Pagi yang cerah di suatu pulau bagian utara Jawa, desiran ombak dan suara burung-burung pagi sudah menghiasi dermaga, beberapa nelayan yang baru pulang melaut sedang memilah-milah hasil tangkapan, seorang pemuda yang tegap dan gagah terlihat sibuk dengan perahu cadiknya.
“hoooyyy... Wahai laut, hari ini aku akan mengarungimu, aku akan menjadi penjaga laut Kesultanan, kan ku berantas semua angkara murka yang ingin menjajah tanah Jawa, bersiaplah menerima kekuatan otot dan semangatku, Hahahaha..
”Rangsam berlayar penuh semangat mengarungi lautan, walau hanya berbekal perahu cadik, tidak menurunkan semangatnya menjadi bagian dari pasukan pangeran Unus. Beberapa bulan yang lalu, datang Prajurit Kesultanan ke pulau Bawean, membawa selembar kertas besar yang berisi woro-woro tentang perekrutan pasukan Angkatan laut pangeran Unus Abdurrahman, dalam pesan itu tertulis bahwasanya pangeran akan memberantas kaum kuning yang selama ini sudah meresahkan laut Malaka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dimas riyana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DIANTARA MAYAT-MAYAT
Pagi yang sepertinya cerah, namun bau darah masih sedikit tersisa diantara rerumputan, wajah murung penduduk desa menghiasi rupa-rupa khas mereka, Abdul Karim berjalan bersamaan dengan tentara lainnya, kini hari-hari terasa sepi, sahabat karib telah syahid, berpulang menanti sapaan bidadari firdaus. Desa terlihat hancur, sebagian besar bangunan rata dengan tanah, ada yang masih berdiri, beberapa rumah ada yang terbakar, namun gereja tetap berdiri kokoh, melambangkan kesucian umat beragama, yang tidak akan musnah di hadapan politik manapun.
Abu yadain sedang sibuk mengobati penduduk yang terluka, gereja beralih fungsi sebagai tempat pengobatan, namun tidak mengganggu orang-orang Kristen Ortodoks beribadah. Abdul Karim sedang tidak bersemangat membantu abu yadain, ia memilih membantu menguburkan jenazah, abu yadain memaklumi perasaan muridnya itu, betapa terpukulnya perasaan Abdul Karim, ditinggal syahid sahabat karibnya.
Mayat bergelimpangan dimana-mana, bau anyir menusuk hidung, menjatuhkan mental bagi mereka yang lemah, Abdul Karim tetap pada pekerjaannya, mengangkat jenazah ke dalam kerobak, lalu membawanya ke lubang besar yang sudah dibuat.
Beberapa ada yang sudah tidak utuh, mungkin terkena meriam, atau tertimpa bangunan, Tiba-tiba Abdul Karim merasa ada yang aneh, diantara tumpukan mayat, ia melihat mayat seorang bocah laki-laki tanpa busana, Abdul Karim menghampiri, dan benar saja apa yang ia duga, bocah itu masih hidup, ia sekarat, tanpa pikir panjang Abdul Karim menggendong anak itu, dan segera berlari menuju gereja.
“ guru... !!!, guru...!!, anak ini masih hidup, kita harus menyelamatkannya!!! “.
“masyaAllah, sungguh ini suatu keajaiban, baiklah, letakkan di tandu, aku akan memeriksanya, kau siapkan alat bedahku”.
“ baik guru”.
Abdul Karim segera mempersiapkan alat bedahku abu yadain, ia pun ikut membantu, rupanya anak ini mengalami pendarahan yang hebat, sepertinya lengan kiri bocah itu terkena tembakan, beberapa peluru masih berada di tubuhnya, setelah berjam-jam, abu yadain dan Abdul Karim mengeluarkan peluru tersebut, kemudian menutup lukanya dengan dijahit.
“ anak ini memerlukan waktu sebulan untuk sembuh, itupun jika ia beruntung “.
“semoga saja ia dapat terselamatkan guru “.
Anak yang malang, Abdul Karim menemukannya diantara tumpulnya mayat, lengan kirinya terluka, beruntung abu yadain berhasil mengeluarkan sisa peluru di tubuh anak itu. Satu bulan adalah waktu yang lama, seperti perjudian, antara selamat dan tidak berbanding sama, karena darah sudah banyak hilang, jalan satu-satunya adalah menjepit pembuluh darahnya, lalu memberinya asupan makanan, berharap tubuhnya masih dapat memproduksi darah baru dengan baik. Sempat terpikir oleh abu yadain untuk menambahkan darah orang lain, namun ia pernah mencobanya, dan hasilnya malah semakin parah, jadi ia beranggapan bahwa darah manusia tidak sama, pasti memiliki penggolongan tertentu, dan ia tidak bisa membedakannya.
Satu hari telah berlalu, sungguh keajaiban, anak itu sudah sadar, Abdul Karim menghampirinya. Mata anak itu cekung, terlihat lingkaran hitam mengelilingi kelopak matanya, anak itu masih lemah, bicara pun seakan tak mampu, namun Abdul Karim percaya, bahwa anak ini adalah anak yang kuat, bertekad tinggi, kalau saja itu tidak ada pada dirinya, tidaklah mungkin kesadarannya pulih salam waktu sehari.
“ Sudahlah nak, jangan kau paksa lidahmu berbicara, tubuhmu masih ringkih, nanti saja jika kau sudah pulih, kau bebas mengucapkan terimakasih kepada kami “.
Anak itu hanya mengangguk, kemudian memejamkan mata kembali, Abdul Karim tersenyum kecil, nampak guratan bahagia menghiasi wajahnya. Namun ia berfikir, bagaimana anak ini bisa bertahan dalam kondisi terluka parah, dan dalam waktu yang cukup lama, ia juga bertanya-tanya dalam hati, kenapa anak ini berada di tumpukan mayat, apakah pasukan yang lain tidak menyadari bahwa ia masih hidup. Tapi alhamdulillah, untung ia segera menyadarinya, sehingga atas ijin Allah anak ini dapat terselamatkan.
Tak terasa satu minggu telah berlalu, desa sudah sebagian rapi, pasar sudah mulai ramai, pasukan Usmani membentuk laskar yang terdiri dari pemuda lokal untuk menjadi keamanan desa, dan sudah tujuh hari pula Abdul Karim mondar-mandir ke ruang perawatan di sebuah gereja Ortodoks.
“ Bagaimana keadaanmu nak?”.
“ aku sudah lebih baik paman, trimakasih karena telah menyelamatkan jiwaku “.
“ Allah lah yang telah menyelamatkanmu nak “.
“ Allah? Siapa dia wahai paman?, apakah dia temanmu?, aku sangat berterimakasih kepadanya”.
“ Allah itu lebih dari temanku, ia pelindung ku, pelindungmu dan kecintaan kita semua, ia berwujud, namun tidak sama dengan apapun, ia tidak beranak dan juga bukan anak dari siapa pun, dialah yang paling awal, dialah yang paling bijaksana, semuanya bergantung pada-Nya, tiada hal ihwal di dunia ini tanpa kehendak dan sepengetahuan-Nya, dialah Tuhan ku, Tuhan mu, Tuhannya langit, Tuhannya gunung, Tuhannya ikan-ikan di lautan, tiada Tuhan selain ia, dan kita berserah diri kepada-Nya”.
“ Kalau begitu, akupun ingin berserah diri kepada-Nya “.
“ siapa namamu nak? “.
“ Sergei iwakov “.
“ Dimana kedua orang tua mu “.
“ Di tumpukan tempat paman menemukanku”.
“ ikuti Kata-kataku nak, asyhadu... “.
“ A.. A.. Ashadu... “.
“ allaailaha.. Illallah... “.
“ala.. Ilaha.. Ilalah.. “
“ Wa asyhadu.. Anna Muhammadarrosulullah”.
“ Wa asadu.. Ana muhamadar Rasulullah “.
“ alhamdulillah, saat ini kau telah berserah diri kepada-Nya “.
“ terimakasih paman “.
“ Dan saat ini juga namamu bukan lagi Sergei iwakov, namamu adalah Bayezir, Bayezir Uzglu”.
“ Terimakasih paman “.
“ jangan panggil aku paman lagi, panggil aku ammu, ammu malayi, dan mulai hari ini kau adalah putra angkatku, akan kuajarkan apa yang aku pelajari, dan semoga kau mau mengabdikan jiwa dan ragamu untuk agama Allah, untuk Kesultanan, kekhalifahan daulah Utsmaniyah “.
“ dengan hati yang lapang, aku bersedia menerima anugrah yang begitu besarnya ini, semoga aku selalu pada pendirian ku”.
Itulah awal mula pertemuan Abdul Karim dan Bayezir Uzglu, alias Sergei iwakov. nama Bayezir Uzglu ia berikan, untuk mengenang sahabatnya yang telah syahid, dan benar saja, Sergei alias Uzglu menjelma menjadi prajurit yang hebat, selalu cakap dalam setiap pertempuran, dia juga cerdas Sasmita, mereka selalu berdua, hingga waktunya tiba, dimana Abdul Karim harus pulang ke tanah Melayu, meninggalkan Uzglu, yang entah kapan dapat berjumpa lagi.
Di bawah sinar rembulan, dikawal oleh bintang-bintang, kedua orang yang sudah berpuluh tahun terpisah oleh jarak dan takdir, kini bersua dalam haru dan rindu. Uzglu yang sekarang menjadi seorang kapitan yang gagah berani, cakap dan diperhitungkan. Sudah banyak peperangan ia jalani sepeninggal Abdul Karim. Abdul Karim yang kini adalah sosok tua renta, berjalan pun membutuhkan bantuan tongkat, tidak tersisa kegagahannya di masa lalu. Hanya bersila di atas pasir, Uzglu bercerita tentang pengalamannya, dan bagaimana Sultan mengirimnya ke tanah Jawa.
“ kau mengemban tugas yang mulia wahai anakku, peganglah amanah dari Amirul mukminin sekuat yang kau bisa, jagalah pasukanmu, jagalah Iman Islam mereka”.
“ Ammu, bagaimana dirimu selama aku tidak ada? Apakah kau menikah dan memiliki anak?, apakah Rangsam adalah cucumu?”.
“ aku pulang ke Minangkabau, aku menikah dan mendirikan Perguruan, aku memiliki tujuh anak, anak pertamaku menjadi pejabat di Malaka, dan anakku yang lainnya berdakwah ke seluruh Nusantara, Rangsam adalah anak yang baik, dia polos, namun cerdas, dia putra seorang pengelana dari Jawa, ayahnya adalah muridku, dan ibunya adalah putri dari sahabatku”.
“ Ammu, beberapa minggu lagi aku akan pergi ke Sunda Kelapa, aku menjalankan tugas telik sandi di sana, setelah itu aku berlayar menuju Malaka, mohon doakan aku, agar selepas tugas nanti aku bisa bertemu denganmu lagi”.
“ Ku doakan keselamatanmu nak, tetaplah Allah yang ada di hatimu”.
Hingga menjelang subuh, mereka masih melepas rindu, seperti ayah dan anak, yang lama tak jumpa, setelah zikir sehabis sholat, Uzglu beranjak dan meninggalkan pulau Bawean, dilepas dengan pelukan renta dan senyuman tulus dari Abdul Karim, tanpa ragu Uzglu mengayuh sampan tanpa menaikkan layar, hatinya lega, seperti terasa ruang yang dulu pernah memenuhi hatinya, yaitu ruang rindu, yang kini telah ia tinggalkan di pulau Bawean.