"Aku hanya minta satu tahun, Jingga. Setelah melahirkan anak Langit, kau bebas pergi. Tapi jangan pernah berharap cinta darinya, karena hatinya hanya milikku.” – Nesya.
_______
Di balik senyumnya yang manis, tersimpan rahasia dan ambisi yang tak pernah ku duga. Suamiku terikat janji, dan aku hanyalah madu pilihan istrinya—bukan untuk dicinta, tapi untuk memenuhi kehendak dan keturunan.
Setiap hari adalah permainan hati, setiap kata adalah ujian kesetiaan. Aku belajar bahwa cinta tidak selalu adil, dan kebahagiaan bisa datang dari pilihan yang salah.
Apakah aku akan tetap menanggung belenggu ini… atau memberontak demi kebebasan hati?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nuna Nellys, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
3. Pertahanan & Penghinaan
...0o0__0o0...
..."Berdamailah dengan wanita yang sudah menjadi madumu," kata Langit, menatap Nesya dengan mata yang tajam, seakan menembus seluruh lapisan jiwanya....
..."Abi, cukup! Aku mohon… jangan ucapkan kata-kata itu!" Nesya menjerit, wajahnya memerah. "Aku bisa saja menganggap dia sebagai adik ku, tapi tidak dengan maduku. Karena dia hanya istri sementara!"...
...Langit menggeleng, menahan diri untuk tidak membalas. Ia memilih diam dan melangkah pergi. Namun suara istrinya menghentikan langkahnya, lembut tapi menuntut:...
..."Abi, tunggu… aku tahu kemarahan mu hanyalah sesaat. Aku tahu Abi kecewa padaku, tapi… aku yakin Abi tidak akan pernah jatuh cinta pada wanita seperti Jingga. Aku memilihnya untuk melahirkan anak kita, karena aku yakin Abi tidak tergoda wanita buruk seperti dia. Setelah Jingga melahirkan, Abi bisa menceraikan-nya… dan kita bisa kembali bahagia seperti dulu."...
...Langit memejamkan mata, menarik napas panjang. Hatinya beristighfar. Lima tahun bersamanya, dan ternyata istrinya bisa berpikir sepicik itu—menganggap cinta, kesetiaan, dan moral sebagai sesuatu yang bisa ditawar....
..."Nesya… jangan melupakan masa lalumu saat ingin merendahkan orang lain," suaranya tegas, tapi terkendali. "Aku tidak ingin mengungkit masa lalumu, tapi bercermin lah sebelum menghina orang. Apa yang kau katakan tentang Jingga… keterlaluan."...
...Nesya menunduk, matanya berkaca-kaca. Di dalam hatinya, ada ribuan suara yang bertarung: rasa bersalah, marah, dan rasa iri yang perlahan menyala....
...“Aku… aku bukan wanita yang buruk. Aku hanya ingin… aku hanya ingin Abi kembali mencintaiku sepenuhnya. Apa salahnya aku merencanakan hidup kita seperti ini? Jingga hanyalah penghalang… dan aku tidak bisa membiarkan hal itu terjadi…” pikir Nesya, napasnya bergetar....
..."Satu lagi, Nesya… dulu kita orang asing. Tapi karena perjodohan orang tua, aku bisa mencintai mu. Dan aku tidak bisa menjamin hal yang sama tidak terjadi pada istri kedua ku," kata Langit, suaranya dingin seperti besi....
...Air mata mengalir deras di pipi Nesya. Kata-kata Langit menamparnya, menyadarkan-nya bahwa sikap egois dan kepicikan hatinya terlalu nyata. Namun di balik kesedihan-nya, muncul sedikit rasa kemenangan:...
...“Jika Abi bisa mencintai istri kedua, mungkin aku bisa melakukan sesuatu… sesuatu yang membuat ku tetap di posisi teratas dalam hatinya. Aku tidak akan kalah… tidak akan!”...
..."Nesya… aku sangat mencintai mu. Mungkin kau bisa menuntut ku untuk tidak mencintai wanita lain. Tapi kau tidak bisa menuntut ku menjadi suami yang tidak adil pada kedua istriku," tutup Langit, lalu pergi meninggalkan-nya....
...Nesya menatap punggung kekar suaminya, lalu terjatuh berlutut di lantai. Isak tangisnya pecah, membasahi lantai yang dingin....
...Namun di balik air mata itu, ada perhitungan yang tumbuh perlahan: ego dan kepicikan yang selama ini tersembunyi kini menguasai dirinya sepenuhnya....
...Perlahan, tanpa sadar, ia menyiapkan jalan yang bisa menghancurkan hidupnya sendiri—dan mungkin hidup orang lain juga....
...0o0__0o0...
...Ceklek…!...
...Pintu kamar terbuka pelan dari luar....
...Langit melangkah masuk, dan seketika itu juga, tubuh Jingga kaku seperti terbuat dari es. Matanya membesar, menatap sang suami dengan rasa takut yang bercampur penasaran....
...“Kenapa kamu menatapku seperti itu?” suara Langit terdengar lembut, tapi tegas, memecah keheningan yang tegang....
...“Ah… tidak, kak. Aku… aku cuma ingin minta maaf atas sikapku tadi. Aku… membuat semua orang tidak nyaman saat sarapan pagi,” suara Jingga gemetar, bibirnya hampir tak bisa membentuk kata-kata....
...Langit tersenyum tipis, hampir tak terlihat, tapi cukup untuk membuat dada Jingga berdebar. Kata-kata istrinya membuatnya kagum—kagum pada keberanian kecil yang tersembunyi di balik wajah polos itu....
...“Apa yang kamu katakan tadi benar, Dek. Tapi kalau Syanas menasehati soal kebenaran, dengarkanlah. Anggap dia seperti kakakmu sendiri,” ucap Langit bijak, tapi matanya tetap menatap Jingga dengan penuh perhatian....
...“Baiklah… aku paham, kak,” jawab Jingga, suaranya lebih mantap, meski masih tersipu....
...Rasya mengangguk singkat, lalu mengambil jam tangan di atas nakas dan memakainya dengan cekatan. Sementara Jingga sibuk memasukkan beberapa buku ke dalam tasnya....
...“Apa yang kamu lakukan?” tanya Langit, raut wajahnya menunjukkan heran yang tak bisa disembunyikan....
...“Aku… mau bersiap ke kampus,” jawab Jingga cepat, seakan ingin menutupi sedikit rasa gugupnya....
...Langit mengerutkan kening, sedikit terkejut. Nikah mendadak membuatnya tidak tahu bahwa istri kecilnya ternyata seorang mahasiswa....
...“Kamu kuliah?” tanya Langit, mencoba memastikan....
...“Iya… memangnya, kak Lang—”...
...Ucapan Jingga terhenti ketika Langit tiba-tiba menempelkan jari telunjuknya ke bibir tipisnya....
...Jingga menahan napas. Wajahnya, yang seputih susu, langsung memerah seperti buah tomat matang. Sensasi sentuhan lembut itu membuat jantungnya berdegup tak menentu....
...“Maaf…” kata Langit, suaranya pelan, lalu ia menarik tangannya perlahan dan menundukkan pandangan....
...Keduanya terdiam, salah tingkah. Ada keheningan yang penuh dengan perasaan yang tak diucapkan, seolah waktu berhenti sebentar di kamar itu....
...“Apa… yang ingin kamu katakan, kak?” suara Jingga terbata, matanya menatap Langit dengan campuran rasa malu dan penasaran....
...“Kalau boleh… panggil aku Abi saja,” suara Langit terdengar lembut, namun ada nada berharap di baliknya....
...“Hah?!” Mata Jingga membulat lebar. Tentu ia tidak mau. Itu adalah panggilan khusus istri pertama. Ia belum siap melewati batas itu....
...“Tidak… aku tidak bisa. Lagipula, usia kita terpaut jauh. Lebih cocok aku panggil kakak saja,” jawab Jingga, tegas tapi suaranya bergetar....
...Langit menahan tawa, tapi matanya berbinar menatap wajah lucu istrinya yang protes dengan penuh semangat....
...“Kalau begitu, panggil saja ‘mas’… tapi nanti dikira tukang cilok. Ah, sudahlah, memang lebih cocok kakak saja. Cocok dengan wajah gantengmu,” oceh Jingga, setengah bercanda, setengah gugup....
...“Hem… ya sudah. Asal jangan panggil nama suamimu saja. Itu tidak sopan,” balas Langit sambil menahan senyum, tapi matanya tetap menatap Jingga dengan penuh rasa hangat....
...Jingga terkekeh pelan, heran melihat sikap suaminya yang bisa lembut sekaligus dingin....
...“Ok, kak… kalau gitu, kita kayak keponakan sama paman aja ya, kalau berhadapan seperti ini?” tanya Jingga polos....
...Langit menatap tajam, hatinya berdebar. Ia tidak terima di sebut paman. "Berani sekali dia nyamain aku dengan paman-paman." Dumel-nya....
...Ia merasa masih cukup tampan di usia kepala tiga, sedangkan istrinya baru berusia 20 tahun. Namun di balik tatapannya, ada rasa hangat yang samar, seolah ingin mengatakan bahwa baginya, Jingga tetaplah istimewa....
...Jingga baru saja menata tasnya ketika matanya menatap jam di pergelangan tangan....
...“Ah… aku terlambat!” teriaknya kecil. Tubuhnya hampir panik, tangan gemetar saat mencoba merapikan buku-buku yang terserak....
...Langit, yang melihat kepanikan istrinya, segera melangkah mendekat. “Tenang… aku antar kamu ke kampus. Tidak usah terburu-buru sendiri,” ucapnya, suaranya lembut tapi tegas....
...Jingga menatapnya dengan mata terbelalak. “Eh… kak Lang… itu—tidak usah repot, aku bisa naik angkot sendiri,” jawabnya, namun nadanya terdengar ragu....
...“Tidak, aku tetap mengantar. Lagipula, aku ingin memastikan kamu sampai dengan selamat,” balas Langit tegas....
...Belum sempat mereka keluar pintu, suara Nesya terdengar dari ruang tamu....
...“Jingga, mau ke mana begitu buru-buru ?” Nesya menatap tajam. Senyum dinginnya jelas tergambar di wajahnya saat matanya menyoroti pada Jingga....
...“Ke kampus, kak,” jawab Jingga gugup, berusaha menjaga nada suaranya tetap sopan....
...“Kampus ? Ha! Jangan mengelabui aku. Jangan-jangan kamu mau pergi ke klub malam lagi, ya ? Memakai alasan kuliah, tapi niatmu lain ?” Nesya menertawakan Jingga dengan nada mengejek dan penuh penghinaan....
...“Ingat, kamu sudah terikat kontrak. Aku tidak mau rahim mu ternoda lagi, gara-gara kamu sering keluar masuk klub,” tambah Nesya, suaranya semakin dingin....
...Jingga menahan diri, tubuhnya kaku. Jantungnya berdegup kencang, malu sekaligus takut. Namun ia menatap lurus dan membalas dengan tegas, “Meskipun aku pernah kerja di klub, bukan berarti rahim ku sudah ternoda, dan bukan berarti kesucian ku juga hilang.”...
...Langit menatap Nesya, matanya menajam. “Cukup, Nesya. Jingga benar-benar pergi ke kampus. Jangan lagi menghina atau merendahkan-nya. Aku tidak ingin mendengar kata-kata seperti itu keluar dari mulutmu,” tegas Langit, nada suaranya dingin tapi tetap terkendali....
...Jingga menundukkan kepala, namun hatinya terasa lega. Meski Nesya masih menatapnya penuh sinis, ia tahu sekarang Langit berdiri di sisinya, melindungi dan membelanya....
...Nesya terkekeh sinis, namun tidak berani membantah lebih jauh, melihat tatapan tajam Langit. Ia hanya melirik Jingga sebentar, lalu berbalik masuk ke ruangan-nya....
...Jingga menghela napas panjang, tubuhnya masih gemetar. Langit menepuk lembut bahunya....
...“Sudah, jangan takut. Aku akan mengantar, dan setelah ini, kamu tidak perlu khawatir tentang siapa dirimu di masa lalu. Karena aku tidak akan pernah mem-permasalahkan itu.” ucap Langit sambil membantu Jingga menenteng tasnya....
...Saat mereka melangkah keluar, udara yang sejuk seakan menghapus sedikit ketegangan. Jingga menatap Langit dengan campuran kagum dan gugup....
...“Terima kasih, kak…,” bisiknya pelan....
...“Tidak usah dipikirkan. Tinggal duduk manis di mobil, aku yang urus semuanya,” jawab Langit sambil tersenyum. Ada sedikit rasa hangat di matanya yang membuat dada Jingga berdebar....
...0o0__0o0...
baca cerita poli²an tuh suka bikin gemes tp mau gk dibaca penasaran bgt 😂