Hagia terkejut bukan main karena dirinya tiba-tiba dilamar oleh seorang pria yang jauh lebih muda dari usianya. Sebagai seorang janda beranak satu yang baru di ceraikan oleh suaminya, Hagia tidak menyangka jika tetangganya sendiri, Biru, akan datang padanya dengan proposal pernikahan.
"Jika kamu menolakku hanya karena usiaku lebih muda darimu, aku tidak akan mundur." ucap Biru yakin. "Aku datang kesini karena aku ingin memperistri kamu, dan aku sadar dengan perbedaan usia kita." sambungnya.
Hagia menatap Biru dengan lembut, mencoba mempertimbangkan keputusan yang akan diambilnya. "Biru, pernikahan itu bukan tentang kamu dan aku." kata Hagia. "Tapi tentang keluarga juga, apa kamu yakin jika orang tuamu setuju jika kamu menikahi ku?" ucap Hagia lembut.
Di usianya yang sudah matang, seharusnya Hagia sudah hidup tenang menjadi seorang istri dan ibu. Namun statusnya sebagai seorang janda, membuatnya dihadapkan oleh lamaran pria muda yang dulu sering di asuhnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Starry Light, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10
Biru terlihat piawai dengan peralatan dapur yang ada di tangannya. Pria itu memasak berbagai macam jenis makanan yang terlihat lezat dan menggugah selera, belum lagi Biru masak dengan sepenuh hati, terlihat dari senyum yang selalu merekah di bibirnya.
Salma mengerutkan keningnya melihat sang putra asik berduet di dapur kesayangannya. Memang bukan pertama kalinya Biru memasak, tapi ekspresi Biru saat memasak, ditambah dengan senandung merdu dari mulutnya, membuat Salma semakin penasaran.
Siapa wanita yang telah berhasil membuat putranya terlihat seperti orang gila? Bagaimana tidak? Biru sering tersenyum sendiri saat tidak ada sesuatu yang lucu, pria itu memang ramah, tapi tingkah Biru belakangan ini jelas sangat berbeda dari biasanya.
"Umi ngapain?" tegur Mail tiba-tiba berada disebelah istrinya.
"Astaghfirullahaladzim! Allahu Akbar! Abi!" ucap Salma terjingkat sambil mengusap dadanya. Belum lagi tatapan nyalang yang tertuju pada suaminya.
"Umi kaget, ya? Maaf." kata Mail memberikan senyum terbaiknya.
Bukannya menjawab, Salma malah mencubit pinggang sang suami, membuat Mail mengaduh kesakitan. "Aduhh, ampun Umi." keluh Mail meringis.
"Makanya jangan usil!" sungut Salma, Mail mengusap-usap pinggangnya.
"Abi sama Umi ngapain?"
"Allahu Akbar, astaghfirullahaladzim!" teriak Salma dan Mail bersamaan. Biru mengerutkan keningnya, keluarganya memang sedikit unik. Pantang terkejut, karena kalau terkejut, ya beginilah jadinya.
"Kami ngapain sih, Gus? Bikin Umi sama Abi kaget aja!" semprot Salma membuat Biru semakin bingung.
"Kan Biru yang tanya duluan, lagian Umi sama Abi ngapain dibalik tembok kayak gini?" Biru menggelengkan kepalanya, pria itu kembali berjalan ke dapur dan melepas celemek nya.
"Wah, sepertinya hari ini kita sarapan berat." Mail melihat berbagai makanan tersaji diatas meja.
"Kamu masak banyak banget. Kalau gak abis kan, mubazir." ujar Salma. Sebab hari ini mereka hanya makan bertiga, karena Bilal sedang pergi mendampingi salah satu santri yang mengikuti lomba Tilawatil Qur'an.
"Kan porsinya gak banyak, Mi." sahut Biru menggeser rantang yang ada dibelakang tubuhnya.
"Ya udah, ayo makan. Abi sudah lapar." ajak Mail menarik salah satu kursi untuk sang istri.
Biru juga duduk diseberang meja, setelah membaca doa makan, mereka mulai menikmati makanan yang dimasak Biru.
"Gus, ini kenapa gak ada yang pedas?" Mail yang memang terbiasa makan pedas, merasa ada yang kurang. Sebab masakan Biru tidak ada yang pedas. "Umi gak punya stok cabe?" tanya Mail.
"Punya, kok." jawab Salma sambil melirik Biru.
"Hari ini, masakan Biru memang tidak pakai cabe, Abi." ujar Biru, ia beranjak dan mengambil sesuatu. "Ini sambel teri buatan Biru kemarin, tapi masih enak kok. Gak basi." jelas Biru memberikan mangkok kecil berisi sambel teri.
"Lain kali, kalau masak pake cabe. Abi bukan anak kecil," Mail menuangkan sambel teri itu dalam piringnya.
"Gus, lain kali kamu masakin makanan kayak gini buat para santri. Mereka pasti suka makanan seperti ini," kata Mail, Biru mengangguk setuju.
"Ya, besok Biru masakan ini untuk anak-anak." sahut Biru. Mereka kembali melanjutkan sarapannya, sambil berbincang ringan.
...
"Assalamualaikum," ucap Biru turun dari motornya.
"Alaikumsalam!" sahut Hasya dengan suara melengking nya. "Om Biluuuu," seru gadis cilik itu berlari kearah Biru.
"Wangi banget sih, cantiknya Om Bilu." Biru menggendongnya sambil menciumi pipi chubby Hasya yang harum khas anak-anak.
"Hasya udah mandi sama Bunda." Hasya mengusap-usap pipi Biru dan menatap dengan mata bulatnya. "Om Bilu bawa apa? Es klim?" tanya Hasya melihat rantang ditangan Biru.
"Bukan, ini makanan buatan Om. Hasya udah makan?" tanya Biru. Gadis cilik itu menggeleng. "Sana, ambil piring sama sendok. Om suapi, mau?" kata Biru. Hasya mengangguk cepat lalu turun dari gendongan Biru dan berlari masuk dalam rumah.
Tak lama Hasya sudah kembali dengan membawa piring dan sendok, lalu memberikannya pada Biru.
"Hasya, mau dibawa ...," kata-kata Hagia menguap begitu saja melihat Hasya bersama Biru.
"Assalamualaikum," ucap Biru tersenyum pada Hagia.
"Wa-walaikumsalam," sahut Hagia, lalu berjalan menghampiri Biru dan Hasya.
"Aku masakin ini buat Hasya, gak apa-apa kan?" Biru membuka satu persatu rantang itu.
"Kenapa repot-repot," ucap Hagia tak enak.
"Aku suka memasak." Biru menaruh nasi dan beberapa lauk di piring Hasya. "Yang ini mau?" tanya Biru, Hasya mengangguk dengan mata berbinar.
"Hasya mau semuanya," kata Hasya tak sabar ingin makan.
Hagia tersenyum sambil membelai rambut Hasya. Putrinya itu memang terlihat dekat dan sangat menyukai Biru, bahkan jika satu hari saja tidak bertemu Biru, Hasya merengek meminta Malik mengantarnya kerumah Biru.
"Aaa ...," Biru mulai menyuapi Hasya. Gadis kecil itu membuka lebar mulutnya, Hasya yang memang tidak pilih-pilih makanan, terlihat sangat menyukai masakan Biru.
"Hmmmm enak, Om." puji Hasya dengan mulut yang penuh. Biru tertawa lalu mengusap rambut halus Hasya.
Hagia melihat interaksi keduanya yang terlihat begitu akrab, tanpa sadar menarik kedua sudut bibirnya. Pemandangan seperti ini tidak pernah ia lihat sebelumnya, Heru hanya sekali dua kali saja menyuapi Hasya. Ayah kandung Hasya itu bukan tipe pria yang telaten seperti Biru, bahkan tadi Biru bilang jika dia yang memasak.
"Bunda ambil minum dulu," Hagia masuk kedalam, sedangkan Biru terlihat begitu asik menyuapi Hasya. Jika orang yang tidak tahu, mereka pasti mengira jika Biru dan Hasya adalah Ayah dan anaknya.
...
Hilya terlihat melamun dihalaman belakang. Gadis cantik yang terlihat anggun dengan balutan busana muslimah itu memang akhir-akhir ini sering melamun. Apalagi yang Hilya lamunkan jika bukan Biru?.
Ya, Biru begitu mendominasi hati dan pikirannya. Bahkan Hilya berpikir untuk meminta Abahnya melamar kan Biru. Namun rasa malunya menahan Hilya untuk melakukan itu.
"Ning," sebuah tepukan tangan dipundak Hilya membuat gadis itu menoleh kebelakang.
"Abah, bikin kaget aja." kata Hilya manja. Khalid tersenyum lembut dan duduk di sebelah putrinya.
"Mikirin apa sih? Gus Biru." tebak Abah Yai Khalid. Dia sangat tahu jika putri bungsunya itu menyukai salah satu santrinya, sayangnya Biru tidak menyukai Hilya sebagai lawan jenis.
"Gus Biru kapan balik dari kampungnya sih? Padahal ini udah satu bulan lebih," keluh Hilya. Biasanya, paling lama hanya tiga minggu, Biru ke kampung.
"Mungkin satu bulan lagi," sahut Abah Yai Khalid. Membuat Hilya memanyunkan bibirnya.
"Abah gak ada rencana buat panggil Gus Biru?" desaknya. Khalid merengkuh tubuh mungil Hilya dalam pelukannya.
"Apa Ning benar-benar menyukai Gus Biru?" tanyanya. Hilya mengangguk dalam pelukannya. "Bagaimana kalau Gus Biru gak suka sama Ning?" tanya Abah Yai Khalid membuat Hilya melepaskan pelukannya.
"Abah kok ngomong gitu sih? Ning suka banget sama Gus Biru, cinta malahan." jujur Hilya mengakui perasaannya.
"Ning, sebagai umat manusia. Kita tidak boleh menyukai atau mencintai ciptaan Allah secara berlebihan. Abah sudah sering mengingatkan tentang ini, bukan?" kata Abah Yai Khalid menasehati putrinya.
"Ning tahu kok, Bah. Abah gak perlu khawatir, Ning tahu batasannya." sahut Hilya, namun sangat bertentangan dengan hatinya yang terlanjur penuh dengan nama Biru.
"Ya udah, Abah cuma bisa mengingatkan. Kalau kamu terlalu berharap dengan sesama manusia, Ning juga harus siapkan hati untuk kecewa. Karena tidak seharusnya kita berharap pada sesama manusia," saran Khalid sambil menatap lurus kedepan.
"Ayo kita ke pesantren, bantu Abah dan yang lainya." ajak Abah Yai Khalid. Hilya pun menurut dan pergi ke pesantren bersama.
*
*
*
*
*
TBC