Hannah, seorang perempuan yang tuli, bisu dan lumpuh. Ketika melihat perut Hannah terus membesar, Baharudin—ayahnya—ketakutan putrinya mengidap penyakit kanker. Ketika dibawa ke dokter, baru diketahui kalau dia sedang hamil.
Bagaimana bisa Hannah hamil? Karena dia belum menikah dan setiap hari tinggal di rumah.
Siapakah yang sudah menghamili Hannah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santi Suki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26
Hannah terlahir dari pasangan suami-istri, Baharuddin Maulana Yusuf dan Zulaikha Nurrahman. Sejak tangis pertamanya pecah di ruang bersalin, bayi mungil itu disambut dengan haru dan bahagia oleh semua orang di rumah besar itu. Tak ada kekurangan apa pun, Hannah terlahir sempurna—dengan kulit seputih susu, mata bulat bening, dan senyum yang membuat siapa pun luluh.
Pak Baharuddin, yang dikenal sebagai juragan kaya—warisan turun-temurun dari leluhurnya—memiliki ratusan pekerja. Mereka tersebar di berbagai lini usahanya: dari perkebunan luas yang dipagari deretan pohon jati tua, sawah yang membentang hingga ke kaki bukit, pabrik pengolahan hasil tani, hingga rumah utama yang berdiri megah seperti istana kecil di tengah pedesaan.
Hannah kecil tumbuh menjadi gadis mungil yang memikat hati banyak orang. Selain cantik dan menggemaskan, dia juga cerdas dan aktif. Tidak ada satu pun pekerja yang tidak mengenal Hannah. Gadis kecil itu sering berlari-lari di halaman rumah, mengejar kupu-kupu, atau menjerit geli saat dikejar anjing peliharaan. Bahkan para pekerja yang kelelahan setelah seharian bekerja pun merasa terhibur setiap melihat Hannah datang menyapa dengan wajah ceria.
Banyak yang mengasuhnya karena Hannah begitu mudah akrab dengan siapa saja. Namun, suatu hari, malapetaka kecil menyelinap tanpa diduga. Seorang pengasuh yang biasa memandikannya, tanpa sengaja membersihkan telinga Hannah dengan cara yang salah. Tindakan ceroboh itu melukai gendang telinga gadis kecil itu. Hannah yang masih berusia dua tahun lebih hanya bisa menangis keras, berguling-guling kesakitan. Tetapi sang pengasuh tidak mengatakan apa pun kepada majikannya, berharap luka itu sembuh dengan sendirinya.
Sayangnya, luka itu berubah menjadi infeksi. Dalam waktu singkat, Hannah demam tinggi dan tampak murung. Ketika demamnya mereda, tidak ada yang menyadari bahwa pendengarannya mulai menghilang perlahan.
Hingga suatu pagi, Zulaikha memanggil putrinya dari belakang berulang kali, namun Hannah tak juga menoleh. Bahkan ketika gelas terjatuh dari meja dan pecah berhamburan, Hannah tetap tenang, seolah tak terjadi apa-apa. Hati seorang ibu langsung merasa ada yang tidak beres.
Tanpa membuang waktu, Pak Baharuddin dan Zulaikha membawa Hannah ke dokter spesialis. Hasil pemeriksaan membuat dunia mereka runtuh seketika: gendang telinga Hannah rusak permanen, dan pendengarannya tak dapat kembali.
Sebagai orang tua, keduanya tidak tinggal diam. Segala cara mereka tempuh—dari pengobatan alternatif hingga terapi medis modern. Tak peduli berapa banyak uang yang harus mereka habiskan, harapan mereka hanya satu: mendengar Hannah memanggil mereka kembali. Namun semua upaya itu berujung kekecewaan. Akhirnya mereka memutuskan membeli alat bantu dengar khusus anak-anak. Setidaknya, Hannah bisa merasakan kembali suara, meski tak sepenuhnya.
Meski kehilangan pendengaran, Hannah tak pernah kehilangan cinta dari orang-orang di sekitarnya. Justru mereka makin menyayanginya, makin memperhatikannya. Anak-anak tetangga tetap mengajaknya bermain, para pekerja rumah tetap memanjakannya. Hannah tumbuh layaknya anak-anak lain—ceria dan penuh semangat.
Namun, ketika usianya menginjak empat tahun, badai kedua datang. Tanpa gejala panjang, tubuh kecil itu kembali tumbang. Sakit yang datang begitu cepat membuat Hannah lumpuh dan tak bisa bicara. Sehari sebelumnya ia masih duduk di pangkuan ayahnya, kini hanya bisa berbaring tak berdaya.
Pak Baharuddin dan Zulaikha kembali jatuh dalam kesedihan mendalam. Mereka berkeliling negeri demi pengobatan, dari dukun pijat anak sampai rumah sakit internasional. Tapi Tuhan belum mengizinkan keajaiban terjadi. Hannah tetap dalam keadaannya: tak bisa mendengar, tak bisa berbicara, dan tak bisa berjalan.
Samsul yang kenal dengan Hannah kecil, tentu saja terkejut melihatnya dalam keadaan saat ini. Karena dia pergi dari kampung itu ketika Hannah mulai sakit. Dahulu, dia dan adik bungsunya—Sani—sempat berpamitan. Waktu itu Hannah dalam keadaan tergolek lemah.
“Hannah, ini Kak Sam,” ucap Samsul, suaranya parau tertahan. Ia tak bisa menahan genangan air mata yang menggantung di pelupuknya.
Hannah menatapnya lama, seolah sedang menyusun potongan-potongan kenangan yang telah lama hilang. Wajah Samsul tak lagi akrab, tapi sorot matanya terasa tak asing. Dia menoleh ke arah Pak Baharuddin, meminta penjelasan tanpa kata.
“Dulu, saat kamu masih kecil suka bermain dengan dia,” ucap Pak Baharuddin dengan suara lembut. “Bapaknya Samsul bekerja sama Bapak dulu.”
Pelan-pelan, Hannah mengangguk. Tangan kirinya terulur gemetar ke arah Samsul. Dengan hati yang tercekat, pria itu menyambutnya. Tangan mereka bertautan.
Pak Baharuddin tersenyum kecil, walau matanya mulai basah. “Sekarang kamu sudah berkeluarga?” tanya nya kepada Samsul, berusaha mengalihkan suasana.
“Sudah, Pak,” jawab Samsul. “Punya dua anak. Yang laki-laki umurnya sepuluh tahun. Yang perempuan seumuran dengan Yasmin.”
“Kalau Sani?” tanya Pak Baharuddin, menyebut nama adik Samsul.
Wajah Samsul mendadak muram. “Dia sudah meninggal lima tahun lalu, Pak,” jawabnya lirih.
Sejenak, suasana hening. Pak Baharuddin terdiam, memejamkan mata. Bagi dia, Samsul dan Sani bukan sekadar anak para pekerjanya. Mereka anak-anak asuhnya. Kehilangan mereka, meski bukan darah daging, tetap menoreh luka.
Pak Baharuddin sangat terkejut mendengar berita duka itu. Hatinya seperti disayat, seolah kehilangan salah satu anak kandungnya sendiri. Baginya, anak-anak para pekerjanya bukan sekadar anak buruh—mereka adalah bagian dari keluarga besar yang ia rawat dan jaga. Samsul dan Sani adalah dua di antaranya. Sejak kecil mereka sering menginap di rumah utama, bermain di halaman yang luas, dan makan bersama di meja yang sama. Kehilangan Sani meninggalkan ruang kosong di hatinya.
Sementara itu, Hannah masih mencoba menggali ingatannya tentang Samsul dan Sani. Dahinya mengerut pelan, matanya menyipit, seolah berusaha menembus kabut masa lalu yang tebal dan membingungkan.
"Apa karena waktu itu aku masih terlalu kecil, ya?" batinnya. Ingatannya tentang masa kecil seperti lembaran kertas yang sebagian besar sudah pudar tintanya.
“Mungkin kamu sudah lupa. Ini ada foto-foto kita waktu kecil,” ucap Samsul lembut, mencoba membantu Hannah mengaitkan benang masa lalu. “Sani rajin sekali menyimpan kenang-kenangan, semuanya dalam bentuk dokumen atau diunggah di media sosialnya.”
Jari-jari Samsul yang agak gemetar membuka akun media sosial mendiang adiknya. Meski tak lagi diaktifkan, akun itu seolah menjadi museum kenangan, tempat di mana waktu berhenti sejenak. Di sana, lebih dari seratus foto masa kecil terpampang, menjadi saksi bahwa kebahagiaan pernah singgah dalam hidup mereka.
“Ini kamu dan Sani waktu masih bayi, usia satu tahun. Kamu sudah cantik sejak kecil,” katanya sambil menunjukkan deretan foto lama yang terkesan hangat dan sederhana.
Pak Baharuddin ikut melihat. Pandangannya terpaku pada foto syukuran ulang tahun pertama Hannah. Foto itu mengabadikan saat semua anak-anak di kampung berkumpul di halaman rumah, mengenakan pakaian rapi dan senyum riang. Wajah-wajah polos penuh harapan, serta tawa para pekerja yang memenuhi malam dengan kebersamaan dan doa.
Tubuh Hannah perlahan bergetar. Matanya berkaca-kaca. Salah satu foto menunjukkan sosok perempuan anggun yang tersenyum ke arah kamera—ibunya.
"Ibu," bisik Hannah dalam hati. Kerinduan yang selama ini dia kubur dalam diam, kini menyeruak tanpa permisi.
Dulu, ibu tirinya pernah membakar semua peninggalan Bu Zulaikha—foto, pakaian, surat, bahkan hasil kerajinan. Yang tersisa hanyalah satu foto lawas ibunya saat masih gadis, tergantung di dinding rumah sang kakek dalam bingkai tua–rumah terakhir yang dia tempati.
Sekarang, untuk pertama kalinya setelah sekian tahun, Hannah bisa menatap wajah ibunya saat masih bersamanya. Senyum itu masih sama, menenangkan sekaligus menyayat hati.
“Mana-mana … aku mau lihat!” seru Yasmin penasaran. Gadis kecil itu langsung merunduk ke arah meja kasir, tempat ponsel Samsul tergeletak.
“Wah, Mama waktu bayi lucu sekali!” puji Yasmin sambil terkekeh. Matanya tertumbuk pada sosok bayi gendut dalam pelukan pria tua.
“Bayi yang gendutnya lucu ini siapa?” tanya Yasmin polos.
“Itu Sani, digendong sama bapak. Dia memang gendut waktu kecil,” jawab Samsul dengan senyum tipis, namun matanya berkabut nostalgia.
Hannah ikut memandangi foto yang ditunjuk Yasmin. Namun tiba-tiba, sorot matanya tertarik ke arah lain. Sebuah foto lain—bukan tentang anak-anak, melainkan orang-orang dewasa. Mereka berdiri berjajar di belakang, tersenyum, tertawa lepas, tapi anehnya bagi Hannah, senyum itu terasa menakutkan.
Jantungnya berdetak tak karuan. Napasnya mulai tak teratur. Suhu tubuhnya terasa dingin meski tidak ada angin. Keringat dingin mulai mengalir di punggung dan lehernya. Tubuhnya menggigil tanpa sebab yang jelas.
"Kenapa aku merasa takut?" batin Hannah. Wajah-wajah di dalam foto itu seperti menyimpan rahasia kelam yang tak bisa diucapkan.
***
Terima kasih untuk dukungannya, Alhamdulilah retensi karya ini naik. Aku minta maaf belum bisa balas komentar kalian, tapi semua aku baca. Semoga tanganku cepat pulih lagi sehingga bisa balas komentar kalian.
❤❤❤❤❤
❤❤❤❤❤
siapakah pelaku yg udah buat trauma hannah 🤔
kalo krna trauma berarti hannah masih bisa disembuhkan ya,,suara yg hilang sm kelumpuhan kakinya dn pendengarannya kan bisa pake alat dengar 🤔
masih banyak yg blm terjawab dn bikin makin penasaran 🤗🤗