Alana seorang gadis biasa yang sangat suka membaca novel di waktu senggangnya. Hingga ada satu novel yang membuatnya benar-benar sangat kesal.
Tapi siapa sangka ia justru terjebak menjadi pelayan dari penjahat utama dalam novel tersebut.
"Aku benar-benar akan mati jika terus begini." Gumamnya.
"Akh pangeran bajingan !" Umpatnya.
"siapa yang kau sebut bajingan ?"
"Mati aku..."
Dapatkah Melisa terus bertahan hidup dan dapatkah ia merubah akhir dari novel itu ? ayo saksikan kisahnya di "Transmigrasi menjadi pelayan pria jahat."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aif04, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tragedi
"Apa kau meragukan keputusanku sekarang?" tanyanya dengan suasana hati yang terlihat begitu buruk.
...****************...
Disebuah ruangan yang cukup sederhana seorang gadis tampak duduk di atas kursi dengan buku yang ada di atas meja. Ia melipat tangannya di depan dada saat melihat rencana kehidupannya yang hancur berantakan.
"Membuat Rion menjadi orang baik dan mencegah kehancuran dunia, hal yang mustahil untuk terjadi," diakhir ia menghela nafas dalam. Tapi kemudian Alana melirik pada bunga berwarna putih yang sudah begitu layu. Alana memang tidak membuang bunga tersebut dan memutuskan untuk mengambilnya. Karena sayang rasanya melihat bunga yang tumbuh setahun sekali harus di buang begitu saja. Lagipula ia memiliki perasaan yang aneh saat menyentuh bunga tersebut. Perasaan yang begitu akrab dan nyaman hingga membuat hatinya terasa begitu bergetar.
Alana lantas berdiri sejenak lalu kembali dengan sebuah vas bunga dan air didalamnya. Mungkin saja bunga ini akan hidup dengan baik jika dia meletakkannya pada tempat kecil ini.
"Kuharap ini bisa kembali tumbuh meskipun mustahil," gumamnya lalu kembali mendudukkan dirinya diatas kursi kayu tersebut.
"Huh, jadi apa rencanaku sekarang?" gumamnya dengan terus memutar pena yang ada di tangannya.
Hingga rasanya kepala Alana terasa sakit memikirkan hal rumit seperti itu dan memutuskan untuk menutup bukunya lalu melakukan hal lain yang lebih berguna. Untuk rencana hidup nanti saja ia pikirkan, setidaknya masih banyak waktu yang tersisa sebelum kehancuran dunia. Sehingga ia masih bisa melakukan hal lain yang mungkin cukup berguna. Alana memutuskan untuk membersikan kamar tersebut hingga hari semakin larut dan ia mulai memejamkan matanya dengan nyaman. Tapi baru saja Alana memejamkan matanya tiba-tiba terdengar suara begitu berisik dari luar.
"Akh apasih yang terjadi, ini sudah malam kenapa begitu berisik sih," kesal Alana dengan menggulingkan badannya ke kanan dan kekiri.
"Tidak bisakah mereka diam, akh!" tapi tetap saja suara tersebut terus mengganggunya. Suara yang terdengar seperti orang yang berlalu lalang dengan begitu terburu-buru dengan teriakan yang samar-samar. Akhirnya karena tidak sabar Alana memutuskan untuk keluar dan memeriksa apa yang terjadi.
"Krek," pintu terbuka perlahan, hanya dengan piyama tidurnya Alana berjalan ke arah keramaian.
"Deg," jantungan Alana berdetak begitu kencang bahkan membuatnya tidak bisa bernafas dengan benar. Dia tidak tau apa yang terjadi tapi entah mengapa perasaannya begitu buruk.
"Tampak suara tangis semakin terdengar, prajurit dan pelayan-pelayan berkumpul dengan wajah yang begitu tegang saat melihat kamar yang dulu pernah ia tempati.
"Ada apa?" tanya Alana, terlihat jelas raut wajahnya begitu bingung.
"I-itu..." wanita yang masih menggunakan pakaian pelayan tersebut menunjuk ke arah dalam kamar dengan tangan yang bergetar. Alana mengikuti arah kemana jari itu.
"Apa yang..." Alana membulatkan matanya dengan sempurna saat melihat apa yang ada di dalam. Darah yang tergenang di lantai dengan tubuh seorang wanita dengan pakaian pelayan yang telah begitu hancur pada bagian perutnya. Jantung Alana berdegup kencang dan darahnya mengalir begitu kencang. Tubuhnya bergetar dengan begitu kuat sehingga ia bahkan tidak bisa merasakan suara berisik yang ada di sekitarnya.
"Ti-tidak, tidak...Mona!" teriaknya yang berlari membelah kerumunan dengan begitu cepat.
"Tidak! Tidak! Mona!" Teriaknya. Tapi langkahnya terhenti saat beberapa prajurit memegangnya dengan begitu kuat agar tidak menuju ke tempat kejadian.
"Tidak...ku-kumohon...kumohon...biarkan aku pergi...kumohon hiks hiks..Mona ma-masih bisa diselamatkan! Kumohon," Alana terus berusaha maju, ia memohon dengan begitu keras agar bisa melihat seseorang yang begitu baik padanya. Wanita itu, satu-satunya orang yang menganggapnya ada.
"Maaf kau tidak bisa kesana, ini masih dalam penyelidikan," ujarnya dengan terus menahan Alana.
"Ku-kumohon hiks untuk kali ini saja, kumohon hiks hiks hiks..." tangisnya, Alana bahkan terduduk di lantai dengan begitu putus asa.
'Kenapa? Kenapa, di novel bahkan tidak ada kejadian seperti ini tapi kenapa?apa yang salah?' pikirnya dengan menatap penuh kesedihan.
Hingga kerumunan mulai pergi karena perintah seorang pria yang baru saja datang. Sosok yang paling berkuasa di tempat ini. Sontak prajurit-prajurit yang menahan Alana menundukkan kepalanya memberi hormat.
"Hormat kami pada matahari kecil kekaisaran," ujarnya.
Sedangkan Alana yang mendengar hal tersebut langsung menolehkan kepalanya menatap penuh harap pada Rion.
"Ya-yang mulia, di-dia teman saya jadi saya mohon untuk melihatnya, saya mo..." ujarnya dengan bersimpuh di hadapan Rion dengan begitu menyedihkan.
Rion tidak mengatakan apapun, tapi tatapan tajamnya tidak berubah hingga ia membuka suara.
"Robin, antar lalu kunci dia di kamarnya, jangan biarkan dia keluar!" perintahnya membuat Alana membulatkan matanya dengan menggelengkan kepalanya dengan begitu kuat.
"Yang mulia...tidak! ti-tidak yang mulia hiks hiks saya mohon! saya ingin melihatnya untuk yang terakhir kali!" Alana terus membenturkan kepalanya dengan kuat kelantai. Bahkan dahi Alana sedikit terluka sekarang.
"Robin, kenapa masih diam? Cepat bawa dia!" tegas Rion. Sedangkan Robin benar-benar merasa kasihan dengan Alana tapi dia juga tidak bisa melakukan apapun saat ini. Sehingga dengan berat hati ia harus membawa Alana secara paksa.
"Tidak! Robin..kumohon hiks hiks...ak-aku hanya ingin melihatnya untuk yang terakhir hiks hiks Robin...yang mulia!" berontaknya tapi tidak berguna sama sekali. Hingga akhirnya kini Alana berhasil Robin bawa ke kamarnya.
"Maafkan aku Alana," jujur saja Robin merasa begitu bersalah pada Alana.
"BRAK," pintu tertutup dengan rapat.
"Tidak! Robin! Kumohon hiks hiks Robin! Hiks..hiks.." tangisnya dengan mencoba membuka pintu akan tetapi hal tersebut begitu percuma.
Alana benar-benar putus asa kali ini. Kakinya tidak bertenaga hingga terduduk di depan pintu dengan tidak berdaya.
"Hiks, hiks, hiks...Aku ingin pulang hiks hiks hiks..." tangisnya. Akhirnya di dunia aneh ini ia benar-benar sendirian. Tanpa siapapun yang perduli padanya.
Hingga tatapan matanya beralih pada jendela kamarnya yang tertiup angin malam hingga terbuka begitu saja. Alana menghentikan tangisnya lalu menatap jendela dengan seksama.
'Aku tidak bisa hanya diam tanpa melakukan apapun, aku harus berbuat sesuatu,' batin Alana dengan mencengkram erat tangannya.
Alana berjalan ke arah jendela dengan perlahan, angin bertiup dengan perlahan hingga piyama dan rambut coklat panjangnya bergerak perlahan. Alana menatap bulan yang begitu bersinar malam ini lalu menatap kebawah. Kamarnya saat ini berada di lantai dua jadi ada kemungkinan patah tulang jika dia melompat dari ketinggian seperti ini. Alana dengan cepat mengambil selimut miliknya dan menjadikannya seperti perantara dirinya agar bisa turun ke bawah.
Dengan perlahan Alana menuruni jendela dengan bergantung pada kain tersebut. Hingga di pertengahan jalan semua tampak baik-baik saja hingga tiba-tiba saja ikatan yang ia buat terlepas begitu saja.
"AKH."
"BUGH," tubuhnya terjatuh di atas tanah dengan begitu kuat dan cepat. Alana bisa merasa bahwa ia terguling di atas tanah dengan begitu cepat.
"AKH," ringisnya saat merasa tubuhnya terasa begitu sakit.
semangat terus ya buat ceritanya Thor 💪😊👍
terima kasih thor karna sudah up,,,tetap semangat up thor,,,💪💪💪
semangat terus ya buat ceritanya Thor
semangat terus ya buat ceritanya