NovelToon NovelToon
Lewat Semesta

Lewat Semesta

Status: sedang berlangsung
Genre:Diam-Diam Cinta
Popularitas:1.8k
Nilai: 5
Nama Author: Aulia risti

Anara adalah siswi SMA berusia 18 tahun yang memiliki kehidupan biasa seperti pada umumnya. Dia cantik dan memiliki senyum yang manis. Hobinya adalah tersenyum karena ia suka sekali tersenyum. Hingga suatu hari, ia bertemu dengan Fino, laki-laki dingin yang digosipkan sebagai pembawa sial. Dia adalah atlet panah hebat, tetapi suatu hari dia kehilangan kepercayaan dirinya dan mimpinya karena sebuah kejadian. Kehadiran Anara perlahan mengubah hidup Fino, membuatnya menemukan kembali arti keberanian, mimpi, dan cinta.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aulia risti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 10

Keesokan paginya, Anara hampir tak percaya dengan apa yang dilihatnya—Bagas dan Fino berjalan masuk sekolah bersamaan.

“Tumben kalian akur,” ujar Anara sambil memandang curiga.

Bagas mengangkat alis, lalu menjawab dengan nada santai “Tanya aja tuh, ngapain hujan-hujanan di taman sambil bawa koper.”

Anara membelalak, lalu spontan melirik Fino.

“Kamu baik-baik aja kan?” tanya Anara, nada suaranya pelan namun sarat kekhawatiran.

“Aku baik-baik aja, Anara,” jawabnya.

Berbeda dengan sikapnya pada Bagas, Fino justru tersenyum manis.

Bagas mendengus, mulutnya gatal untuk komentar. “Emang lo mau minta dibokem, ya?” celetuknya kesal.

Anara menggeleng, malas menanggapi. Ia malah meraih tangan Fino. “Bagas, kamu ke kelas duluan. Aku mau ngomong berdua sama Fino.”

Bagas mengangguk. Begitu Bagas berbalik pergi, Anara langsung menarik tangan Fino, membawanya menuju taman belakang sekolah—tempat yang cukup sepi untuk berbicara tanpa gangguan.

“Aku tanya sekali lagi, Fino,” Anara menatapnya serius. “Kamu nggak apa-apa kan? Kamu boleh cerita… lagipula cuma kita berdua di sini.”

“Aku baik-baik aja. Kamu nggak perlu khawatir seperti ini,” jawab Fino sambil tersenyum tipis—senyum yang lebih mirip tameng daripada kebahagiaan.

Anara tidak membalas. Ia peka dengan hal-hal seperti ini. Dan entah kenapa, ia tahu pasti Fino sedang tidak baik.

“Baiklah… kalau kamu nggak mau cerita,” ujarnya lirih.

“Sudah, ayo masuk. Kelas sebentar lagi dimulai.” Fino tersenyum, lalu meraih tangan Anara, menggenggamnya erat.

Sentuhan itu membuat Anara ikut tersenyum—senyum yang tanpa sadar menenangkan hatinya.

**

Suasana kelas mulai riuh ketika Pak Guru masuk, menaruh buku di meja, lalu menulis sesuatu di papan tulis.

IMPIAN

Huruf kapital itu jelas terbaca oleh semua mata di ruangan.

“Anak-anak, dengarkan. Hari ini, Bapak mau kalian menulis impian kalian di kertas, beserta penjelasan kenapa kalian ingin menjadi itu. Nanti kumpulkan ke Bapak.”

“Baik!” jawab seluruh siswa hampir serempak.

Anara terdiam. Tangannya memutar-mutar pensil di atas meja, tatapannya kosong. Impiaan, ya… gumamnya dalam hati.

Setelah beberapa detik berpikir, satu hal muncul di kepalanya. Ia langsung menuliskannya.

Satu per satu siswa mulai maju dan mengumpulkan kertas mereka ke meja Pak Guru. Anara pun ikut maju. Namun saat hendak kembali ke bangku, langkahnya tertahan.

“Anara,” panggil Pak Guru.

“Iya, Pak?”

“Maju, bacakan mimpimu.”

“Hah? Tapi, Pak—”

“Sudah, maju saja.”

Anara terpaksa berdiri di depan kelas, menatap mata teman sekelasnya yang kini memandanginya.

“Ayo, baca,” desak Pak Guru.

Anara menarik napas. “Lulus dan berkuliah adalah mimpiku. Aku ingin pergi ke kampus… dan berfoto dengan buket bunga.”

Pak Guru mengangguk pelan, namun suaranya terdengar menegur.

“Anara, impian itu adalah sesuatu yang harus diusahakan dengan sungguh-sungguh. Lulus dan kuliah itu bukan mimpi yang sulit.”

“Tapi, Pak…” Anara mencoba membela diri, namun kata-katanya terhenti saat melihat tatapan tegas sang guru.

“Sudah, kembali duduk.”

Anara mengangguk pelan, lalu kembali duduk di bangkunya. Suara gaduh teman-temannya mulai kembali memenuhi kelas, tapi pikirannya masih tertahan di depan papan tulis.

Sederhana, memang, tapi buatku… batinnya. Aku cuma ingin lulus, kuliah, dan punya hari-hari yang tenang. Tapi untuk merasakan hidup tanpa teriakan di rumah, tanpa rasa takut setiap pulang. Aku cuma mau punya masa depan yang aku pilih sendiri.

Tangannya meremas ujung rok seragamnya. Ia menarik napas panjang, lalu memaksakan senyum ketika Bagas—yang duduk tak jauh—masih menatapnya dengan ekspresi sulit ditebak.

**

Sepulang sekolah, Anara berjalan santai berdua dengan Fino. Suasana lumayan tenang sampai sebuah suara memecah momen itu.

“Heeyy…!” seru Bagas sambil melambai dari seberang. Ia berlari kecil mendekat.

“Lo pulang bareng gue, koper lo kan masih di rumah gue.”

“Benar. Kalau gitu, maaf, Anara… aku nggak bisa pulang sama kamu.”

Anara pura-pura cemberut. “Gapapa, kalau gitu… aku ikut aja.”

Bagas langsung memotong. “Nggak bisa. Ini khusus cowok-cowok aja.”

“Apaan sih, Bagas? Kamu ini kayak ibu-ibu aja, ngomel mulu,” sindir Anara sambil melipat tangan di dada.

“Enak aja! Kamu juga nggak sadar ya? Kayak tante-tante yang lagi deketin berondong.” Balas Bagas sambil nyengir lebar.

“Bagas… awas yaaa!” Anara memekik sambil mengejar, tapi Bagas sudah melesat duluan sambil tertawa puas.

Fino hanya berdiri di tempat, geleng-geleng kepala sambil menahan senyum melihat tingkah dua orang itu.

Anara akhirnya berhenti mengejar Bagas dan kembali berjalan ke arah Fino, wajahnya masih kesal tapi pipinya sedikit memerah karena lelah.

“Kamu nggak bantuin aku, malah nontonin,” protes Anara sambil menatapnya.

Fino tersenyum tipis. “Kalau aku bantu, nanti Bagas nggak lari… dan kamu nggak akan seceria ini.”

Anara mengerjap, sedikit bingung. “Hah? Apa maksudnya?”

“Nggak ada,” jawab Fino cepat sambil berjalan lebih dulu.

Anara hanya mendengus kecil, lalu mengejar Fino.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!