tapi mereka juga tidak menemukan petunjuk apa-apa. Kami sudah melakukan yang terbaik yang kami bisa, Pak, tapi semuanya bersih, tidak ada petunjuk baru."
"Jangan berani mengatakan kalau kalian melakukan yang terbaik jika kalian tidak bisa menemukan pelaku penembakan itu," sahut Adriel tanpa meninggikan suara, tapi itu cukup membuat ketiga pria itu menelan saliva berat.
Adriel mengembuskan napas kasar. Tim Keamanan keluarganya juga tidak mendapatkan perkembangan apa-apa selama 10 tahun ini, sekarang pihak kepolisian pun sama.
"Kami memahami ini berat bagi Bapak. Tapi secara prosedur… kasus ini masuk kategori cold case, dan –" ujar Dirreskrimum.
"Cold case tidak pernah ditutup. Kalian tahu itu," timpal Adriel.
Para polisi saling melirik. Dirreskrimum menata napas. Kasat Reskrim menundukkan kepala lebih dalam. Detektif tampak seperti ingin bicara, tapi tertahan.
"Maaf, Pak Adriel, kami juga sudah tidak punya pilihan lain," ujar Dirreskrimum. "Selain intruksi dari atasan, Tuan Riovandra selaku ayah dari mendiang Nona Drasha juga sudah setuju untuk menutup kasus itu."
Lirikan tajam Adriel langsung tertuju pada tiga perwira itu. "Apa? Papa mertua saya setuju?"
"Benar, Pak Adriel," sahut Kasat Reskrim.
Adriel berdiri dari kursinya. Langkahnya pelan, namun setiap gerakannya membuat tiga polisi itu menegang. Ia menatap langsung pada Dirreskrimum.
"Baik. Kalau institusi kalian sudah tidak mampu… saya akan urus sendiri."
Dirreskrimum buru-buru menegakkan tubuh.
"Pak Adriel, kami harap Bapak tidak mengambil tindakan –"
"Keluar!" titah Adriel.
Satu kata itu terdengar seperti palu godam. Para polisi langsung berdiri.
Sebelum pergi, si detektif akhirnya mengangkat wajah seperti ingin menyampaikan sesuatu tapi Dirreskrimum menatapnya tajam, sehingga dia kembali menunduk.
Sepulangnya ketiga perwira itu, Adriel duduk di kursi belakang meja kerja. Dia mengusap kepalan tangan kanannya. Kalau sudah papa mertuanya yang meminta kasus itu ditutup artinya Adriel sudah tidak bisa meminta bantuan pihak kepolisian lagi.
Adriel memang tidak bisa membantah Riovandra, papa mertuanya. Hubungan keduanya dingin sejak meninggalnya Drasha.
Adriel kemudian melirik ke arah bingkai foto yang menampilkan wajah cantik istrinya. "Aku nggak akan berhenti, sayang. Aku akan tetap mencari siapa yang menembak kamu dan membunuh dia dengan tangan aku sendiri," desisnya dingin.
Beberapa saat kemudian, Hougan masuk ke dalam ruangan Adriel dan berhenti di samping meja kerja atasannya. Di tangannya ada tablet yang ia pegang.
Adriel terlihat memijat pelipisnya dan membuka mata pelan.
"Kalau kamu mau melaporkan hal yang membuat kepala saya makin pusing, lebih baik kamu pergi sekarang juga, Hougan."
"Bukan, Pak, saya membawa kabar baik."
Adriel menurunkan tangannya dan meletakkannya di sandaran tangan kursi. "Apa itu?"
"Tim Aerox Esports divisi Warrior Legends akhirnya masuk grand final, Pak. Mereka juga sudah otomatis mengamankan tiket untuk ke W series."
Adriel terdiam sejenak. Ya, itu salah satu kabar baik tentunya dari tim esport miliknya, jadi perasaan kesal Adriel sedikit terobati. "Oke, saya akan ke GH malam ini untuk mengucapkan selamat dan mentraktir mereka. Sampaikan pada coach Viper."
Hougan tersenyum semangat. "Baik, Pak."
"Apa agenda saya selanjutnya?" tanya Adriel.
"Pukul 12 siang ini, Anda akan makan siang bersama Pak Kayrell dan Tuan Besar Tantowi di sky lounge lantai 72, Pak."
"Setelah itu, ada rapat tertutup bersama kepala divisi keamanan siber pukul 2 dan menghadiri presentasi divisi riset terkait pengujian final project Roos 1.8. pada pukul 3 sore ini, lalu di pukul 4 ada pertemuan dengan mitra dari Jepang, Pak."
"Oke, terima kasih, Hougan, silakan lanjut pekerjaan kamu."
Hougan masih berdiri di tempatnya. "Sebenarnya, saya masih punya satu laporan, Pak," kata lelaki muda itu.
"Apa?" sahut Adriel datar.
"Saya sudah mendapatkan informasi tentang wanita yang mencuri cake cokelat request Anda semalam, Pak."
"Setelah melihat fotonya, dia memang sangat mirip Nona Drasha, Pak, entah dia operasi plastik di mana bisa semirip itu dengan mendiang istri An–," Hougan spontan menutup rapat bibirnya begitu mendapatkan tatapan menusuk Adriel.
Hougan berdeham, "Anda bisa cek email, Pak, saya sudah mengirim informasi tentang wanita itu," cepat-cepat dia menunduk hormat, "saya permisi, Pak," lalu pergi dari ruangan dingin mencekam itu.
Sementara, Adriel meraih mouse di meja dan mengarahkan kursor di layar untuk membuka email masuk dari Hougan.
Beberapa detik kemudian, sebuah lembar berisi data informasi mengenai wanita misterius yang mirip Drasha muncul di layar monitor.
Seketika pandangan Adriel terpaku pada foto wanita itu. Lama. Bibirnya sedikit terbuka. Napasnya tertahan sekilas.
Sejak semalam, Adriel menekankan pada dirinya sendiri kalau wanita misterius yang tak sengaja menabraknya dan mengambil cake cokelat permintaannya itu pasti sama saja seperti wanita lain yang punya siasat licik mendekatinya.
Tapi, bagaimana bisa sebuah foto saja mampu membuatnya tidak berkutik seperti ini sekarang?
Tidak. Dia tidak boleh goyah.
Adriel kemudian meraih bingkai foto yang menampilkan wajah cantik Drasha di atas mejanya.
"Wanita itu berbeda, sepertinya dia sudah mencari tahu semua tentang kamu, sayang," Adriel mengusap permukaan kaca bingkai foto Drasha, "dia cerdik dan licik sampai bisa bikin aku terkecoh karena kemiripan kamu sama dia."
"Seperti biasa … aku akan membongkar kedok aslinya dan memberikan dia pelajaran, dia pikir dia bisa mendekati aku semudah itu?"
Adriel mengangkat pandangan, menatap tajam pada foto wanita misterius itu di layar.
"Oke … Ruby Rose August," tatapan Adriel dingin menusuk, "saya akan ikuti permainan kamu dan membuat kamu menyesal karena sudah berani main-main dengan saya."
Adriel kemudian meletakkan kembali foto Drasha dengan rapi pada posisi semula, lalu beranjak dari kursi dan melangkah cepat ke pintu ruangannya.
Begitu di luar, Adriel melangkah ke area transisi, ruangan luas bergaya minimalis tempat meja asisten pribadi dan sekretaris berada.
Meja sekretaris kosong karena memang pengganti Liliana belum dicari. Hanya ada Hougan di meja asisten. Lelaki itu berdiri menegakkan punggung ketika melihat Adriel.
"Ada apa, Pak?" tanya Hougan hati-hati.
"Agenda jam 3 dan jam 4 tunda dulu, pindahin ke besok aja," kata Adriel.
"B-baik, Pak," Hougan sedikit heran, padahal kalau mau menyampaikan sesuatu, Adriel biasanya menekan tombol panggil saja di mejanya. Tapi, ini… kenapa dia tiba-tiba keluar sendiri?
Adriel menghela napas tipis. "Urus agenda lain untuk saya di jam 3 nanti, hubungi Golden Media Group dan sambungkan ke saya."
"Golden Media Group, Pak? Bukannya Anda menghindari media apapun itu? Katanya Anda tidak mau diwawanc –," kalimatnya tak sampai, Hougan melipat bibirnya ketika sorotan menusuk Adriel tertuju langsung ke matanya.
"Just do what i say, Hougan," ujar Adriel dingin.