Aku mengenalnya sejak kuliah. Kami bertiga—aku, dia, dan sahabatku—selalu bersama.
Aku pikir, setelah menikah dengannya, segalanya akan indah.
Tapi yang tak pernah kuduga, luka terdalamku justru datang dari dua orang yang paling kucintai: suamiku... dan sahabatku sendiri.
Ketika rahasia perselingkuhan itu terbongkar, aku dihadapkan pada kenyataan yang lebih menyakitkan—bahwa aku sedang mengandung anaknya.
Antara bertahan demi anak, atau pergi membawa kehormatan yang tersisa.
Ini bukan kisah cinta. Ini kisah tentang dikhianati, bangkit, dan mencintai diri sendiri...
"Suamiku di Ranjang Sahabatku" — Luka yang datang dari rumah sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rizki Gustiasari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Harga dari sebuah keangkuhan..
Siang itu matahari terik menggigit, kontras dengan suasana dingin yang perlahan merambat ke dalam kontrakan Nayla. Ia baru saja selesai menjemur pakaian saat suara gaduh datang dari luar pagar. Suara yang sudah terlalu dikenalnya.
Tania.
Kali ini perempuan itu tak datang dengan wajah manis ataupun senyum palsu. Ia datang membawa amplop coklat dan wajah yang menyiratkan kegelisahan dan keangkuhan yang bercampur jadi satu.
“Nayla! Aku capek nunggu! Kapan kamu mau tanda tangan surat cerai itu? Jangan egois dong!” bentaknya, tanpa peduli siapa yang mendengar.
Nayla menarik napas panjang. Ia berjalan pelan ke depan rumah dengan perut yang mulai membesar. Tetangga-tetangga mulai melongok dari balik jendela, dan Siska yang tinggal di kontrakan sebelah langsung keluar dan berdiri di sisi Nayla.
“Ada apa sih ribut-ribut terus tiap datang ke sini?” tanya Siska ketus. “Kamu pikir ini rumah nenek moyangmu?”
“Ini urusan aku sama Nayla, kamu nggak usah ikut campur!” sahut Tania ketus.
“Aku ikut campur karena kamu udah ganggu ketenangan kami semua!” suara Siska meninggi.
Warga mulai berkumpul, beberapa ibu-ibu memelototi Tania. Tapi Tania tetap berdiri congkak.
Nayla menatap Tania dalam diam. Ia melihat wanita itu bukan sebagai ancaman lagi, melainkan sebagai sosok yang terlalu haus akan sesuatu yang belum menjadi haknya.
“Kenapa kamu segitu tergesa-gesanya, Tan?” tanya Nayla akhirnya, suaranya tenang namun tajam. “Takut Raka berubah pikiran? Atau kamu takut kenyataan hidup sebagai istri ternyata tidak seindah yang kamu bayangkan?”
Tania tertawa sinis. “Aku cuma ingin hidup tenang dengan suami aku. Bukan diseret terus dalam masa lalu yang nggak penting.”
“Suami kamu?” Nayla mendekat, wajahnya tak lagi dingin. “Sampai hari ini, Raka masih suami aku, Tan. Kamu nginjek harga diriku tiap kali datang dan ribut begini. Tapi tahu nggak? Kamu juga sedang menelanjangi dirimu sendiri di hadapan orang-orang di sini.”
Beberapa tetangga berdesis, dan Siska menyahut, “Udah keterlaluan banget kamu. Udah dihamilin suami orang, sekarang masih maksa minta dia tanda tangan sambil teriak-teriak. Malu dong!”
“Aku nggak malu! Kalian yang nggak ngerti apa-apa!” Tania membentak.
“Justru karena kami tahu semuanya, kami nggak bisa diem!” Siska maju dan tanpa banyak bicara, PLAK!—sebuah tamparan keras mendarat di pipi Tania.
Suasana hening sesaat. Tania mematung.
Dan kali ini Nayla maju. Ia menatap mata Tania, lalu berkata pelan namun menusuk, “Kamu datang ke sini, berharap aku menyerah karena kamu menang. Tapi kamu salah. Kamu cuma perempuan yang menangisi cinta yang dibayar mahal dengan kehancuran orang lain. Aku akan tanda tangan surat cerai itu, Tan. Tapi bukan karena kamu menang. Tapi karena aku sudah selesai bertarung.”
Tania terdiam, lalu mengambil surat dari amplopnya dan menjatuhkannya ke lantai, lalu berbalik tanpa berkata sepatah kata pun.
Nayla memungut surat itu dengan tenang. Warga yang sempat mengerumuni mereka perlahan bubar, namun bisikan-bisikan tak mengenakkan masih terdengar di telinga Tania yang pergi dengan muka memerah dan pipi yang panas.
Siska menepuk pundak Nayla pelan. “Kamu hebat.”
Nayla hanya mengangguk. “Aku cuma lelah. Tapi bukan berarti aku diam.”
Siska menatap Nayla dengan raut prihatin. Mereka duduk di ruang tengah kontrakan Nayla sempit, setelah Tania pergi dengan wajah penuh kemarahan dan sisa bentakan yang masih menggema di benak. Siska baru saja menenangkan Nayla, bahkan ikut membelanya di hadapan Tania, tapi ada sesuatu yang belum ia pahami.
Perlahan, ia meraih tangan Nayla dan berkata dengan hati-hati,
"Kalau boleh... sebenarnya ada masalah apa kamu dengan wanita itu? Kau belum menceritakannya secara detail padaku. Jika kau tidak keberatan. Tapi, kalau kau merasa aku tidak berhak tahu, jangan dijawab."
Nayla terdiam sejenak. Matanya menerawang, lalu bibirnya tertarik membentuk senyum kecil yang pahit. “Tidak, Siska. Kamu berhak tahu… karena kamu sudah menjadi bagian dari kekuatan aku untuk tetap berdiri sampai detik ini.”
Ia menarik napas panjang sebelum memulai, lalu menatap Siska dengan sorot mata yang menyimpan begitu banyak luka.
"Namanya Tania. Dia bukan hanya sekadar wanita yang datang merebut suamiku. Dia lebih dari itu. Dia... orang yang dulu pernah aku anggap sahabat."
Siska mengerutkan alis. “Sahabat?”
Ia mulai menuturkan perlahan, suara lirihnya mengantar kenangan masa lalu yang pedih.
“Kami bertiga... dulu sahabat baik di kampus. Aku, Raka, dan Tania. Dulu, kami sering belajar bareng, tugas bareng, bahkan saling cerita tentang apa pun. Aku kira saat itu hubungan kami murni dan tulus.”
Siska mendengarkan dalam diam, matanya tak lepas dari wajah Nayla.
“Tapi entah sejak kapan, Tania mulai menunjukkan ketertarikan lebih pada Raka. Awalnya aku tak peduli, karena aku tahu Tania punya banyak pengagum. Dan Raka... dia yang menyatakan cinta padaku, bukan ke Tania.”
“Waktu kami mulai pacaran, Tania mulai menjauh. Dia bilang dia sibuk, tapi aku tahu, dia kecewa. Tapi aku tak menyangka kekecewaannya itu berubah jadi dendam. Setelah kami menikah, dia mulai sering muncul lagi. Tiba-tiba, jadi lebih akrab dengan Raka"
"Dan, dimalam itu.."
Nayla menatap kosong ke depan, suaranya nyaris seperti bisikan, “Aku datang malam itu… bawa kue ulang tahun untuk Raka. Kupikir, mungkin ini bisa menghangatkan kami lagi.”
Siska mendengarkan tanpa menyela.
“Aku buka pintu kamar hotelnya pakai kartu dari resepsionis. Dan yang kulihat pertama kali bukan Raka, tapi Tania… sahabatku sendiri, menggenggam tubuh suamiku.”
Matanya berkaca-kaca.
“Kue itu jatuh. Dan bersamanya, semua yang kupikir masih bisa kupertahankan… ikut hancur.”
Siska menahan napas, hatinya ikut remuk mendengar kisah Nayla. Tanpa berkata sepatah pun, ia segera memeluk Nayla erat. Pelukan hangat itu bukan sekadar simpati—itu adalah bentuk keberpihakan, pembelaan, dan cinta tulus sebagai sesama perempuan yang pernah tersakiti.
Nayla tak menangis keras, tapi tubuhnya gemetar dalam pelukan itu. Air matanya jatuh diam-diam di bahu Siska.
“Aku nggak kuat, Siska…,” bisiknya lirih.
Siska mengelus punggungnya pelan. “Tapi kamu masih berdiri, Nay. Dan itu… luar biasa kuat.”
Pelukan itu membuat Nayla merasa sedikit lebih utuh. Untuk pertama kalinya setelah hari itu, ia merasa tidak sendirian.
"Aku cuma pengen tahu… kenapa harus Tania? Sahabatku sendiri..." suara Nayla tercekat, hampir tak terdengar.
Siska menatapnya penuh empati. “Karena kadang… orang yang paling kita percaya, justru yang paling tega menusuk kita.”
Nayla mengangguk pelan. “Padahal aku ke hotel itu mau kasih kejutan ulang tahun. Aku mikir, mungkin kue kecil bisa cairkan jarak di antara kami. Tapi ternyata, yang dia peluk… bukan aku.”
Siska menggenggam tangan Nayla erat. “Dia yang kehilangan, Nay. Bukan kamu.”
Mereka terdiam dalam duka yang saling dipahami. Tak ada yang perlu dijelaskan lebih jauh. Rasa sakit Nayla terlalu dalam, dan Siska cukup bijak untuk tidak memaksanya mengucapkan semuanya sekarang.
Namun dalam keheningan itu, ada satu hal yang pasti: Nayla tak lagi sendiri. Dan itu, adalah awal dari kekuatannya kembali.