NovelToon NovelToon
Pacarku Ternyata Simpanan Pamanku

Pacarku Ternyata Simpanan Pamanku

Status: tamat
Genre:Tamat / Cinta Terlarang / Keluarga / Romansa
Popularitas:1.6k
Nilai: 5
Nama Author: Rindu Firdaus

Di sebuah pesta keluarga, Arga bertemu dengan Kalista, yang langsung mencuri perhatian dengan pesonanya. Tanpa ragu, mereka terjerat dalam hubungan terlarang yang menggoda, namun penuh bahaya.

Saat Arga menyadari bahwa Kalista adalah simpanan pamannya, hubungan mereka menjadi semakin rumit. Arga harus memilih antara cinta yang terlarang atau melindungi nama baik keluarganya, sementara godaan terus membara.

Akankah Arga tetap memilih Kalista meski harus mengorbankan segala-galanya, atau akan ia melepaskannya demi menjaga kehormatan keluarga? Apakah ada cara untuk keluar dari cinta yang terlarang ini tanpa merusak segalanya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rindu Firdaus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Permainan Api yang Memabukkan

Malam itu, Arga dan Kalista memutuskan untuk menginap di sebuah vila kecil di pinggiran kota. Tempat itu jauh dari hiruk-pikuk dan lebih penting lagi jauh dari bayang-bayang Arman. Mereka membutuhkan ruang, napas, dan sedikit waktu untuk memikirkan langkah selanjutnya.

Vila itu tenang. Hanya suara jangkrik dan desir angin malam yang menemani. Kalista berdiri di balkon dengan rambut tergerai, memandangi langit gelap tanpa bintang. Tapi di dalam dadanya, badai masih berkecamuk. Pertanyaan demi pertanyaan berputar tanpa henti.

“Kalau semua ini salah, kenapa rasanya begitu benar?” gumamnya pelan.

Arga muncul dari balik pintu balkon, mengenakan jubah tipis dari kamar mandi. Rambutnya masih basah, dan tubuhnya hangat berembun air. Ia menghampiri Kalista pelan-pelan, lalu berdiri di sampingnya.

“Kamu nyesel?” tanyanya dengan suara serak dan dalam.

Kalista menggeleng. “Nggak. Aku cuma takut. Takut semua ini terlalu indah buat bertahan lama.”

Arga tersenyum tipis. “Lalu kenapa kita nggak nikmatin aja selagi masih ada?”

Tangannya meraih pinggang Kalista dan menariknya perlahan ke pelukannya. Gadis itu tidak melawan. Ia bersandar, membiarkan dirinya tenggelam dalam pelukan Arga yang begitu menenangkan namun membakar pada saat yang sama.

Angin malam masuk melalui celah tirai, membelai kulit mereka seperti tangan-tangan lembut yang ikut bermain. Dalam kesunyian itu, Arga membelai rambut Kalista perlahan, menurunkan tangannya ke leher, lalu ke bahu, dan akhirnya berhenti di tulang selangka yang bergetar pelan karena napas yang mulai memburu.

Kalista membalikkan badan. Wajah mereka kini hanya berjarak beberapa inci. Nafas mereka saling menyentuh, mata saling menelusuri, seolah bertanya: “Bolehkah aku?”

Tapi mereka tidak perlu kata-kata.

Ciuman itu datang seperti badai. Liar. Lapar. Dalam sekejap, keduanya sudah masuk kembali ke kamar, pintu balkon terbuka, tirai menari ditiup angin, dan tubuh mereka saling merapat di bawah cahaya lampu gantung yang redup.

Tubuh Kalista perlahan diturunkan ke ranjang, sementara Arga menyusuri setiap inci kulitnya dengan ciuman dan desahan lembut. Kamar itu seakan berubah menjadi dunia milik mereka berdua saja. Tidak ada masa lalu, tidak ada ancaman, tidak ada Arman. Hanya ada mereka, dan permainan api yang memabukkan.

“Ga…” desah Kalista di antara erangan. “Jangan berhenti.”

Arga tidak menjawab dengan kata. Bibirnya, tangannya, seluruh tubuhnya, menjawab permintaan itu dengan hasrat yang membara. Malam itu adalah tentang mereka. Tentang api yang tak bisa dipadamkan hanya dengan ketakutan atau rasa bersalah.

Mereka tidak sedang bercinta. Mereka sedang membebaskan diri. Melepaskan luka, merobek batas, dan menyerahkan diri pada satu-satunya hal yang terasa nyata: gairah yang selama ini terpendam.

Dan saat malam kian dalam, dan napas mereka berubah jadi bisikan tertahan, Kalista tahu satu hal, ia tidak akan pernah bisa kembali seperti dulu lagi.

Tubuh Kalista tergeletak lemas di atas ranjang, kulitnya masih berkilau oleh sisa keringat dan peluh gairah. Selimut putih membungkus sebagian tubuhnya, namun sebagian lagi dibiarkan terbuka seolah tak ada lagi yang perlu disembunyikan dari Arga.

Arga duduk di tepi ranjang, menyalakan sebatang rokok yang sudah lama tak disentuhnya. Asap tipis menguar perlahan, menari di udara kamar yang masih sarat aroma tubuh mereka. Matanya menerawang, namun pikirannya tetap tertambat pada perempuan yang kini tidur di ranjangnya atau lebih tepatnya, di dunianya.

"Kenapa kamu diem?" suara Kalista memecah keheningan. Lembut, pelan, tapi cukup menusuk.

Arga menoleh. Senyumnya tipis, seperti biasa, tapi kali ini ada sorot mata yang sulit ditebak. "Aku cuma mikir. Tentang semua ini."

"Semua ini?" Kalista mengangkat kepalanya, menyender pada bantal. Rambutnya yang kusut membuatnya terlihat makin menggoda, tapi juga rapuh.

Arga mengangguk pelan. “Kalau Arman tahu… kamu tahu apa yang bisa terjadi.”

Kalista tersenyum miris. “Dia nggak akan tahu. Dia terlalu sibuk dengan urusannya sendiri. Aku cuma mainan buat dia. Dan mainan nggak ditanya mau pergi kemana.”

“Tapi kamu bukan mainan buatku.”

Kalista menatapnya dalam-dalam, seakan mencari kebenaran di balik kata-katanya. Lalu ia bangkit, merangkak perlahan menuju Arga yang masih duduk di ujung ranjang.

Tangannya menyentuh punggung Arga, lalu turun ke dadanya, memeluknya dari belakang. “Kalau kamu anggap aku lebih dari itu, maka buktikan. Jangan cuma lewat kata-kata.”

Arga menoleh sedikit, dan mereka berciuman lagi. Tidak sekeras yang tadi, tapi lebih dalam. Ada rasa bersalah di sana, tapi juga keberanian. Dan di antara keduanya, mereka memilih untuk tenggelam lagi dalam pelukan yang membakar batas.

Kali ini, segalanya lebih lambat. Seperti tarian sunyi di tengah malam yang kelam. Kalista membiarkan dirinya dibawa, seolah tubuhnya hanya tahu satu irama—irama sentuhan Arga yang begitu familiar namun tetap membuatnya gemetar.

"Aku milikmu malam ini," bisik Kalista di sela ciuman, "dan mungkin selamanya... kalau kamu berani."

Arga tak menjawab. Tapi caranya menyentuh Kalista, merengkuhnya seolah dunia akan runtuh bila dilepaskan, sudah cukup menjadi jawabannya.

Malam itu mereka membakar batas. Membuang logika. Merobek semua aturan yang pernah mereka taati. Dalam sekejap, kamar itu berubah jadi altar pengorbanan cinta yang dilarang.

Mereka tahu ini tidak akan bertahan. Tapi malam itu dalam permainan api yang memabukkan, mereka memilih untuk tak peduli.

Pagi datang tanpa permisi. Sinar matahari mengintip lewat celah tirai, menyinari tubuh Kalista yang masih terlelap dalam pelukan Arga. Laki-laki itu belum tidur. Matanya kosong menatap langit-langit, seperti menyusun ulang kembali semua dosa yang baru saja dia lakukan.

Ponselnya bergetar. Sebuah notifikasi masuk. Arman.

> “Kita makan malam di rumah nenek malam ini. Datang, ya. Ajak pacarmu juga kalau kamu mau.”

Arga menelan ludah. Tangannya gemetar saat membaca pesan singkat itu. Malam tadi terlalu liar, terlalu dalam. Dan sekarang kenyataan mulai menagih harga.

“Pagi,” suara Kalista serak, matanya masih setengah terbuka.

“Pagi,” jawab Arga, cepat-cepat menyembunyikan ponsel. “Kamu tidur nyenyak?”

Kalista mengangguk pelan sambil menggeliat manja, lalu menarik selimut lebih tinggi ke atas dadanya. “Kalau tiap malam kayak gini, aku bisa lupa dunia.”

Arga memaksakan senyum. “Jangan terlalu lupa. Dunia nggak akan pernah benar-benar lupa sama kita.”

Kalista menghela napas, lalu duduk. “Apa kamu nyesel?”

Pertanyaan itu menghantam dada Arga seperti palu. Ia terdiam sejenak, lalu menggeleng. “Enggak. Aku cuma takut.”

“Takut ketahuan?”

“Takut kehilangan kamu.”

Kalista menatapnya lama. Tak ada senyum kali ini. Hanya tatapan kosong yang menyiratkan luka lama dan ketakutan baru.

“Kalau kamu benar-benar takut kehilangan aku, Arga,” ucap Kalista pelan, “jangan sembunyi di balik punggung pamanku. Karena sekeras apa pun kita sembunyi, dia tetap bayangan di antara kita.”

Arga meraih tangan Kalista, menggenggamnya erat. “Kalau aku harus bertarung, aku akan bertarung.”

“Kamu yakin?” Kalista menatapnya tajam. “Karena pamanku itu bukan cuma laki-laki tua kaya yang bisa kamu kalahkan dengan cinta. Dia bisa menghancurkanmu kalau tahu semua ini.”

“Biar aku yang urus dia,” ucap Arga mantap, meski suaranya bergetar.

Kalista tersenyum pahit. Ia tahu, kata-kata itu terdengar gagah tapi juga naif.

Hari itu mereka berpisah dalam diam. Arga pulang lebih dulu, membawa beban yang lebih berat dari semalam. Kalista tetap di kamar hotel, menatap langit dari balik kaca, bertanya dalam hati apakah cinta yang indah layak dibayar dengan kehancuran yang pasti.

Dan malam pun tiba.

Arga berdiri di depan rumah besar neneknya, mengenakan kemeja hitam yang disetrika rapi. Di dalam sana, Arman sudah menunggu. Dengan senyum ramah yang menyimpan begitu banyak rahasia.

Kalista datang lima menit kemudian.

Dengan gaun merah menyala. Bibir merah. Wewangian yang sama dengan semalam.

Langkah kakinya pelan, namun setiap jejaknya adalah gemuruh. Saat matanya bertemu mata Arga, seisi dunia seolah berhenti berputar.

Dan di sanalah mereka.

Duduk satu meja.

Tersenyum dalam kebohongan.

Menahan desahan dalam ingatan.

Dan menanti kapan permainan api ini akan benar-benar membakar mereka hidup-hidup.

1
Usmi Usmi
pusing baca nya SDH kabur tapi kumpul lg
Rindu Firdaus: Halo kak, makasih ya udah mampir dan baca karyaku /Smile/ oh iya kk nya pusing ya? sama kak aku juga pusing kenapa ya bisa kumpul lagi, biar ga pusing... yuk baca sampai habis /Chuckle/
total 1 replies
Usmi Usmi
seharusnya td Arga jujur aja
Usmi Usmi
kayak nya cinta jajaran genjang ya Thor 😂
Rindu Firdaus
Buat yang suka drama panas dan cinta terlarang, ini wajib dibaca. Ceritanya greget dari awal sampai akhir!
iza
Sudah nunggu dari kemarin-kemarin, ayo dong thor.
Kiritsugu Emiya
Habis baca cerita ini, aku merasa jadi karakter di dalamnya. Luar biasa, thor!
Dadi Bismarck
Jangan nggak baca, sayang banget
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!