NovelToon NovelToon
Jangan Salahkan Aku, Ibu

Jangan Salahkan Aku, Ibu

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / Poligami / Bullying dan Balas Dendam / Hamil di luar nikah / Cintapertama / Mengubah Takdir
Popularitas:297
Nilai: 5
Nama Author: Widhi Labonee

kisah nyata seorang anak baik hati yang dipaksa menjalani hidup diluar keinginannya, hingga merubah nya menjadi anak yang introvert dengan beribu luka hati bahkan dendam yang hanya bisa dia simpan dan rasakan sendirian...

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Widhi Labonee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Dipaksa Berubah

Setelah kejadian Tiwi pingsan di halaman karena kehilangan tiga bestie nya itu, dia menjadi anak yang sangat pendiam. Tiwi si periang itu, sekarang menjadi anak yang sangat amat pendiam. Dia hanya bicara jika ditanya atau sedang butuh sesuatu. Tidak ada lagi senyum ataupun tawa yang bisa didengar darinya. Ibunya bukannya tidak tahu perubahan drastis sang anak. Tetapi sepertinya dia tutup mata terhadap semua itu. Bagi Tiwi, Riyanti bukanlah ibu nya yang dulu lagi, yang selalu mempunyai waktu untuk mendengarkan ceritanya,yang selalu menanyakan apa dia sudah makan apa belum, sudah belajar atau belum. Riyanti sekarang hanya memperhatikan Ismawan. Semua keperluan suaminya adalah yang utama. Bahkan sekarang dia tidak segan memarahi bu Mirah jika tidak memenuhi keinginannya. Riyanti sekarang seringkali ikut Ismawan kemanapun lelaki itu pergi. Tiwi menandai jika dalam dua minggu, selalu ada tiga atau empat hari Ismawan tidak ada di rumah. Dan Riyanti tidak ikut kemana lelaki itu pergi. Hanya setelah pria itu datang, mereka seringkali tidak keluar dari kamar dalam waktu yang lama. 

Pernah suatu kali Tiwi bertanya kepada pak Sopir yang mengantar kemanapun dua orang tua itu pergi, dan jawabnya adalah, ‘ anak kecil nggak usah mau tau urusan orang tua’...

Dan Tiwi pun kembali diam, mencatat semuanya dalam hati dan ingatannya. Diam-diam dia masih mencari keberadaan Lupus kucingnya, duo anjing kesayangannya Boy dan Melki dengan menelusuri pagar atau pun kebun orang. Memanggilnya dengan sepenuh perasaan, dan berdoa agar tiga sahabat anabul nya itu kembali lagi kerumah. Tiwi tidak lagi mau diajak bermain bersama sepupunya, ataupun anak tetangganya. Dia memilih untuk membuat rumah pohon diatas pohon jambu air yang ada di halaman belakang. Setiap pulang sekolah dia akan naik keatas pohon dan berdiam disitu sampai sore menjelang. Sang Nenek terkadang geram dengan kelakuannya yang tidak mau turun dari pohon, hingga diambilnya sebilah bambu untuk dapat menjangkau tubuh Tiwi dari bawah dan menyuruhnya turun kalau tidak mau dipukul.

Tetapi yang sering didapati adalah, meskipun Tiwi sudah patuh mau turun dari pohon, tetapi dia tetap mendapatkan pukulan dan cubitan dari Ibu nya agar dia mau berhenti naik pohon.

“Kamu bisa mendidik dia atau tidak Dek? Kalau memang tidak sanggup, maka biarkan aku yang akan mendidiknya langsung dengan caraku !” suara Ismawan membentak Riyanti karena dia mendengar jika Tiwi masih saja bandel suka naik pohon.

“Aku sudah bilang Mas, Tiwi itu nggak pernah dikasari, apalagi dibentak. Dia tipe anak yang penurut jika diajak ngomong baik-baik. Semakin dikasari dia akan semakin berontak Mas..” ujar Riyanti.

Tiwi yang sedang belajar di ruang belakang ditemani neneknya itu hanya bisa mendengar dengan ketakutan. Tapi dia diam, dipendamnya rasa takut itu sendirian. Dia tidak mau ada yang ikutan disalahkan karena kelakuan nakalnya ini. Kasian neneknya jika ikutan dibentak sang ibu nanti.

“Itulah Dek..itu .. salahmu disitu.. anak kalau tidak dididik dengan tegas, lama-lama akan ngelunjak nanti. Kamu harus merubah cara mendidik anak itu dari sekarang. Kalau memang tidak patuh, ya pukul saja. Nggak apa-apa, demi mendisiplinkan anak ke depannya,” Ismawan memberi masukan pada istrinya. 

“Tapi Mas, dulu mas Effendi…”

“Halah! Diam! Jangan sebut nama laki-laki lain dalam kehidupan kita sekarang! Yang jadi aturan di rumah ini sekarang dan kedepan adalah aturanku. Ismawan ! Masak hal sekecil ini saja kamu nggak mampu! Cuma satu anak loh! Dek War yang mengurusi dua anak dan satu bayi saja tanpa bantuanku sanggup sendiri,” kata Ismawan yang tanpa sadar malah membandingkan Riyanti dengan madunya.

Madu? Iya… ternyata Ismawan itu lelaki beristri, dengan dua anak dan satu bayi yang baru lahir. Riyanti yang baru mengetahui ketika sudah menikah merasa tertipu. Tetapi tidak bisa komplain karena ancaman untuk membawa Tiwi pergi dari rumah ini dan menyerahkan pengasuhannya pada istri tuanya itu membuat Riyanti mati langkah. Dia tidak pernah rela jika Tiwi diasuh oleh ibu tiri. Dia sudah pernah merasakan ikut ibu tiri itu tidak enak. Dan dia tidak ingin hal itu terulang pada anak semata wayangnya itu.

Tiwi menangis dalam diam saat dia mendengar bahwa menyebut nama almarhum Bapaknya dilarang dirumah ini. Ya Tuhan, mengapa orang yang aku harus panggil Bapak ini begitu kejam…

Riyanti langsung terdiam, dia menyadari, sia-sia mendebat suami barunya ini. Yang ada akan semakin menjadikan suasana rumah mirip neraka. Untuk itu dia memilih untuk mendisiplinkan Tiwi seperti yang diminta oleh Ismawan. Yang tanpa disadarinya hal itu adalah sama saja dengan menjadikan Tiwi sebagai pelampiasan amarah nya yang terpendam.

“Sudah Ndhuk PR-nya?” tanya bu Mirah lembut.

Tiwi mengusap air mata yang menetes di sudut matanya itu dengan punggung tangannya. Kemudian dia mengangguk kecil dan merapikan buku serta alat tulisnya kedalam tas sekolahnya.

“Yawes, ayok kita masuk, dan bersiap untuk tidur..” ajak sang nenek.

Tanpa banyak bicara Tiwi pun mengekori langkah neneknya masuk ke dalam rumah, dimana dia akan melewati dua orang tua yang sedang duduk didepan televisi itu. Dia malas untuk melihat wajah lelaki kejam itu, yang takutnya akan kebawa masuk kemimpinya. Di alam sadar saja dia sudah ketakutan apalagi jika ikut masuk di mimpinya, dan jika dia dipukuli, siapa yang akan menolongnya?

“Ehm, Tiwi ! Sini! Duduk sini dulu kamu!” Panggil Ismawan saat melihat anak kecil itu akan memasuki kamar neneknya. Ya, sekarang Tiwi tidurnya bersama sang Nenek, tidak  lagi dibolehkan tidur bersama ibunya, apalagi masuk kamar ibunya yang selalu ditutup rapat itu sekarang.

Anak kecil itu pun menurut dan duduk menunduk di kursi depan kedua orang tuanya tersebut. Sementara bu Mirah meminta tas sekolah Tiwi, dan membawanya masuk ke kamarnya.

“ Mulai besok kamu sudah harus masuk ke madrasah Diniyah tiap jam dua siang sampai jam empat sore, dan dilanjut mengaji di rumah Kyai Rusdi dari jam empat lebih sampai mau Maghrib. Nggak usah main-main apalagi naik pohon. Kamu perempuan, bukan monyet ! Atau besok aku perintahkan Tris suami Anik untuk menebang pohon itu !” Ujar Ismawan pada Tiwi.

Mendengar pohon kesayangannya akan ditebang, jiwa Tiwi berontak.

“JANGAN ! JANGAN DITEBANG POHONKU! Kucing dan Anjing ku sudah dibuang tanpa aku tahu dimana mereka sekarang. Punyaku cuma tinggal satu, pohon jambu air itu! Jangan sampai ditebang kalau kalian tidak ingin aku lompat masuk ke dalam sumur !!” Tiwi berteriak histeris.

Ismawan dan Riyanti kaget bukan main. Mereka tidak mengira jika anak kecil ini akan sehisteris itu. Akhirnya Riyanti mendekati Tiwi, mencoba memeluknya, tapi ditepisnya tangan sang ibu dengan keras.

“Aduuhh..” Riyanti mengaduh memegang lehernya.

Ismawan segera menarik istrinya dan dilihatnya leher sang istri tergores kuku Tiwi hingga mengeluarkan darah sedikit. Tanpa pikir panjang di g*mp*rnya anak kecil itu sampai tubuh kecil itu terjungkal dari kursi. Tiwi yang kaget sampai tidak bisa menangis. Dadanya sakit, bukan wajahnya yang panas bekas tangan Bapaknya itu yang dia rasakan, tapi jiwa dan hatinya yang sakit. Dia diam, baru kali ini seumur hidupnya dia dipukul sedemikian kerasnya.

Bu Mirah yang mendengar segera keluar dari kamar dan melihat cucunya terduduk di lantai memegangi dadanya dengan nafas terengah-engah.

“Kau apakan cucuku?”

Ismawan hanya diam dan malah menolong istrinya untuk duduk, memeriksa luka di lehernya yang seperti luka gores panjang itu namun tidak dalam.

Sedangkan Tiwi di tarik perlahan oleh sang nenek dan hendak di ajak nya masuk kamar.

“Siapa suruh kamu masuk kamar! Sini Bapak periksa kukumu !” Perintah Ismawan pada anaknya.

Tiwi pun merangsek mendekati pria itu. Dengan sedikit kasar ditariknya dua tangan Tiwi dan diperiksanya dengan teliti.

“ Sini kamu !” Diser*tnya gadis kecil itu ke dekat meja kayu yang ada didekat jendela, tempat Ismawan bekerja menyelesaikan pembukuan perusahaan kecilnya itu. Ditaruhnya tangan mungil itu diatas meja, kemudian dia mengambil penggaris kayu tebal disana. Dan mulai memukul tangan mungil itu masing-masing lima kali. Tiwi tidak menangis, rasa sakit yang dia terima di tubuhnya seakan mati rasa. Namun kembali hatinya terluka, berdarah… air mata meleleh di pipinya yang tirus. Dia tidak terisak, matanya menyorotkan dendam membara.

“Ini sebagai pengingat karena kemalasanmu memotong kuku, dapat menyebabkan luka di tubuh orang lain. Hari ini leher ibumu jadi korban. Lain kali kalau sampai orang lain yang kena? Kamu pasti akan dihukum lebih berat dari ini. Ngerti kamu! Besok pagi potong kukumu sampai bersih, kalau sore aku periksa masih belum kamu potong, awas saja!" Bentak Ismawan.

Gadis kecil itu hanya diam, dia mengangguk kecil, kemudian berjalan sembari menunduk kearah neneknya. 

“Hei ! Minta maaf dulu pada ibumu, baru kamu boleh pergi !” Seru Ismawan lagi.

Dengan hati yang hancur, Tiwi membelokkan langkahnya ke Ibunya. Diangsurkannya tangan kanannya yang tampak merah hampir membiru bekas pukulan penggaris. Disalaminya tangan sang ibu sambil berucap kata maaf, kemudian dia pergi ke kamar sang Nenek.

Setelah pintu kamar ditutup oleh Neneknya, meledaklah tangisan pilu si Tiwi, tapi dia tutupi dengan bantal. Sehingga suaranya teredam. Hanya Neneknya lah yang dapat mendengarkan betapa pilu tangisan itu. Setitik air mata ikut menetes di pipi bu Mirah hatinya ikut sakit. Tapi dia tidak bisa berkata apa-apa. Hanya bisa mengelus rambut cucunya dan memeluknya erat.

“Ssstt… sabar ya Ndhuk…Gusti Allah ndak sare…” bisik neneknya lembut.

Tiwi bukannya malas memotong kukunya. Selama ini yang selalu rajin membantunya membersihkan kuku, merapikan rambutnya adalah almarhum Bapak Effendi, pria yang benar-benar menyayanginya itu. Setelah bapaknya meninggal dan ibunya kenal dengan Raka, maka pria itu juga yang membantunya memotong kuku. Pernah dia mencoba memotong kuku sendiri, tapi jarinya malah berdarah, dan ibunyalah yang akan membantunya. Tapi semenjak dia libur sekolah dan ibunya menikah lagi, dia tidak pernah sekalipun dekat dengan ibunya seperti dulu. Sekarang seperti ada tembok pembatas yang membuat jarak antara dia dan ibunya itu. Nggak usah ditanyakan, semua juga tahu….

Tiwi pun terisak-isak, hatinya sakit, juga lelah dipaksa berpikir keras tadi. Dia pun tertidur dengan sisa-sisa isakan kecil di bibirnya. Bu Mirah menepuk-nepuk dengan lembut tubuh cucu kesayangannya ini.

'Jika kamu mau menerima pinangan Ismawan dengan alasan demi Tiwi, lalu mana buktinya Ti? Mengapa kamu tidak membela anakmu itu tadi, malah kau biarkan anak ini dihajar oleh manusia kejam itu? Dimanakah hati nuranimu Ti? Mengapa kamu paksa anakmu berubah? Sedangkan selama ini dia baik-baik saja tanpa hadirnya Bapak kandungnya itu di hidupnya..kasian cucuku..’ batin bu Mirah sedih..

Akankah Tiwi berubah menjadi penurut seperti yang di mau Ismawan bapak kandung nya itu? Ataukah malah semakin bandel? Ikuti terus kisah ini…

1
Widhi Labonee
Bagus
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!