Menginjak usia 20 tahun Arabella zivana Edward telah melalui satu malam yang kelam bersama pria asing yang tidak di kenal nya,semua itu terjadi akibat jebakan yang di buat saudara tiri dan ibu tirinya, namun siapa sangka pria asing yang menghabiskan malam dengan nya adalah seorang CEO paling kaya di kota tempat tinggal mereka. Akibat dari kesalahan itu, secara diam-diam Arabella melahirkan tiga orang anak kembar dari CEO tersebut
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nanda wistia fitri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35
Langit siang tampak cerah, sinar matahari memantul lembut di kaca jendela besar rumah klasik bergaya Inggris itu.
Sebuah mobil hitam berhenti tepat di depan pintu utama. Dari dalamnya, Arabella turun perlahan, memegang tangan Michelle yang menggenggam boneka kecilnya erat-erat.
Dua bocah laki-laki di sisi lain, Dimitry dan Michael, berdiri tegak tapi dengan tatapan hati-hati.
“Tidak apa-apa,” bisik Arabella menenangkan, meski nada suaranya sendiri terdengar gugup.
Nicholas berjalan di depan, mengetuk pintu, dan seorang pelayan membukakan dengan sopan.
“Selamat datang, Tuan Muda,” ucapnya sambil menunduk, lalu menatap Arabella dan anak-anak dengan rasa ingin tahu yang ditahan.
Mereka dibawa ke ruang makan yang luas langit-langit tinggi, lampu kristal berkilau, dan meja panjang berlapis kain putih bersih.
Di ujung meja duduk Damian Alexander, pria tua dengan jas abu-abu rapi, rambut perak tersisir, dan sorot mata tajam yang segera meneliti satu per satu tamunya.
“Jadi ini mereka?” suaranya berat, tapi tidak sekasar yang Arabella bayangkan.
Nicholas mengangguk. “Ya, Kek. Ini Arabella... dan anak-anak.”
Damian menatap Arabella lama sekali.
“Dunia mengatakan banyak hal buruk tentangmu, Nona Arabella. Tapi... dunia juga sering berbohong bukan? ”
Arabella menelan ludah. “Saya tidak pernah berniat membuat keluarga Anda terlibat, Tuan Alexander. Saya datang karena.......?”
“Karena cucu-cucuku berhak tahu siapa keluarga mereka,” Damian memotong lembut tapi tegas. “Duduklah, Nona. Kalian semua, silakan makan.”
Pelayan-pelayan segera menyajikan berbagai hidangan hangat seperti daging panggang, sup, dan buah segar.
Aroma harum memenuhi ruangan.
Michelle tidak banyak bicara. Ia hanya duduk diam, memindahkan kacang polong di piringnya pelan-pelan.
Namun ketika Damian menyodorkan piring kecil berisi potongan kue tart, Michelle menatapnya lama.
Damian tersenyum tipis. “Kau suka yang manis, ya?”
Michelle tidak menjawab. Ia hanya mengambil garpu kecil, lalu menyendok sepotong kue itu ke piring Damian.
Damian terpaku sejenak lalu tertawa kecil. “Anak ini benar-benar berbeda.”
Dimitry menatapnya hati-hati. “Dia jarang bicara, Sir. Tapi dia tahu kalau anda orang yang baik.”
Damian menatap bocah itu, lalu Nicholas.
“Pantas saja... darah Alexander mengalir kuat sekali di mereka.”
Arabella menghela napas pelan. Ia tidak tahu harus bersyukur atau takut.
Makan siang berlangsung dengan hening yang canggung, tapi lambat laun suasana mencair. Damian bertanya tentang sekolah anak-anak, apa yang mereka suka, dan siapa yang paling nakal di rumah.
Untuk pertama kalinya, suara tawa kecil terdengar di ruangan itu.
Setelah makan, Damian membawa mereka ke ruang kerjanya. Di sana sudah ada beberapa kotak besar bertuliskan nama masing-masing anak.
“Untuk mereka,” katanya. “Aku mungkin bukan kakek yang baik, tapi... aku ingin memulai dari sesuatu yang kecil.”
Dimitry membuka kotak itu di dalamnya ada set robot sains dan buku-buku langka.
Michael mendapat model mobil dan kit komputer mini.
Michelle mendapat boneka buatan tangan dari Prancis dengan gaun biru lembut.
Arabella menatap semua itu dengan mata memerah. “Anda tidak perlu repot, Tuan Alexander...”
“Panggil aku kakek,” Damian menatapnya lembut. “Kau sudah cukup lama berjuang sendirian, Arabella.”
Arabella menunduk. Suaranya bergetar. “Saya hanya ingin anak-anak hidup normal.”
Damian menatap Nicholas.
“Dan kau, Nicholas... kau pikir dengan membiarkan gadis ini memikul beban sendirian, kau bisa menebus kesalahan?”
Nicholas terdiam lama. “Tidak, Kek. Karena itu saya datang hari ini. Saya ingin memperbaiki semuanya.”
Damian bangkit perlahan, bertumpu pada tongkat kayu hitamnya.
“Kalau begitu, lakukan dengan cara yang benar.”
Nicholas menatap kakeknya. “Apa maksud Kakek?”
“Menikah lah dengan dia,” kata Damian tegas.
Suasana seketika sunyi. Hanya terdengar detak jam antik di dinding.
Arabella menatapnya tak percaya. “Tuan... "
Damian mengangkat tangan. “Kau melahirkan darah Alexander. Dunia boleh mengatakan apapun, tapi di bawah atap rumah ini, kau adalah ibu dari pewaris kami. Dan itu cukup untuk membuatmu layak berdiri di samping cucuku.”
Nicholas menatap Arabella. Matanya bergetar antara rasa bersalah, lega, dan takut kehilangan.
“Bella... aku tahu aku tak pantas, tapi izinkan aku menebus semuanya. Aku tak akan memaksamu, tapi tolong... biarkan aku berada di sisi kalian.”
Arabella menggenggam tangan Michelle erat-erat. Anak kecil itu masih diam, tapi kini menatap Nicholas lama.
Lalu tanpa bicara, Michelle meraih tangan Arabella dan menaruhkannya di atas tangan Nicholas.
Gerakan kecil itu membuat Nicholas menunduk hampir saja air mata jatuh dari matanya.
Damian tersenyum puas, meski matanya basah.
“Mungkin, cucuku yang kecil lebih tahu apa yang benar,” katanya lirih.
Ruangan itu mendadak sunyi.
Suara jam antik yang berdetak di dinding terasa begitu nyaring.
Arabella berdiri pelan, kedua tangannya mengepal di sisi tubuh. Wajahnya tenang, tapi matanya menyimpan luka yang sulit dijelaskan.
“Maaf, Tuan...” suaranya nyaris bergetar, namun tetap jelas.
“Aku tidak bisa menikah dengan Nicholas.”
Damian mengangkat alis, napasnya tertahan.
Nicholas menatap Arabella dengan pandangan kaget ia tidak menyangka penolakan itu akan terdengar setegas itu di depan kakeknya.
Arabella melanjutkan, matanya menatap lurus ke depan, ke arah Damian.
“Tidak ada wanita yang dilecehkan, lalu bersedia menikahi orang yang melecehkannya. Tidak peduli seberapa besar maaf yang diucapkan, luka itu tidak akan hilang.”
Suara di tenggorokannya tersendat, tapi ia tidak berhenti.
“Lagipula... aku tidak pernah mencintai Nicholas. Rasanya....” ia menelan ludah, berusaha menahan air mata, “rasanya aneh sekali bila kami tiba-tiba menikah hanya karena masa lalu yang kelam.”
Nicholas berdiri, wajahnya menegang.
“Arabella, aku tahu aku salah. Tapi waktu itu aku tidak sadar... aku mabuk berat, dan aku....”
“Berhenti, Nicholas.” Arabella menatapnya, tajam namun tenang.
“Kesadaranmu atau tidak, itu tidak menghapus kenyataan bahwa aku harus menanggung aib itu sendirian. Aku kehilangan segalanya, bahkan identitasku. Sementara kau… tetap hidup dengan nama besar Alexander di belakangmu.”
Nicholas tak bisa membalas.
Kata-kata itu seperti pisau dingin yang menembus dadanya, tapi ia tahu setiap kata Arabella benar.
Damian memejamkan mata sejenak. “Nicholas " ucapnya perlahan, “kau tahu, bukan hanya kesalahanmu yang berat, tapi juga penebusannya.”
“Aku tahu, Kek.” suara Nicholas serak.
“Tapi aku tak ingin menebusnya dengan paksaan. Aku hanya ingin berada di sisi mereka... tanpa memaksa Bella mencintaiku.”
Arabella menunduk.
Untuk sesaat, keheningan menyelimuti ruangan.
Damian akhirnya menghela napas panjang. “Kau wanita yang kuat, Arabella. Aku menghormatimu untuk itu. Tapi ingatlah, rumah ini akan selalu terbuka untukmu dan anak-anakmu.”
Arabella tersenyum tipis, matanya mulai berkaca-kaca.
“Terima kasih, Tuan Alexander. Itu lebih dari cukup bagi kami.”
Michelle menggenggam tangan Arabella erat-erat, sementara Nicholas hanya bisa menatap dari jauh saat Arabella pamit pulang,antara penyesalan dan rasa kagum yang menyesakkan dada.
Ketika mereka bersiap pergi, Damian menatap cucunya dengan pandangan berat.
“Cintamu pada gadis itu mungkin tidak akan mudah diterima, Nicholas. Tapi bila kau benar-benar ingin menebus kesalahanmu, lakukan dengan cara yang terhormat. Lindungi dia… bahkan jika itu berarti kau harus kehilangan dia.”
Nicholas menunduk. “Aku akan melakukannya, Kek.”
Dan di balik langkah pelan Arabella yang meninggalkan rumah besar itu, Nicholas tahu
pertempurannya baru saja dimulai.
bella terima nicholas ya