Ratu Ani Saraswani yang dihidupkan kembali dari kematian telah menjadi "manusia abadi" dan dianugerahi gelar Ratu Sejagad Bintang oleh guru ayahnya.
Aninda Serunai, mantan Ratu Kerajaan Siluman yang dilenyapkan kesaktiannya oleh Prabu Dira yang merupakan kakaknya sendiri, kini menyandang gelar Ratu Abadi setelah Pendekar Tanpa Nyawa mengangkatnya menjadi murid.
Baik Ratu Sejagad Bintang dan Ratu Abadi memendam dendam kesumat terhadap Prabu Dira. Namun, sasaran pertama dari dendam mereka adalah Ratu Yuo Kai yang menguasai tahta Kerajaan Pasir Langit. Ratu Yuo Kai adalah istri pertama Prabu Dira.
Apa yang akan terjadi jika ketiga ratu sakti itu bertemu? Jawabannya hanya ada di novel Sanggana ke-9 ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rudi Hendrik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
10. Tiga Pendekar Sanggana
Pasukan gabungan dari Kerajaan Pasir Langit dan Kerajaan Sanggana Kecil dipimpin oleh tiga pendekar sakti. Ketiga pendekar itu menunggang kuda.
Pendekar pertama bernama Pangkur Sawal yang berjuluk Penjebak Kepeng. Sosoknya seorang pemuda berhidung pesek, tetapi memiliki alis yang tebal, sehingga masih ada jejak kegantengan di wajahnya. Perawakannya biasa saja, seperti lelaki yang bukan pekerja berat. Sepertinya dia bukan pemuda yang suka merindu. Dia mengenakan pakaian warna hitam-hitam tanpa berbekal senjata tajam atau tumpul. Itu karena senjatanya adalah kepeng, itupun kepeng edisi khusus yang dicetak terbatas.
Pendekar kedua bernama Penyair Ngik Ngok. Jangan ditanya apa arti atau maksud dari julukannya itu. Dia seorang lelaki gemuk yang pastinya berperut gendut. Rambutnya pendek agar terlihat masih memiliki leher. Ia berjubah biru agar gemuknya tidak terlalu merusak pemandangan. Dia terlihat tidak bersenjata, tapi entah apa yang ada di balik jubahnya.
Pendekar ketiga bernama Sari Sani, berjuluk Perempuan Angin Bangkai. Wanita berusia tiga puluh tahun itu bertubuh gemuk dengan kulit warna gelap, tetapi tidak terlalu gelap. Dia berbekal kendi besar berwarna hijau terang. Sepertinya itu bagian dari senjatanya. Biarkan menjadi misteri, bangkai apa yang dimilikinya sehingga kata Bangkai melekat di identitas kependekarannya.
Mereka bertiga merupakan anggota dari Pasukan Pengawal Dewi Bunga Pertama. Jadi ceritanya seperti ini.
Prabu Dira Pratakarsa Diwana yang merupakan raja dari Kerajaan Sanggana Kecil, memiliki dua belas istri dengan satu istri berstatus “mendiang” alias sudah mati. Namun, hanya delapan istri yang menyandang gelar Dewi Bunga. Setiap istri Prabu Dira diberi sepuluh pendekar sakti sebagai pengawal pribadi. Para pengawal itulah yang dinamakan Pasukan Pengawal Dewi Bunga.
Penjebak Kepeng, Penyair Ngik Ngok dan Perempuan Angin Bangkai merupakan tiga dari sepuluh pendekar Pasukan Pengawal Dewi Bunga Pertama.
Dewi Bunga Pertama adalah istri pertama Prabu Dira yang bernama Permaisuri Tutsi Yuo Kai yang bergelar Permaisuri Negeri Jang. Gelar itu disematkan karena Permaisuri Yuo Kai memang berasal dari Negeri Jang. Jangan ditanya di mana letak negeri tersebut.
Namun kini, gelar Permaisuri Negeri Jang telah berganti menjadi Ratu Negeri Jang setelah sang permaisuri itu menjadi penguasa dan ratunya Kerajaan Pasir Langit. Demikianlah penjelasan sederhananya.
Penjebak Kepeng menjadi pemimpin tertinggi dalam pasukan gabungan tersebut.
Sementara itu, Pasukan Kaki Gunung dipimpin oleh Komandan Serut Perut dan Pasukan Buaya Samudera dipimpin oleh Perwiramadya Tanggal Muda.
Selain para pemimpin pasukan itu, masih ada satu pemimpin yang belum diperkenalkan.
Orang itu tidak berkuda, tetapi duduk di kereta yang ditarik kuda. Dia seorang lelaki tampan untuk ukuran seusianya, yaitu separuh baya. Fisiknya berkulit cerah dan bersih, gemuk berperut gendut selayaknya pejabat pada umumnya. Dia mengenakan pakaian warna putih dengan bawahan hijau gelap berbahan sutera. Rambutnya digelung di atas kepala dan sejumlah perhiasan emas terlihat berkilau pada dirinya. Dialah Adipati Kubis Ganda, pemimpin dan penguasa Kadipaten Ombak Lelap yang kini diduduki oleh Kentang Kebo.
Kereta kuda Adipati Kubis Ganda yang berwarna kuning, dikawal oleh sepuluh prajurit berseragam biru-biru. Seragamnya sama dengan prajurit Pasukan Keamanan Kadipaten.
Meski Kubis Ganda seorang adipati dan kini berada di daerahnya sendiri, tetapi ketiga Pendekar Pengawal Dewi Bunga tetap pemimpinnya karena mereka jauh lebih dekat kepada Ratu Tutsi Yuo Kai.
“Gusti, Pasukan Keamanan Kadipaten menyambut kepulangan kita,” ujar sais kereta sambil menengok kepada Adipati Kubis Ganda.
Mengerut dahi sang adipati. Dia segera melongokkan wajahnya ke luar dan memandang jauh ke depan.
“Apakah kau lihat mereka seperti menyambut?” tanya Adipati kepada kusirnya, setelah mengamati pagar prajurit di depan sana.
Si kusir tidak segera menjawab.
“Itu seperti berniat menghadang,” kata Adipati lagi sebelum kusirnya berkata. “Sepertinya telah terjadi sesuatu di Ibu Kota. Apakah mereka tidak mengenali kereta kudaku?”
Drap drap drap!
Terdengar lari seekor kuda datang mendekat. Saat Adipati Kubis Ganda melihat, yang datang mendekat adalah pendekar gemuk yang bernama Sari Sani alias Perempuan Angin Bangkai.
“Gusti Adipati, kenapa Pasukan Keamanan Kadipaten menutup jalan kita?” tanya Sari Sani setelah tiba di sisi kiri kereta kuda.
“Aku pun tidak mengerti. Sepertinya terjadi sesuatu di Ibu Kota,” jawab sang adipati.
“Sepertinya mereka menantang perang,” kata Sari Sani. “Heah heah!”
Wanita gemuk itu lalu menggebah kudanya meninggalkan kereta kuda dan kembali menuju Pangkur Sawal alias Penjebak Kepeng.
Setelah mendapat keterangan dari Sari Sani, Pangkur Sawal hanya mengangguk sekali. Mereka tetap bergerak maju untuk lebih mendekat.
Terlihat jelas bahwa Pasukan Keamanan Kadipaten dalam posisi formasi siap perang. Jumlah mereka sangat jelas hanya setengah dari pasukan tamu. Terlihat pula Komandan Ulung Gabah yang berkuda berposisi di belakang barisan, bukan di depan.
Setelah jarak kedua pasukan sekitar sejangkauan anak panah, Pangkur Sawal mengangkat tangan kanannya, memberi tanda kepada rombongan besarnya untuk berhenti.
“Berhentiii!” teriak Komandan Serut Perut seraya mengangkat pula tangannya yang dipatuhi oleh pasukannya dengan berhenti.
“Berhentiii!” teriak Perwiramadya Tanggal Muda pula, melakukan hal yang sama, tapi itu bukan karena dia latah.
Kusir kereta kuda pun menghentikan lari kuda.
Sejenak suasana hening, meski ada ratusan orang di area itu.
Tiba-tiba bagian tengah Pasukan Keamanan Kadipaten bergerak membuka, menciptakan jalan. Dari belakang pasukan muncul sebuah kereta kuda berbak terbuka yang memiliki payung hasil kerajinan janur.
Di posisi kusir duduk dua lelaki yang memakai pakaian warna mencolok, yaitu hijau dan jingga. Sedangkan lelaki yang duduk di belakang memakai pakaian warna putih. Lelaki baju putih itu tidak lain adalah Kentang Kebo yang dibersamai oleh Suoto dan Marno.
Kereta kuda itu maju ke depan barisan prajurit berseragam biru-biru. Rupanya Komandan Ulung Gabah mengiringi. Jadi, perwira berbadan kekar itu kini ada pula di depan barisan, tidak lagi berlindung di bawah ketiak anak buahnya. Namun, kini dia berlindung di bawah ketiak Kentang Kebo yang mungkin lebih harum, atau sebaliknya.
“Keparat setan!” maki Adipati Kubis Ganda tiba-tiba, terkejut dan marah. “Orang itu memakai bajuku. Siapa dia?”
“Jangan-jangan … itu orang yang bernama Kentang Kebo, Gusti,” timpal kusirnya.
“Istriku, anakku!” ucap Adipati terkejut lagi. Pikiran tentang hal buruk menimpa keluarga besarnya seketika muncul di dalam kepalanya karena pikiran itu ada di dalam kepala.
Buru-buru Adipati Kubis Ganda turun dari bilik kereta. Seorang prajurit segera mendekat, tapi hanya mendekat. Ketika Adipati berlari kecil pergi menuju posisi ketiga Pendekar Pengawal Dewi Bunga di depan, prajurit itu ikut berlari mengawal.
“Bentuk Formasi Pagar Laut!” teriak Perwiramadya Tanggal Muda memberi perintah kepada pasukannya.
“Siap!” sahut lima puluh prajurit berbadan kekar berotot kencang yang telanjang dada. Suara mereka yang kompak dan tegas mengirim gelombang serangan psikis kepada pasukan lawan yang sebelumnya sudah kalah mental.
Maka lima puluh prajurit berbadan kekar itu segera bergerak setengah cepat membuat formasi pagar manusia. Mereka membuat barisan satu saf di belakang kuda Perwiramadya Tanggal Muda dan ketiga pendekar pemimpin mereka.
Meski judulnya Formasi Pagar Laut, tetapi formasi mereka tidak beda dengan formasi pagar darat.
“Gaya!” seru Tanggal Muda lagi setelah melihat pasukannya berbaris rapi.
Sontak kelima puluh lelaki berpanah itu melakukan satu gerakan, lalu mematung dengan pose gaya masing-masing. Meski berbeda gaya, tetapi pada umumnya mereka mengencangkan otot untuk dipamerkan. Ada yang menonjolkan otot lengan, ada yang pamer otot dada, otot perut, otot punggung, hingga otot bokong. Padahal hanya Sari Sani satu-satunya wanita di tempat itu.
“Hahaha…!” tawa Sari Sani terbahak-bahak melihat gaya Pasukan Buaya Samudera.
“Hahaha…!” terdengar pula tawa keras seorang lelaki dari posisi pasukan lawan.
Suara tawa Kentang Kebo itu kemudian diikuti oleh tawa banyak orang di barisannya.
Namun, gaya Pasukan Buaya Samudera berdurasi hanya setengah menit.
“Formasi Siaga Perang!” teriak Komandan Serut Perut kepada pasukannya.
Drap drap drap…!
Pasukan Kaki Gunung segera bergerak membentuk formasi barisan melebar beberapa lapis di belakang Formasi Pagar Laut Pasukan Buaya Samudera. Mode formasi yang mereka buat menunjukkan bahwa mereka siap maju berperang dengan ciri tombak diarahkan ke depan.
“Pendekar Penjebak Kepeng, orang di kereta kuda itu memakai bajuku. Dia pasti telah berbuat sesuatu kepada keluargaku!” ujar Adipati Kubis Ganda setibanya di dekat kuda Pangkur Sawal.
“Aku akan pastikan nasib keluargamu, Gusti Adipati,” jawab Pangkur Sawal. “Tunggulah di kereta, biar kami yang mengatasi hambatan ini.”
“Sepertinya orang itu yang bernama Kentang Kebo,” kata Adipati lagi sebelum pergi.
“Oh!” desah Pangkur Sawal sambil manggut sekali.
Adipati Kubis Ganda pun berbalik pergi untuk kembali ke kereta. Prajurit yang mengawalnya ikut serta.
Sepertinya perang akan pecah. (RH)