Di sebuah desa kecil di lereng Gunung Sumbing, Temanggung, hidup seorang pemuda bernama Arjuna Wicaksono. Sejak kecil, ia hanya tinggal bersama neneknya yang renta. Kedua orang tuanya meninggal dalam sebuah kecelakaan saat ia masih balita, sementara kakeknya telah lama pergi tanpa kabar. Hidup Arjuna berada di titik terendah ketika ia baru saja lulus SMA. Satu per satu surat penolakan beasiswa datang, menutup harapannya untuk kuliah. Di saat yang sama, penyakit neneknya semakin parah, sementara hutang untuk biaya pengobatan terus menumpuk. Dihimpit keputusasaan, Arjuna memutuskan untuk merantau ke Jakarta, mencari pekerjaan demi mengobati sang nenek. Namun takdir berkata lain. Malam sebelum keberangkatannya, Arjuna menemukan sebuah kotak kayu berukir di balik papan lantai kamarnya yang longgar. Di dalamnya tersimpan cincin perak kuno dengan batu safir biru yang misterius - warisan dari kakeknya yang telah lama menghilang. Sejak menggunakan cincin itu, kehidupanNya berubah drastis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RivaniRian21, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31 Mia Wanita Cantik
Setelah Arjuna dan Ucup menghilang dari pandangannya, dan setelah memberikan keterangan singkat yang membingungkan kepada petugas keamanan, Mia berjalan gontai menuju tempat parkir. Kakinya terasa lemas, jantungnya masih berdebar kencang. Ia masuk ke dalam mobil Mini Cooper berwarna merah miliknya, sebuah hadiah ulang tahun dari ayahnya tahun lalu.
Begitu pintu mobil tertutup, dunia luar yang bising seolah terputus. Di dalam keheningan kabin mobil yang mewah itu, benteng pertahanannya akhirnya runtuh.
Setetes air mata jatuh membasahi pipinya, lalu disusul oleh tetesan berikutnya. Ia tidak terisak keras, hanya air mata yang mengalir tanpa henti. Rasa sakitnya begitu dalam, begitu tajam. Perlakuan Rian memang kejam, kata-katanya menghina. Tapi yang paling menghancurkan hatinya bukanlah itu.
Sinta.
Nama sahabatnya sendiri terus berputar di kepalanya. Sahabat yang ia percaya lebih dari siapa pun. Sahabat tempat ia berbagi semua rahasia, semua keluh kesah. Ia tidak menyangka, orang terdekatnya itu tega menusuknya dari belakang dengan cara yang paling menyakitkan. Setiap kenangan indah mereka—tertawa bersama, saling menghibur, berjanji akan selalu ada untuk satu sama lain—kini terasa seperti sebuah kebohongan besar.
Sambil menyetir pulang, air matanya terus mengaburkan pandangannya. Ia membiarkannya saja, membiarkan rasa sakit itu keluar bersama setiap tetesannya.
Mobilnya melewati gerbang yang menjulang tinggi dan menyusuri jalan pribadi yang panjang sebelum berhenti di depan sebuah rumah yang sangat megah dan besar, lebih mirip sebuah istana modern daripada tempat tinggal. Ini adalah dunianya, dunia yang penuh kemewahan, namun seringkali terasa hampa.
Ia turun dari mobil dan langsung berjalan masuk. Di ruang tengah yang luas dengan langit-langit tinggi dan perabotan impor, ibunya, seorang wanita paruh baya yang masih sangat cantik dan elegan, sedang duduk di sofa sambil membaca majalah fashion.
"Mia, sudah pulang, sayang?" sapa ibunya tanpa mengalihkan pandangan dari majalah.
"Iya, Ma," jawab Mia dengan suara serak, mempercepat langkahnya melewati ruangan itu begitu saja, wajahnya menunduk dalam.
Mendengar nada suara anaknya yang aneh dan melihatnya berjalan begitu cepat, sang ibu akhirnya menurunkan majalahnya. Ia melihat punggung putrinya yang menghilang di tangga besar menuju lantai dua. Wajahnya yang terawat itu mengerutkan kening. Ia merasa heran. Anaknya tidak biasanya seperti itu. Pasti ada sesuatu yang tidak beres.
Sementara itu, Mia sudah sampai di depan pintu kamarnya. Ia membukanya, masuk ke dalam, dan menutupnya dengan keras. Ia menyandarkan punggungnya di pintu, dan di dalam kamarnya yang luas dan indah itu, ia akhirnya membiarkan isak tangisnya pecah.
Ia menangis bukan hanya karena dikhianati, tapi juga karena merasa lelah. Lelah menjadi kuat, lelah menjadi sempurna, lelah dengan semua kepalsuan yang mengelilinginya.
Setelah beberapa saat, tangisnya mereda, hanya menyisakan sesenggukan kecil. Ia mengangkat wajahnya yang sembab, dan saat itulah, di tengah kesedihan dan kekacauannya, sebuah bayangan lain muncul di benaknya.
Bayangan wajah seorang pemuda asing. Wajah sederhana dengan tatapan mata yang luar biasa tenang. Tangan kokoh yang menghentikan tamparan Rian. Suara datar yang membuat puluhan preman terdiam.
Siapakah dia?
Di tengah dunianya yang penuh dengan kepalsuan, ia baru saja bertemu dengan sesuatu yang terasa begitu nyata. Sebuah kekuatan dan ketulusan yang murni. Dan entah mengapa, memikirkan pemuda misterius itu membuat hatinya yang hancur terasa sedikit lebih hangat.
Di dalam kamarnya yang luas dan mewah, Mia membenamkan wajahnya pada sebuah boneka beruang besar yang duduk di sudut tempat tidurnya—sebuah sisa dari masa kecilnya yang menjadi pelarian setiap kali dunianya terasa runtuh. Isak tangisnya yang tadinya keras kini hanya menyisakan sesenggukan pelan yang menyayat hati.
TOK... TOK...
Terdengar ketukan lembut di pintunya. "Mia, sayang? Boleh Mama masuk?" Suara ibunya, Liana, terdengar dari luar, penuh dengan nada khawatir.
Mia menarik napas dalam-dalam, mencoba mengendalikan suaranya. "Masuk aja, Ma."
Pintu terbuka, dan ibunya masuk membawa sebuah nampan kecil dengan segelas susu hangat di atasnya. Liana meletakkan nampan itu di meja nakas, lalu duduk di tepi tempat tidur di samping putrinya. Ia mengelus lembut rambut Mia yang terurai berantakan.
Melihat keadaan putrinya, hati Liana terasa perih. Mia, putrinya yang berusia 24 tahun, seorang mahasiswi cantik di semester akhir universitas bisnis ternama yang sebentar lagi akan lulus dengan predikat cum laude. Putrinya yang sudah ia persiapkan, yang bahkan sudah memegang posisi junior manajer di salah satu anak perusahaan ayahnya dan menunjukkan bakat bisnis yang cemerlang. Kini, gadisnya yang kuat dan cerdas itu menangis sambil memeluk boneka seperti anak kecil. Pasti telah terjadi sesuatu yang sangat serius.
"Ada apa, sayang?" tanya Liana dengan suara selembut mungkin. "Masalah di kantor? Proyek baru yang dipegang Papa membuatmu stres?"
Mia hanya menggelengkan kepalanya tanpa mengangkat wajah dari boneka beruangnya.
Liana menghela napas. "Lalu kenapa, Nak? Coba cerita sama Mama. Siapa tahu Mama bisa bantu."
Dengan berat, sangat berat, Mia akhirnya mengangkat kepalanya. Matanya bengkak dan merah. Perlahan, dengan suara yang sering terputus oleh isak tangis, ia menceritakan semuanya.
Ia menceritakan tentang bagaimana ia memergoki Rian bersama Sinta. Ia menceritakan tentang pertengkaran mereka di tengah keramaian food court. Ia menceritakan setiap kata hinaan yang dilontarkan Rian—tentang bagaimana Rian menganggapnya sok cantik, sok pintar, kaku seperti robot, dan yang paling menyakitkan, bagaimana Rian mengaku hanya memanfaatkannya demi kekayaannya.
Wajah Liana berubah dari khawatir menjadi tegang, lalu mengeras saat mendengar bagaimana Rian memperlakukan putrinya.
Mia lalu melanjutkan ceritanya ke bagian yang paling menakutkan, saat Rian mengangkat tangan hendak menamparnya. Di titik ini, Liana refleks menggenggam tangan putrinya dengan erat, matanya memancarkan amarah yang dingin.
"Lalu... tiba-tiba ada seorang pemuda asing muncul entah dari mana," lanjut Mia, suaranya kini sedikit lebih tenang saat mengingat kejadian itu. "Dia menahan tangan Rian, Ma. Dia... dia menolongku."
Ibunya menjadi syok. Pikirannya mencoba memproses semua informasi itu. Putrinya dikhianati oleh pacar dan sahabatnya sendiri, dipermalukan di depan umum, nyaris dipukul, lalu diselamatkan oleh orang yang tidak dikenal. Ini seperti plot dalam sebuah sinetron, bukan sesuatu yang seharusnya terjadi pada putrinya, seorang Winata.
Setelah Mia selesai bercerita, Liana menarik putrinya ke dalam pelukannya, memeluknya dengan erat. Ia membiarkan Mia menangis di bahunya.
"Sssst... sudah, sayang... sudah," bisiknya, mencoba menenangkan.
Setelah beberapa saat, ia melepaskan pelukannya dan menatap wajah putrinya dengan tatapan yang kini berubah dari lembut menjadi sangat tegas dan dingin.
"Sudah, jangan menangis lagi untuk pria tidak berguna seperti itu," katanya. "Rian dan keluarganya akan mendengar langsung dari Papamu besok. Mereka akan tahu akibatnya jika berani macam-macam dengan putri keluarga Winata."
Ia lalu berhenti sejenak, tatapannya kini berubah penasaran. "Dan pemuda ini... pemuda yang menolongmu... Siapa dia? Kita harus menemukannya. Kita berhutang budi padanya."
biar nulisny makin lancar...💪