Aira, gadis kota yang bar-bar dan suka bebas berekspresi, terpaksa ikut orang tuanya pindah ke kampung.
Di sana hidup lebih tenang, katanya... padahal justru membuat hidup Aira jungkir balik.
Setiap hari ia bersitegang dengan Ustadz Fathur, ustadz muda yang kelewat sabar tapi cerewet soal adab dan pakaian.
Yang satu bar-bar, yang satu sabar... tapi sabar juga ada batasnya, kan?
Dan saat perdebatan mereka mulai jadi bahan berita sekampung, Ustadz Fathur malah nekat melamar Aira…
Bukan karena cinta, tapi karena ingin mendidik.
Masalahnya, siapa yang akhirnya lebih dulu jatuh cinta... si bar-bar atau si sabar?
Baca selengkapnya hanya di NovelToon.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ijah hodijah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10
Aira menelan ludah cepat sekali. Wajahnya yang tadi semangat berubah seperti kerupuk disiram air panas.
Pak Hadi mencoba menahan senyum. “Kan sudah papa bilang, jangan aneh-aneh.”
Aira mencubit lengannya sendiri, malu setengah mati. “Aku… aku cuma… ya biar gampang koordinasi…”
“Insya Allah saya pamit dulu ya, Pak.” Ustadz Fathur tersenyum lagi... kali ini soft, tapi tetap membuat Aira semakin ingin mengubur diri.
Saat Ustadz Fathur pakai helm dan naik motor, Aira masih berdiri bengong.
Motor melaju pelan…
Lalu suara Ustadz Fathur terdengar. “Nanti kartunya saya titipkan ke papa kamu ya, Aira.”
Aira refleks menjawab keras-keras:
“Iyaa... eh… iya, Tadz… terima kasih…”
Motor menjauh. Aira menutup wajahnya sendiri. “Pa… aku malu sekali…”
Pak Hadi menepuk bahunya. “Bagus, biar kapok.”
Aira ngibrit ke kamarnya.
***
Malam harinya.
Suasana kampung mulai sunyi. Hanya suara jangkrik dan lampu-lampu rumah warga yang temaram. Jam dinding menunjukkan pukul delapan malam.
Pak Hadi sedang duduk di ruang keluarga sambil menonton berita dengan suara kecil. Bu Maryam sudah masuk kamar, sementara Aira masih sibuk rebahan di kasur, merasa hidupnya “terkurung” tanpa internet.
Tiba-tiba terdengar salam dari luar.
“Assalamualaikum…”
Pak Hadi berdiri dan langsung keluar.
Di teras, terlihat Ustadz Fathur dengan pakaian koko dan sarung, baru pulang dari pondok. Rambutnya sedikit basah... entah habis wudu atau habis kena gerimis.
“Waalaikumsalam,” sambut Pak Hadi.
“Ini, Pak. Kartunya sudah saya belikan.” Ustadz Fathur menyerahkan satu kartu perdana yang masih tersegel.
“Wah, terima kasih banyak, Tadz. Kebetulan anak saya itu...”
“...butuh sinyal?” Ustadz Fathur tersenyum.
Pak Hadi ikut tertawa kecil. “Ya begitu deh…”
Dari kamar, Aira langsung bersprint keluar begitu mendengar kata kartu. “Mana? Mana? Pa! Mana kartunya?!”
Ustadz Fathur sempat kaget melihat Aira muncul tiba-tiba dengan rambut digelung asal dan baju rumah longgar.
Tapi dia tetap tersenyum sopan. “Ini, Aira. Semoga cocok kartunya.”
Aira mengambil kartunya dengan ekspresi seperti dikasih oksigen setelah hampir tenggelam.
“Masya Allah, Tadz! Terima kasih! Aku... eh... makasih…”
“Insya Allah bermanfaat. Saya pamit dulu ya, Pak.”
Ustadz Fathur menunduk sopan, lalu pergi.
Aira melihat punggung Ustadz Fathur menghilang di jalan yang mulai gelap. “Hmm… orangnya baik sih. Tapi… kenapa jawabannya suka nusuk?”
Pak Hadi hanya menghela napas. “Karena kamu yang nanya aneh-aneh.”
Aira langsung masuk kamar, memasang kartu baru, dan…
zingggg!
HP-nya bergetar terus-menerus.
Layarnya penuh notif...
32 pesan Reno
27 pesan Ayu
15 panggilan tak terjawab dari Reno
8 pesan grup: Sahabat Penyet Kota
Notifikasi IG, WA, bahkan SMS.
“Ya Rabbi…” Aira ternganga.
Ayu sahabatnya spam chat.
[RA KAMU DI MANA?! MATI KAH HPMU?!]
[Dari kemarin gak ada kabar!]
[Gue kira kamu diculik bebek kampung!]
Aira langsung teriak ke bantal. “Gue cuma pindah kampung, bukan ke planet Mars!”
Lalu notifikasi dari Reno masuk lagi.
[Aira, kamu aman kan?]
[Kamu di mana? Aku panik.]
[Kalau kamu gak mau kabarin aku lagi, bilang aja.]
[Gue serius khawatir…]
Aira memegang kepalanya. “Ya ampun… ini orang udah kayak ke pacar aja…”
HP bergetar lagi... telepon masuk dari Reno.
Aira buru-buru menekan mute, lalu berguling di kasur.
“Gue nggak siap jelasin kalau sinyal di sini pake sistem tebak-tebakan!!!”
Pak Hadi mengetuk pintu. “Aira, jangan main HP sampai malam. Tidur cepat. Besok ke sawah lagi.”
“Pa… aku baru hidup kembali lima menit lalu…”
“Matikan jam sembilan.”
“PA!!”
Pak Hadi pergi sambil tertawa.
Aira mendesah panjang. HP-nya terus bergetar.
Sementara di luar, suara masjid kecil terdengar lembut mengaji sebelum tidur.
Dia menatap layar HP yang penuh notif itu.
“Kenapa sih hidupku jadi drama begini…” Tapi… entah kenapa wajah Ustadz Fathur muncul di kepalanya.
Aira langsung menepis. “Enggak! Enggak boleh! Dia itu dosen agama berjalan. Jauh-jauh!”
HPnya kembali bergetar. Reno kembali telepon.
Aira menutupi wajahnya dengan bantal.
“Gue butuh sinyal… tapi gue juga butuh ketenangan…”
Awalnya ia ingin mengabaikan saja. Tapi dering yang terus-menerus, ditambah pesan-pesan bernada panik, membuat dada Aira ikut gelisah. Ia menghela napas panjang, lalu menekan tombol hijau.
“Halo…” suaranya pelan, ragu.
Di seberang sana terdengar suara Reno... tinggi, cepat, jelas sedang panik. “Aira! Astaga, akhirnya lo angkat juga! Lo kenapa? Dari kemarin nggak balas chat gue, telepon juga nggak diangkat. Lo sakit? Atau terjadi apa di desa itu?”
Aira mengerutkan dahi. Kenapa jadi lebay begini orang satu ini?
“Reno… gue baik-baik aja, sumpah.”
“Masa? Lo biasanya nggak gini. Terus tadi ada yang bilang lihat status lo tapi lo hapus... itu maksudnya apa?”
Aira makin bingung. “Status apa?”
“Ya itu! Lo upload foto view masjid terus langsung hilang. Lo kenapa? Ada masalah? Lo nangis? Dengar-dengar lo diem di rumah aja, nggak keluar... ”
Aira langsung memotong, suaranya naik karena frustrasi, “Reno! Lo dapet info dari siapa sih? Gue cuma… sibuk.”
“Sibuk? Di desa? Aneh banget kedengarannya. Lo ada apa?”
Aira terdiam. Kata-kata Reno membuatnya merasa terpojok. Padahal ia hanya… lelah. Dan sedikit kacau setelah kejadian siang tadi di masjid.
Reno menghela napas panjang, terdengar jelas dari telepon. “Aira… kalau lo ada apa-apa, lo bisa cerita ke gur. Jangan bikin gue khawatir kayak gini.”
Nada itu... nada peduli tapi menuntut... membuat Aira refleks menjauhkan ponsel dari telinganya sebentar.
Ia menutup mata. Reno selalu begini. Selalu merasa harus tahu semuanya.
Dengan hati-hati ia menjawab, “Gue baik-baik aja. Serius. Jangan lebay.”
Reno terdiam sejenak, lalu suaranya berubah lebih pelan, agak tersinggung. “Ya udah… kalau lo nggak mau cerita. Tapi, Aira… lo berubah. Lo kerasa jauh.”
Aira menggigit bibirnya. “Bukan begitu…”
“Ya sudah. Gue nggak maksa. Tapi jangan bikin gue mikir yang nggak-nggak.”
Aira menutup telepon, tapi suara Reno kembali terdengar cepat:
“Lo… ada orang baru di sana, ya?”
Pertanyaan itu membuat Aira langsung membeku.
Hening. Lama.
Reno tertawa pendek tapi pahit. “Lihat kan? Lo diam. Jadi benar. Ada seseorang.”
Aira buru-buru menjawab, “Bukan! Reno, jangan sok tahu.”
“Terus kenapa kamu tiba-tiba jaga jarak kayak gini?”
Aira mengusap wajah. “Gue cuma… banyak yanga
“Termasuk orang baru itu?”
“Reno—”
“Ya udah. Nggak usah dijelasin. Besok gue telepon lagi.”
Telepon langsung terputus.
Aira menatap layar ponselnya… lalu menghela napas panjang.
Bukan karena Reno benar.
Tapi karena ia tidak tahu… kenapa sedikit saja mendengar nama "orang baru" itu… dadanya ikut berdebar.
Dan itu semakin membuatnya bingung.
***
PAGI HARINYA…
Udara masih lembap sisa embun. Langit baru menyala biru pucat. Aira sudah berdiri di dapur sambil menguap panjang, rambutnya diikat ala kadarnya, wajah masih setengah hidup.
“Ma… biasanya habis Subuh aku tidur lagi. Normal manusia itu istirahat pagi,” protes Aira sambil memeluk tubuh sendiri karena dingin.
Bu Maryam yang sedang mengiris bawang cuma melirik tipis. “Kamu ikut mondok aja deh kalau begitu,” ujarnya datar.
Aira langsung melek. “Apaan sih, Ma. Tiba-tiba mondok?”
“Biar kebiasaanmu berubah,” sambung Bu Maryam dengan serius setengah bercanda.
Di sudut dapur, Bi Sumi sudah sibuk menanak nasi. Aroma bawang tumis dan teri mulai memenuhi ruangan.
“Sudah, Neng Aira sini bantuin. Yang rajin dikit, nggak apa-apa badan capek, yang penting dapet pahala,” celetuk Bi Sumi sambil terkekeh.
Aira terpaksa mendekat. “Aku bantu apa, Bi?”
“Pertama, bangunin dulu tuh wajahnya. Baru potong-potongin tempenya.”
“Bi…” Aira memegangi dada. “Yang dipotong tempenya, bukan perasaanku.”
Bersambung