Zahira terpaksa menerima permintaan pernikahan yang diadakan oleh majikannya. Karena calon mempelai wanitanya kabur di saat pesta digelar, sehingga Zahira harus menggantikan posisinya.
Setelah resepsi, Neil menyerahkan surat perjanjian yang menyatakan bahwa mereka akan menjadi suami istri selama 100 hari.
Selama itu, Zahira harus berpikir bagaimana caranya agar Neil jatuh cinta padanya, karena dia mengetahui rencana jahat mantan kekasih Neil untuk mendekati Neil.
Zahira melakukan berbagai cara untuk membuat Neil jatuh cinta, tetapi tampaknya semua usahanya berakhir sia-sia.
Bagaimana kelanjutan kisahnya? Ikuti terus cerita "100 Hari Mengejar Cinta Suami" tentang Zahira dan Neil, putra kedua dari Melinda dan Axel Johnson.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nopani Dwi Ari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab.10
Axel tak memaksa Zahira mengakui perasaannya, cukup dia tahu. Bahwa, menantunya itu memiliki perasaan untuk sang anak. Namun, masih ada keraguan dalam hati Zahira.
"Tidak apa, jangan dijawab sekarang. Daddy mengerti," ujar Axel.
"Lebih baik, kamu di dalam saja. Neil mungkin akan pulang malam," beritahu Axel, karena kasihan melihatnya menunggu sendiri diluar. Di saat cuaca sedang dingin.
"Iya Daddy, nanti aku akan kedalam. Aku menunggu disini sebentar lagi," jawab Zahira, membuat Axel mengangguk dan berpamit masuk kedalam lebih dulu.
Axel tidak akan terlalu memaksa, dia akan mengikuti alur hubungan Zahira dan Neil. Bersyukur jika, Zahira masih ingin bertahan dengan Neil.
Lama menunggu di luar, membuat Zahira bosan. Dia pun memutuskan untuk masuk dimana keluarga dari suaminya tengah berkumpul.
"Kakak ipar, sini." Pekik Ana, dan langsung mendapatkan cubitan dari Melinda.
"Ana, kamu itu perempuan. Harusnya jangan teriak-teriak," omel Melinda.
"Maaf Mom," kekeh Ana.
Zahira pun duduk dekat dengan Ibel, yang tengah mengelus perutnya. Melihat itu, Zahira pun membayangkan hamil. Tapi apakah Neil, akan menyentuhnya?
"Jangan bermimpi, Zahira. Bangun dan sadarlah," ucapnya dalam hati.
"Kamu belum bulan madu kan?" tanya Azriel tiba-tiba pada Zahira.
"Setahuku sih belum," sahut Rakai paman dari Neil.
"Gimana kalo kalian bulan madu?" usul Ameera.
"Kita tunggu Neil saja, dia mau gak bulan madu. Aku sih yakin, kak Zahira mau gak usah di tanya," sela Ana.
Disini Zahira banyak diam, karena anggota keluarga disini kalo berkumpul selalu membicarakan bisnis mereka. Yang sejatinya Zahira tak mengerti.
"Gimana, Ra?" tanya Melinda.
"Benar kata Ana, Mom. Aku gimana Neil saja," jelas Zahira, membuat semua orang mengangguk.
"Sayang yah, gak ada tante Gia dan uncle Alsaki." Celetuk Aiyla.
"Kenapa memang? Biarin aja lah, mereka kan lagi di luar negeri." Ketus Ana.
Aiyla dan Ana terus mempermasalahkan kehadiran Alsaki dan Gia, sementara yang lain hanya menyimak, sudah biasa melihat kelakuan Ana dan Aiyla. Zahira sesekali melihat keluar, pikirannya dipenuhi pertanyaan apakah Neil sudah pulang atau belum? Melinda yang melihat itu mengerti dengan kegundahan Zahira, dia bisa merasakan betapa cemasnya Zahira menunggu kepulangan Neil.
*****
Apartemen Livia, setelah makan. Neil ketiduran di sofa. Livia sengaja tidak membangunkan Neil.
"Kamu milikku kan? Maka, tidak akan aku biarkan orang lain memilikimu." Gumamnya tersenyum, mengusap pipi Neil dengan lembut.
Sejak tadi ponsel Neil terus menyala, Livia pun tahu itu.
"Maafkan aku, Tante Melinda. Aku tidak ingin berbagi Neil dengan wanita lain," Livia menatap ponsel milik Neil, dan mematikan ponsel tersebut.
Di seberang sana, Melinda berdecak kesal saat nomor sang anak tak bisa dihubungi.
"Sebenarnya, dimana anak itu?" tanya Melinda pada Axel.
"Dimana lagi, kalau bukan apartemen Livia." Jawab Axel.
"Keterlaluan Neil, disini seseorang tengah mengkhawatirkannya. Dia malah enak-enakan sama perempuan lain," omel Melinda.
Melinda menatap Axel dengan lekat, membuat Axel menghela napas dengan pelan. Paham apa yang diinginkan istrinya tersebut.
Axel mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang.
"Bawa dia sekarang," perintah Axel.
"Sudah," ucapnya menatap Melinda yang mengangguk.
Melinda langsung naik ke atas ranjang, walau tak semuda dulu. Tapi, mereka masih saja bermesraan.
"Ayo kita tidur, jangan pernah memikirkan apa pun. Kamu tenang saja oke!" ujar Axel.
"Ya." Jawab Melinda, memeluk sang suami.
*****
Pintu didobrak dengan keras, membuat Livia yang di kamar terkejut begitu pula Neil.
"Ada apa ini?" tanya Neil dengan suara serak, merasa pusing karena bangun secara tiba-tiba.
"Tuan, Anda harus ikut kami," titah bodyguard suruhan Axel.
Neil merasa bingung dan marah karena mereka tidak jujur.
"Hah? Ikut kemana? Memang kalian siapa?" tanya Neil.
"Anda ikut saja, jika tidak maka... jangan salahkan kami ada kekerasan!" tegas salah satu bodyguard.
Livia yang sudah sadar dari keterkejutannya bertanya, "Ada apa ini? Kalian siapa? Mengapa ingin membawa kekasihku?"
Namun, bodyguard tersebut hanya menjawab bahwa itu adalah perintah dari bos mereka.
Dengan paksa, Neil dibawa keluar dari apartemen Livia.
"Hey! Kalian lepaskan kekasihku," teriak Livia. Namun, bos mereka mencegah Livia agar tidak menyusahkan dalam membawa Neil.
"Jangan sakiti dia, dia sedang hamil. Baik aku akan ikut kalian," putus Neil, saat melihat bodyguard yang memiliki badan paling besar menahan Livia dengan keras. Akhirnya, bodyguard tersebut melepaskan cekalan.nya dan memaksa Livia masuk ke dalam.
"Neil... Neil jangan tinggalkan aku, aku ingin ikut," teriak Livia memukul pintu, namun pintu tidak bisa dibuka karena dikunci dari luar. Perut buncitnya menghalangi dia melakukan gerakan yang leluasa.
"Anak sialan, kurang ajar! Gara-gara kamu, aku tidak bisa melakukan apa pun. Akhhh ...." Teriak Livia penuh amarah.
"Neil ... Jangan tinggalkan aku." Lirih Livia, di saat seperti ini. Dia sangat membutuhkan sandaran, dia sangat lelah dengan semuanya.
Livia hanya ingin, bayi yang ada dalam perutnya segera lahir. Dia akan menyerahkan anak ini pada Miller, lalu dia bisa hidup bahagia dengan Neil.
"Iya, aku akan memberikan anak sialan ini pada Miller. Jika Neil bertanya, maka jawab saja anaknya meninggal. Ya seperti itu." Livia tertawa puas, dengan semua rencana jahat yang disusun untuk anaknya.
****
Merasa tak asing dengan jalan yang dilewati oleh orang-orang yang membawanya, kini Neil mulai menyadari. Bahwa, orang-orang ini pastilah suruhan sang ayah.
"Daddy," geram Axel.
Empat puluh menit, waktu yang dibutuhkan untuk sampai di kediaman Axel Johnson. Neil langsung turun dengan cepat, dia ingin meminta kejelasan pada sang ayah mengapa membawanya seperti tawanan.
"Dimana Daddy?" tanya Neil pada pelayan yang membuka pintu.
"Ada diruang kerja," jawabnya.
Dengan langkah kaki lebar, Neil berjalan dimana ruang kerja Axel berada. Tanpa mengetuk pintu, dia membuka pintu dengan kasar.
"Dad..."
"Dimana sopan santun mu, Neil Nazario Johnson!" Ucap Axel dengan dingin.
"Apa wanita itu, sudah mengubah mu. Macam pria berandal yang tak punya sopan santun hah?" bentak Axel.
"Dan melupakan istri yang menunggu, suaminya pulang sejak sore tadi." Sambung Axel kemudian.
"Daddy, wanita itu adalah kekasihku. Ibu dari anakku, dan aku tidak pernah menyuruh Zahira menungguku." Balas Neil tak kalah emosi.
Axel tersenyum sinis menatap Neil.
"Yakin dia anakmu?" tanya Axel, dia ingin rasanya menyelesaikan semua masalah yang ada. Tapi, sepertinya akan sangat sulit karena Neil sangat keras kepala.
"Ya, aku yakin dia anakku."
"Baiklah, katakan saja aku percaya. Daddy minta setelah lahir anak itu harus melakukan tes DNA." Perintah Axel.
"Tapi Dad …”
"Tidak ada tapi, jika memang dia anakmu. Maka, ceraikan Zahira dan menikah dengan wanita itu. Jika dia bukan anakmu ... Maka, jauhi wanita itu dan hidup bahagia dengan Zahira." Jelas Axel dengan tegas.
"Aku tidak mencintai dia. Dad, aku mencintai Livia." Tegas Neil.
Untuk pertama kalinya, Neil menatap tajam laki-laki yang selalu dia banggakan. Saling menatap tajam dan tak ada yang mengalah.
Bersambung ..
Maaf typo
emang enak