Lewat Semesta
Anara Zaila Raniza. Seperti gadis lain pada umumnya, Anara bukan siapa-siapa. Nilainya biasa saja, tidak pintar, tapi juga tidak bodoh. Namun, satu hal yang pasti: dia adalah gadis cantik dengan senyum manis dan hati yang kuat.
“Anara!” teriak Bagas dari kejauhan.
Bagas adalah teman sekaligus sahabat satu-satunya Anara. Ia tahu banyak tentang Anara, lebih dari siapa pun.
“Ih, bisa nggak sih nggak usah teriak-teriak? Kuping aku sakit tahu,” protes Anara sambil menoleh kesal.
“Habisnya kamu budeg! Aku panggil dari tadi di kelas, nggak nyaut-nyaut.”
Tak!
Anara menjitak kepala Bagas. “Makanya kalau manggil jangan pas anak-anak lagi rame, mana aku denger.”
“Aduh! Berani banget kamu jitak aku. Awas ya!” Bagas bersiap membalas, tapi Anara sudah lebih dulu kabur sambil tertawa.
Bagas tentu tak tinggal diam. Ia mengejar Anara sampai ke kantin, membuat suasana semakin ramai.
Kedekatan mereka tak luput dari pandangan orang-orang. Termasuk Bella, siswi cantik sekaligus anak ketua yayasan. Bella dikenal pintar, tapi sayangnya, ia tidak menyukai Anara—apalagi sejak tahu Bagas dekat dengannya.
“Apaan sih, centil banget,” ketus Bella, memandang sinis.
“Iya, Bell. Jijik banget liatnya,” timpal Maya, teman dekatnya.
Bella mendengus kesal. Ia sudah punya rencana saat melihat Anara semakin mendekat. Dengan sengaja, ia menjulurkan kaki—membuat Anara tersandung dan jatuh.
Orang-orang menatap, sebagian menahan tawa. Tapi Anara tidak menangis. Ia tidak malu. Justru dia bangkit dan tersenyum.
“Aku baik-baik saja, santai... baik-baik aja kok,” ucapnya dengan suara lantang.
Rencana Bella untuk mempermalukannya gagal total.
“Anara, kamu nggak apa-apa?” tanya Bagas yang buru-buru menghampiri.
Ia melihat lutut Anara memar. “Lutut kamu—”
“Ah, nggak apa-apa, Gas. Aku oke. Kamu makan aja dulu, ya. Aku ke UKS,” jawab Anara cepat, lalu berlari pergi sambil tertatih.
Bagas memutar tubuhnya, menatap Bella yang berdiri tak jauh dari sana. Matanya tajam.
“Gue liat semuanya. Lo sengaja bikin Anara jatuh.”
Bella panik, bibirnya bergetar. “Gue—”
“Udah, nggak usah alasan. Selama ini gue diem karena Anara yang minta. Tapi kalau lo kelewatan lagi, gue nggak bakal tinggal diam.” Suara Bagas tegas, dingin.
#Di UKS.
Anara duduk di bangsal. Matanya menyapu ruangan, mencari obat untuk lukanya. Di meja nakas, ia melihat salep.
Saat hendak mengambil, botol itu justru jatuh ke bawah bangsal.
“Ya ampun, pake jatuh segala…” gerutunya.
Ia pun berjongkok, merangkak ke bawah kolong. Begitu menemukan botolnya, Anara hendak keluar—namun kepalanya nyaris terbentur kayu bangsal.
Untung saja…
“Aw!”
Tangan Bagas tepat berada di atas kepalanya, melindungi dari benturan.
“Bagas? Kamu ngapain di sini?” tanya Anara terkejut.
“Ceroboh. Hampir aja benjol,” celetuk Bagas.
Anara duduk lagi di bangsal. “Tadi salepnya jatuh,” ujarnya sambil menunjukkan botol kecil itu.
Bagas menghela napas, lalu meraihnya. “Udah, sini. Biar aku yang olesin.”
Anara tersenyum kecil. Ia diam saat Bagas dengan hati-hati mengoleskan salep di lututnya.
Tak lama kemudian bel berbunyi menandakan jam belajar berikutnya akan dimulai. Bagas dan Anara bergegas memasuki kelas, setelah jam pelajaran selesai. Bagas mengantar Anara pulang dengan sepeda miliknya.
"Gas, sampai sini aja. Makasih ya." Katanya.
Bagas menghentikan sepedahnya,
“Sama-sama. Tapi besok jangan telat lagi, ya. Aku nggak bantuin, serius.”
Anara tertawa. “Siap! Janji nggak telat lagi deh.”
-KEESOKAN HARINYA
Janji tinggal janji. Anara kembali telat.
Kali ini, Bagas benar-benar tidak menolongnya.
“Duh! Tinggi banget nih tembok. Mana bisa aku manjat!” Anara mencoba mencari cara naik ke dinding sekolah yang tinggi.
Saat sedang panik, tiba-tiba seorang siswa cowok melemparkan tasnya ke dalam dan melompati dinding dengan mudah. Sementara Anara baru saja berhasil naik.
“Hei! Boleh bantuin pegangin.”
Pria mendongak, tampan, sangat tampan hingga membuat Anara tertegun. Rambutnya tertata sempurna dengan poni jatuh di dahi. Wajahnya? Tegas. Hidung mancung, rahang tegas, dan mata yang menatap seolah dunia ini terlalu biasa untuknya. Ganteng, tapi bukan tipe yang gampang untuk didekati.
Ia bahkan tak menggubris Anara dan pergi begitu saja.
“Hey! Bantuin dong!” teriak Anara, kesal.
Tak ada jawaban.
Akhirnya ia menarik napas, memejamkan mata. “Oke, nggak ada pilihan. Hitungan ketiga aku lompat… Satu… dua… ti—”
#Brak!
Tiba-tiba pria itu kembali. Di bawahnya sudah ada kotak-kotak tersusun untuk pijakan.
Anara bingung, tapi ia segera turun dan lari masuk kelas. Untung saja ia sampai sebelum guru datang.
“Kamu telat lagi?” tanya Bagas.
“Biasalah,” jawab Anara dengan cengengesan.
Tak lama, guru masuk. Di belakangnya, siswa yang tadi membantu Anara masuk bersama.
“Kalian kedatangan teman baru. Ayo, perkenalkan dirimu,” kata guru.
“Gue Fino,” ucapnya singkat.
“Itu saja?” tanya guru, bingung.
Fino hanya mengangguk. Dingin, tanpa senyum.
“Oke… mungkin dia malu ya, anak-anak. Fino, kamu duduk di bangku kosong di belakang Anara.”.
Baru saja Pak Guru menunjuk bangku kosong di belakang, Anara—entah kenapa—langsung berdiri.
“Iya…” ucapnya spontan.
Seluruh kelas langsung riuh menyorakinya.
“Uuuu~”
“Eaaaa... Anara cari perhatian!”
Pak Guru mengernyit. “Iya apa, Anara?”
Anara tersadar. Astaga, ngapain aku berdiri?!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments