"Seharusnya, bayi ini tidak ada dan menghancurkan masa depanku!"
Kata-kata yang keluar dari mulut Nadia Lysandra Dirgantara, membuat perasaan Ezra Elian hancur. Keduanya terpaksa menikah akibat kecelakaan yang membuat Nadia hamil. Namun, pernikahan keduanya justru terasa sangat dingin.
"Lahirkan bayi itu, dan pergilah. Aku yang akan merawatnya," putus Ezra.
Keduanya bercerai, meninggalkan bayi kecil bersama Ezra. Mereka tak saling bertemu. Hingga, 4 tahun kemudian hal tak terduga terjadi. Dimana, Nadia harus kembali terlibat dengan Ezra dan menjadi ibu susu bagi putri kecil pria itu.
"Kamu disini hanya sebatas ibu susu bagi putriku, dan jangan dekati putraku seolah-olah kamu adalah sosok ibu yang baik! Jadi ... jaga batasanmu!" ~Ezra
"Bibi Na, kita milip yah ... liat lambut, milip!" ~Rivandra Elios
Bagaimana Nadia akan menjalani kehidupannya sebagai ibu susu dari putri mantan suaminya?
"Aku bukan ibu yang baik Ezra, tapi aku ingin putraku tahu bahwa aku adalah ibunya!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kenz....567, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kopi kenangan
“Kamu mau ke dapur, kan? Sekalian buatkan saya kopi, ya. Nanti antarkan ke ruang kerja saya. Terima kasih.” Ezra hanya mengatakan itu singkat, lalu pergi begitu saja tanpa menunggu jawaban.
Nadia menghela napas lega. Jantungnya yang tadi berdegup kencang karena panik perlahan mereda. Kakinya hampir saja tak kuat menopang tubuhnya, karena ia benar-benar mengira Ezra telah mengenalinya.
“Astaga, cuma minta kopi ternyata. Kupikir dia sadar keberadaanku ....” gumam Nadia pelan.
Ia buru-buru kembali ke kamar dan memakai maskernya kembali. Setelah itu, ia pergi ke dapur. Tujuannya dua, mencuci botol susu Rivan, dan membuat kopi untuk Ezra.
Namun, saat membuat kopi, Nadia sedikit kebingungan. Di depannya berjejer banyak toples tanpa label. Satu per satu ia buka, ada yang berisi garam, krimer, bubuk cokelat, dan lainnya. Hingga akhirnya ia menemukan gula.
Ia mengambil satu sendok makan penuh, menaburkannya ke dalam kopi panas yang baru diseduhnya. Tangannya sedikit ragu untuk mengaduknya.
"Kopi itu pahit, gula segini cukup enggak, ya? Tapi ... ini enggak sebanyak waktu dulu kok."
Sejujurnya, Nadia tidak suka kopi. Bahkan ia sama sekali tak tahu cara membuat kopi dengan takaran yang pas. Dulu, hanya sesekali ia mencoba membuatkan untuk Ezra, tapi selalu gagal dan berakhir terlalu manis.
Setelah kopi siap, Nadia mencari ruangan yang disebut ruang kerja. Ia memperhatikan pintu-pintu yang terbuka. Saat menemukannya, langkahnya terasa semakin berat. Hatinya diliputi kegelisahan. Ia ingin segera kembali ke kamar.
Tok! Tok!
Ezra yang sedang menatap layar laptopnya menoleh. Matanya menangkap sosok pengasuh anaknya datang menghampiri dengan secangkir kopi di tangan. Wajah pria itu menyambut tanpa ekspresi berarti.
“Letakkan di sana. Terima kasih dan maaf merepotkanmu.”
Nadia mengangguk pelan. Ia meletakkan kopi di meja, tepat di samping laptop Ezra. Saat hendak berbalik, suara pria itu menghentikannya.
“Flu mu belum juga sembuh? Padahal sudah lebih dari seminggu. Sudah minum obat?”
Nadia mengangguk. Tangannya saling menggenggam dengan cemas. Ia tak ingin membuka suara.
Ezra memperhatikan gelagat itu dengan dahi mengernyit. “Apa tenggorokanmu juga sakit?”
Nadia kembali mengangguk, namun sedetik kemudian menggeleng. Jawaban yang saling bertolak belakang itu membuat Ezra tambah bingung.
“Kamu tidak perlu takut dengan saya. Cukup jawab saja.”
Nadia berdehem. “Sa—sa …,”
Namun suara tangisan Azura tiba-tiba terdengar dari kamar. Nadia segera memanfaatkan momen itu untuk pergi dari ruangan tanpa berkata apa-apa lagi. Langkahnya terburu-buru, menyisakan keheranan di wajah Ezra.
"Apa yang terjadi dengan pengasuh itu? Dia seperti menghindar. Seperti ... takut padaku. Atau mungkin ... dia trauma dengan laki-laki?"
Ezra menggeleng, berusaha tak terlalu memikirkan. Ia meraih cangkir kopinya dan mulai menyeruput.
Byuur!
Tanpa diduga, kopi itu langsung ia munt4hkan. Rasa manis menyengat membuat kepalanya nyeri dan lidahnya seakan keram.
“Manis banget! Dia enggak ngerti cara buat kopi atau gimana sih?!”
Wajah Ezra memerah, ekspresi kesalnya nyata. Ia meletakkan cangkir dengan sedikit keras, mengambil tisu dan mengelap mulutnya. Namun, gerakan tangannya terhenti. Sebuah memori muncul dalam benak dan ingatannya.
"Kamu yang membuatkan kopi untukku?"
"Iya, kamu memintanya tadi. Setelah ini, belikan aku bubur kacang hijau. Aku ngidam banget. Uangmu masih ada kan?"
"Tapi kopi ini manis sekali. Berapa sendok gula yang kamu pakai, Nadia?"
"Cuma dua."
"Dua?!"
Pandangan Ezra mengeras. Kopi itu ... terlalu familiar. Rasa manisnya membawanya kembali pada masa lalu. Walau tak semanis saat itu, tapi jelas rasa ini sama. Seolah rasa yang sama ditarik dari waktu yang berbeda.
"Apa aku merindukannya? Sampai-sampai pengasuh itu pun terlihat mirip? Astaga, Ezra ... kamu b0d0h kalau masih mengingatnya."
Ia memukul pelan kepalanya sendiri, lalu menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi. Jari jemarinya menyisir rambut ke belakang. Matanya terpejam, namun pikiran justru terbuka oleh kenangan masa lalu.
Perlahan, ia membuka matanya kembali. Menatap langit-langit ruang kerjanya dengan tatapan kosong.
"Nadia ... kamu menghancurkan semua niat baik dan tulusku. Semoga kamu merasakan apa yang aku rasakan. Dihancurkan oleh orang yang paling kamu cintai."
.
.
.
Nadia mendapat kabar bahwa kondisi Dipta, sang papa sudah membaik. Kerinduan pada kedua orangtuanya mendorongnya untuk menjenguk, meski hanya sebentar. Ia meminta izin pada Astrid. Ia berjanji hanya akan pergi selama dua jam. ASI untuk Azura juga sudah cukup banyak di kulkas. Meskipun sering memberikan sebagian pada Rivan, produksi ASInya tetap berlimpah.
“Bener ya, Nad? Jangan lama-lama. Aduh ini bayi kalau jauh dari kamu, nangis terus. Kalau udah nangis, kepala saya bisa pecah. Kayak satu kabupaten harus tahu dia nangis!” gerutu Astrid.
Nadia tersenyum, “Iya, Nyonya. Saya akan kembali kurang dari dua jam.”
Ia menunduk, melepaskan jari telunjuknya dari genggaman Azura. Seketika, bayi itu ingin menangis, bibirnya mencebik ke bawah seolah tahu bahwa ibu susunya akan pergi. Astrid cepat-cepat membawanya berjalan-jalan ke taman samping rumah, mencoba mengalihkan perhatiannya.
Nadia tersenyum dan bergegas pergi. Saat kakinya melangkah pergi, suara kecil memanggilnya dari belakang.
“Bibi Naaaa!”
Nadia menoleh. Ia mendapati Rivan berlari ke arahnya dengan wajah panik.
“Bibi Na mau ke mana? Mau pelgi kayak Mama Livan? Nanti Livan cendiliiiiaaaan ... ekhee jangan pelgiiii! Livan jadi anak baik, nda nakal kayak kemaleeen hiks ....”
Rivan memeluk kaki Nadia erat-erat, seperti menahan kepergiannya. Kelakuan Rivan itu disaksikan oleh Ezra dari lantai dua. Pria itu memasukkan tangan kanan ke saku celananya, sementara tangan kirinya menggenggam cangkir kopi yang baru disiapkan.
“Rivan nggak pernah semanja ini pada orang lain. Apa istimewanya pengasuh itu?” gumam Ezra dalam hati.
“PAAA! PAAA! LIVAN IKUT BIBI NA YAAH!” teriak Rivan tiba-tiba, kini sudah berada di ujung tangga.
Ezra mengalihkan pandangan ke arah Nadia. Wanita itu langsung menunduk, menghindari tatapannya seperti biasa. Sikap itu semakin membuat Ezra penasaran. Ada sesuatu yang tak beres.
“PAPA JEBLAAAAA!” teriak Rivan lagi dengan suara lantang, sambil mengepalkan tangannya.
Ezra akhirnya mengangguk, “Iya, boleh. Tapi jangan nakal, oke?”
Rivan tersenyum cerah. “Cayaaaang kali dili ini cama Papa Jeblaaaa!”
Ia berbalik dan berlari menghampiri Nadia, meraih tangannya dengan semangat. Bocah itu dengan riang mengiringi langkah Nadia yang membawanya pergi. Ezra memperhatikan wajah bahagia putranya, padahal Nadia hanya pamit dua jam untuk menjenguk seseorang di rumah sakit.
“Tuan, enggak takut Den Bagus diculik sama pengasuh baru?” celetuk seseorang dari samping.
Ezra menoleh. Sari, asisten rumah tangga senior dalam kata lain pembantu rumahnya yang cukup lama bekerja di rumahnya tiba-tiba sudah berdiri di sisinya.
“Mama yang mengizinkannya. Berarti dia orang yang dipercaya,” jawab Ezra.
“Tapi, Tuan, zaman sekarang penculik tuh halus cara mainnya. Apalagi Den Bagus jadi aneh. Biasanya pengasuh baru dia jailin, tapi sekarang malah disayang.”
“Kamu tuh ngomong apa sih, Sariii? Maksudmu anak saya diguna-guna gitu? Aneh-aneh aja kamu ini!” geram Ezra lalu pergi, meninggalkan Sari yang masih bergumam sendiri.
“Cantik begitu tapi kerja jadi babysitter? Pasti ada maunya. Mau deketin Tuan Ezra kali, ya? Apalagi Tuan Ezra tuh duda fresh in the open! Walau duda dua kali, tapi belum basi.” bisiknya sambil melanjutkan pekerjaan.
____________
Rivan: "Livaaaan! Di kila dili ini kapul baluuuus?!"
lanjut thorrrrrr ...............