NovelToon NovelToon
I Love You My Sugar Daddy

I Love You My Sugar Daddy

Status: sedang berlangsung
Genre:Pelakor / CEO / Selingkuh / Cinta Terlarang
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author: Seroja 86

Ia berjuang sendirian demi menebus kesalahan di masa lalu, hingga takdir mengantarkannya bertemu dengan lelaki yang mengangkatnya dari dunia malam.
Hingga ia disadarkan oleh realita bahwa laki laki yang ia cintai adalah suami dari sahabatnya sendiri.
Saat ia tahu kebenaran ia dilematis antara melepaskan atau justru bertahan atas nama cinta.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seroja 86, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 10

Malam sudah larut ketika Alma sampai di rumah.Suara detik jam dinding terdengar jelas di ruang tamu yang sepi.

Ia melepaskan sepatu, menggantung tas di belakang pintu, lalu menatap sekeliling — rumah kecil yang rapi tapi terasa terlalu sunyi untuk seorang perempuan dan anak kecil.

Di kamar, lampu tidur masih menyala redup.

Asha sudah lama terlelap, memeluk boneka beruang kesayangannya.

Alma duduk di tepi ranjang, menatap wajah mungil itu lama-lama.

Ada sesuatu yang menekan dadanya pelan — rasa haru, sekaligus takut.

Ia mengusap rambut putrinya lembut.

“Kalau Ibu bisa kasih kamu dunia yang lebih baik, Asha…” bisiknya pelan, suaranya nyaris tak terdengar.

“Tapi apa harus merebut dunia orang lain?”

Ia berdiri perlahan, lalu menuju ruang tamu.

Di meja, ponselnya tergeletak.

Pesan terakhir dari Harsya masih tersimpan kata-kata yang ia baca berulang kali tapi tak kunjung berani dibalas.

“Saya serius soal pembicaraan kita, Alma.

Kalau kamu mempertimbangkannya, saya akan sangat senang.”

Alma menarik napas panjang.

Dalam pikirannya, suara Harsya kembali terngiang tenang, meyakinkan, tapi juga berbahaya.

Bukan karena ancaman, tapi karena tawaran itu terdengar terlalu masuk akal untuk seseorang yang lelah berjuang sendirian.

Matanya kemudian tertuju pada pigura kecil di atas meja — foto dirinya dan Asha.

Keduanya tersenyum, tapi Alma tahu senyum itu menutupi lelah yang tidak pernah selesai, dan rasa takut pada hari esok.

Ia duduk, memeluk lututnya.

Pikirannya seperti tali yang ditarik dari dua arah satu oleh rasa lelah, satu lagi oleh harga diri.

Di satu sisi, tawaran Harsya terasa menjanjikan jaminan yang selama ini tak pernah ia miliki.

Tapi di sisi lain, ia tahu, tidak ada yang benar-benar gratis dalam hidup.

Terutama bagi perempuan seperti dirinya.

“Tidak, Alma,” bisiknya pada diri sendiri.

“Jangan terburu-buru. Dunia ini sudah terlalu sering menipu kamu.”

Ia menatap foto Asha lagi, lalu memejamkan mata.

Malam terasa panjang, tapi setidaknya untuk malam ini ia memilih menunda jawabannya.

Sudah tiga hari sejak terakhir kali ia melihat Alma, tapi entah kenapa wajah perempuan itu terus saja melintas di kepala Harsya — bahkan di tengah rapat, di antara tumpukan berkas, atau saat makan malam bersama keluarganya.

Biasanya, ketertarikan pada perempuan di tempat seperti Grand Amartha hanya berlangsung sementara — sekadar jeda dari rutinitas yang menjemukan. Tapi Alma… berbeda.

Ada ketenangan di balik tatapannya, dan ada prinsip yang tidak bisa dibeli dengan uang.

Di ruang kerjanya yang luas, Harsya duduk termenung.

Cangkir kopinya sudah dingin, tapi ia tak peduli.

Di layar ponsel, pesan terakhirnya masih centang dua, belum dibalas.

“Saya serius soal pembicaraan kita, Alma.”

Ia tersenyum kecil, getir.

“Perempuan itu tahu caranya membuat lelaki sepertiku merasa tidak berdaya,” gumamnya pelan.

Pintu ruang kerja terbuka.

Istrinya, Nadine, muncul dengan senyum tipis.

“Mas, makan malam sudah siap,” katanya lembut.

Harsya menatap sekilas, lalu mengangguk.

“Sebentar Nadine, aku nyusul.”

Nadine mengangguk paham, meski matanya sempat memandang suaminya sedikit lebih lama dari biasanya — ada jarak di antara mereka yang makin hari makin terasa.

Begitu pintu tertutup, Harsya bersandar di kursi, menarik napas panjang.

Di layar komputernya, pantulan dirinya tampak asing — lelaki yang punya segalanya tapi seolah kehilangan arah.

Ia tidak bisa menjelaskan kenapa Alma begitu mengganggunya.

Mungkin karena untuk pertama kalinya, ada perempuan yang tidak mengejarnya, yang tidak silau oleh status atau hartanya.

Alma justru menjaga jarak dan justru karena itu, Harsya ingin lebih dekat.

Malam itu, sebelum tidur, ia berdiri lama di balkon kamar.

Lampu-lampu kota Semarang berkelip di kejauhan.

Ia membuka ponselnya lagi, jempolnya sempat ragu, tapi akhirnya ia mengetik pesan pendek

“Alma, semoga harimu baik. Aku tidak ingin mendesakmu. Hanya ingin tahu, apakah kamu baik-baik saja?”

Pesan terkirim.

Dan untuk pertama kalinya dalam waktu lama, Harsya merasa seperti lelaki yang menunggu — bukan ditunggu.

Pagi menjelang, tapi Harsya belum juga tidur.

Pesan itu masih ia pandangi di layar ponselnya — pesan sederhana yang dikirimnya hampir dua jam lalu.

Biasanya, ia tak pernah menunggu siapa pun membalas pesannya. Tapi kali ini… entah kenapa ia menunggu.

Sampai akhirnya layar ponsel berpendar pelan.

Sebuah pesan masuk dari Alma.

“Saya baik, Pak terima kasih sudah bertanya."

Semoga bapak juga baik baik saja.”

Harsya membacanya berulang kali.

Tidak ada rayuan di sana — hanya jarak yang tegas, dingin, tapi tetap sopan.

Dan justru itu yang membuat dadanya terasa sesak.

Ia tersenyum samar, mengetik balasan, lalu menghapusnya.

Mengetik lagi, menghapus lagi.

Akhirnya ponsel ia letakkan di meja tanpa satu pun kata terkirim.

Ia sadar, Alma sedang membangun tembok.

Tembok yang bukan karena kebencian, tapi karena pertahanan.

Dan semakin ia mencoba mencari celah, semakin ia sadar — perempuan itu tidak bisa didekati dengan cara biasa.

Sudah seminggu berlalu sejak pesan terakhir dari Harsya.

Alma berusaha menutup pikirannya, menenggelamkan diri dalam rutinitas — berangkat sore, pulang menjelang pagi, tidur beberapa jam, lalu kembali menyiapkan diri lagi.

Namun diam-diam, pikirannya sering melayang ke satu arah.

Ada bagian dari dirinya yang menolak, tapi ada pula yang rindu.

Rindu akan percakapan tenang yang tak menuntut, tatapan yang tidak menghakimi, dan suara lelaki itu yang entah kenapa membuat malam terasa lebih ringan.

Suatu malam, selepas lounge tutup, Alma duduk sendirian di ruang ganti.

Lampu neon redup memantul di cermin besar di depannya.

Ia menatap wajahnya sendiri — tampak cantik, tapi lelah.

Dan di balik lelah itu, ada sesuatu yang nyaris pecah.

Ia menatap ponselnya lama.

Jempolnya ragu di atas layar.

Lalu tanpa banyak pikir, ia mengetik singkat

“Pak, belum terlambat kan kalau saya menjawab sekarang?.”

Harsya menatapnya lama, lalu tersenyum.

“Tidak, Alma tawaran itu akan selalu ada, kapan pun kamu siap.”

Mereka sepakat untuk bertemu di luar jam kerja.

Malam itu, Alma berdiri di depan cermin cukup lama sebelum berangkat.

Gaun hitam sederhana yang ia kenakan tampak pas di tubuhnya, tidak berlebihan, tapi tetap memancarkan kelas.

Entah kenapa, malam ini ada perasaan berbeda.

Resto tempat mereka bertemu terletak di lantai paling atas hotel.

Dari balik kaca besar, lampu kota Semarang berkelip di kejauhan.

Harsya sudah tiba lebih dulu, duduk di pojok ruangan, menatap ke arah pintu setiap kali seseorang masuk.

Dan ketika Alma datang tanpa gaun lounge, tanpa riasan tebal Harsya sempat kehilangan kata.

Ia tampak… nyata.

Bukan sosok yang dibentuk oleh cahaya malam, tapi perempuan dengan pesona yang tenang dan jujur.

Pelayan datang membawa dua cangkir kopi, lalu meninggalkan mereka dalam keheningan.

Suasana di antara keduanya terasa berat, tapi hangat.

Setelah beberapa saat, Harsya bersandar.

Suaranya tenang, tapi di baliknya ada sesuatu yang tulus.

“Alma, seperti yang kamu tahu… saya bukan pria single. Kalau kamu hadir di dunia saya, saya bisa memberikan kamu banyak hal — kenyamanan, rasa aman, masa depan. Tapi jangan berharap saya selalu ada. Dan jangan pernah meminta saya meninggalkan mereka, karena itu tidak akan terjadi.”

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!