Vira, terkejut ketika kartu undangan pernikahan kekasihnya Alby (rekan kerja) tersebar di kantor. Setelah 4 tahun hubungan, Alby akan menikahi wanita lain—membuatnya tertekan, apalagi dengan tuntutan kerja ketat dari William, Art Director yang dijuluki "Duda Killer".
Vira membawa surat pengunduran diri ke ruangan William, tapi bosnya malah merobeknya dan tiba-tiba melamar, "Kita menikah."
Bos-nya yang mendesaknya untuk menerima lamarannya dan Alby yang meminta hubungan mereka kembali setelah di khianati istrinya. Membuat Vira terjebak dalam dua obsesi pria yang menginginkannya.
Lalu apakah Vira mau menerima lamaran William pada akhirnya? Ataukah ia akan kembali dengan Alby?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Drezzlle, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Fantasi Gila
Dua kamera kecil telah ditanam, mengawasi tanpa suara. Satu tersembunyi di balik speaker kecil di rak buku Vira. Satunya lagi, pena mata-mata, berbaur sempurna di antara pena-pena lainnya.
“Hah…”
Alby menarik napas dalam-dalam. Aroma bathrobe Vira yang lembut memenuhi paru-parunya, aroma tubuh mantan kekasihnya yang begitu dikenalnya. Seolah wanita itu masih di sana, memeluknya erat setelah meninggalkannya.
“Aku harus membuat kamu menjadi milikku lagi … aku sangat mencintaimu Vira” bathrobe itu di penuhi dengan ciuman Alby, membayangkan menjelajahi setiap inci tubuh Vira yang tak pernah ia sentuh.
“Aku pergi dulu sayang, aku akan mengawasi mu dari jauh…” bisik Alby.
Dengan langkah tenang keluar dari unit apartemen Vira.
.
.
Di sebuah ruangan rumah sakit, Vira dan William berusaha membangun masa depan. Dinding putih dan bau obat-obatan seolah tak mengganggu mereka.
Vira duduk di tepi ranjang, mengupas apel dengan gerakan lembut. Sementara William, di sudut lain, sibuk menelepon detektif. Suaranya berat, memburu jejak putrinya yang dibawa kabur mantan istrinya.
“Kau sudah menemukannya?” suara manja William yang sebelumnya memenuhi ruangan berubah tegas.
“Sudah Pak, Miranda dalam pengawasan kami. Sementara Anggi, telah di bawa pulang Nyonya Inneke dua jam lalu,” lapor detektif.
“Awasi wanita itu, besok aku akan datang ke kantormu. Jangan sampai lengah, mengerti!” perintah itu menjadi percakapan terakhir sebelum menutup telepon.
William mendekat perlahan, duduk di samping Vira dan menyandarkan kepalanya di bahu wanita itu. "Sayang... mau ikut pulang?" bisiknya. Pakaian rumah sakitnya telah berganti dengan kaos polos dan jeans kasual. William ingin segera pulang. Luka di pelipis dan tangannya masih terasa perih, namun pekerjaan yang menumpuk dan masalah dengan mantan istrinya mendesaknya untuk kembali beraktivitas.
“Aku pikirkan nanti, aku belum siap bertemu keluargamu,” jawab Vira. Ia memberikan potongan buah apel ke arah William. Tapi, pria itu membuka mulutnya lebar, menginginkan suapan.
“Ibumu … juga sepertinya tidak suka padaku,” tambahnya, memasukkan potongan buah ke mulut William perlahan.
“Kalian belum saling mengenal saja,” ujar William, melingkarkan tangannya di pinggang Vira.
“Pak, ini terlalu cepat bagi saya. Saya tiba-tiba membatalkan pernikahan lalu harus mengenal pria lain dan keluarga lain lagi.” Kedua bahu Vira naik dan turun perlahan.
“Aku bahkan belum mengatakan pada orang tuaku jika pernikahan ku dan Alby batal. Lalu, apa kata mereka jika aku membawa pria lain kerumah?”kalimatnya perlahan berubah santai. Ia menoleh, kedua mata mereka bertemu secara spontan. Membuat Vira tersentak—segera memalingkan wajahnya.
“Tinggal katakan pada orang tuamu, ini calon suamiku yang baru. Yang lama sudah menikah dengan wanita lain…” jawab William dengan nada datar.
“Astaga… apa aku sedang berbicara dengan anak remaja sekarang?” Vira sedikit kesal, berusaha bangun. Namun William menarik pinggangnya hingga kembali duduk.
“Iya, oke aku akan menunggu. Tapi aku beri waktu dua bulan. Setelah itu aku akan datang kerumahmu untuk melamar,” ujar William.
Huh… Vira menghela napas panjang. “Kita sepertinya memang nggak cocok deh, pak.”
“Cocok kok cocok,” protes William. “Aku cuma nggak mau kamu tiba-tiba berubah, terus cari pria lain,” lanjutnya.
“Kalau ada yang lebih muda dan tampan, kenapa enggak?” ujar Vira, bibirnya hampir melengkung senyum namun ia tahan.
“Kan… kamu gitu,” William tak terima, ia mengeratkan pelukannya.
“Lepaskan, nanti ada perawat masuk dan melihat kita.” Vira menepuk tangan William.
“Karena itu cepat nikahi aku,” suara manja William kembali meluncur dari bibirnya.
“Huh… astaga,”
.
Dua jam berlalu, diisi dengan obrolan ringan dan tatapan penuh arti. Tiba-tiba, pintu terbuka. seorang perawat masuk ke ruangan. “Tuan William,” sapanya ramah, “administrasi sudah selesai. Anda bisa pulang kapan saja.”
William dan Vira keluar dari ruangan, sementara asisten William yang bertugas mengurus administrasi dan membawa barang William mengekor di belakang.
Di area parkir rumah sakit, tangan mereka masih menyatu erat. Jari-jemari William menggenggam erat tangan Vira, seolah tak ingin melepaskannya sedetik pun.
“Sayang, sampai jumpa besok. Jangan lupa untuk makan,” satu tangan William yang menganggur membelai lembut rambut Vira.
“Iya. Udah aku mau pulang, istirahat. Kapan lagi kan saya bisa ngerasain waktu luang? Besok Bapak mulai ke kantor, pastinya lembur lagi…” Vira mengerjapkan matanya, menarik napasnya panjang hingga bahunya naik—turun perlahan.
“Lembur kan alasan aku bisa lihat kamu,” ujar William.
“Kan bisa lihat aku kapan saja, kenapa harus dengan lembur?” protes Vira.
“Iya, besok nggak lembur kok. Satu hari saja ya?” goda William.
Genggaman itu mengendur— terlepas sepenuhnya. Vira membuka pintu mobil dan masuk, mesin meraung dan mobil itu meluncur pergi, meninggalkan area parkir. Sementara William berbalik dan melangkah ke arah yang berlawanan.
.
Sesampainya di apartemen, Vira menjatuhkan diri ke sofa panjang dengan helaan napas lega. Sepatunya terlepas paksa dengan gerakan kaki yang kasar.
Blazer dan tasnya mendarat sembarangan di ranjang. “Huh…” Vira meregangkan otot leher dan punggungnya yang terasa kaku.
Satu per satu kancing blusnya terlepas, menyisakan bra berenda putih yang menutupi dadanya dan Wide leg pants—ivory (celana kerjanya).
Dengan perlahan, resleting celananya diturunkan. Kain itu meluncur lembut ke lantai, menyisakan celana dalam putih bertali spaghetti di kedua sisi pinggang. Siluet tubuhnya yang mempesona terpantul di dinding.
Keindahan itu terpampang jelas di layar ponsel Alby. Kamera kecil itu bekerja dengan sempurna, merekam setiap detail tubuh Vira. Alby menggigit bibirnya, matanya terpaku pada setiap gerakan lembut yang membangkitkan hasratnya. Napasnya tercekat, pikirannya dipenuhi fantasi liar. Membuat salah satu bagian tubuhnya bereaksi.
“Indah... jauh lebih menggoda dari Abella. Sial!” desisnya.
Bersambung...
Apakah kegilaan Alby akan berhenti?
Othor sih pengennya mbak Vira segera nikah biar ada yang melindungi. Kasihan.. 😔
Pria mana lagi yang harus di percaya? entah...
tapi di cintai sama bos gaskeun lah 😍