Nael, seorang notaris kondang, tenggelam dalam kesedihan mendalam setelah kepergian istrinya, Felicia. Bermodalkan pesan terakhir yang berisi harapan Felicia untuknya, Nael berusaha bangkit dan menjadi pribadi yang lebih baik. Meski kehidupannya terasa berat, ia tidak pernah menyerah untuk membenahi diri seperti yang diinginkan oleh mendiang istrinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon indrakoi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CHAPTER 9: Para Ahli Hukum
Pada pagi hari dimana matahari baru saja merangkak naik, aku sudah disibukkan oleh debu-debu lantai yang harus segera dibersihkan. Hari ini, untuk pertama kalinya, aku sengaja memutuskan untuk buka kantor lebih awal karena clientku akan tiba sebelum jam kerja dimulai. Yap, benar sekali. Client yang aku maksud kali ini adalah dr. Sofia. Selain itu, Felix juga akan ikut datang ke kantor pada jam yang sama.
Alasan kenapa mereka datang pagi-pagi buta kayak gini adalah karena aku mau menyusun sebuah surat gugatan untuk diajukan ke pengadilan. Surat gugatan ini dibuat untuk membantu dr. Sofia yang telah lama mengalami kejadian pemaksaan serta wanprestasi dari pihak Perumahan Dahayu Permai.
Terus, kenapa si Felix juga ikutan datang? Nah, alasannya adalah karena aku juga membutuhkan pendapat dari seorang ahli hukum tersohor di Universitas Andawana. Walaupun sebenarnya aku bisa menyusun surat gugatan ini sendirian, tapi tetap saja pendapat ahli itu merupakan sesuatu yang penting untuk dipertimangkan. Siapa tahu, berkat bantuannya, kita bisa memenangkan gugatan ini dengan jauh lebih mudah.
Karena hari ini masih weekdays, makanya aku meminta mereka untuk datang ke kantor sebelum jam delapan pagi. Soalnya, aku sadar bahwa masing-masing dari kita akan disibukkan oleh pekerjaan tepat setelah lewat dari jam tersebut.
Setelah mondar-mandir untuk menyapu seluruh ruangan di kantor ini, akhirnya suasananya sudah jauh lebih baik untuk dipandang. Tinggal satu sentuhan lagi, maka semuanya akan menjadi sempurna. Pstt! Pstt!! Yap, itu adalah pewangi ruangan dengan aroma teh hijau favoritku.
Sekarang, aku hanya perlu merebus kopi instan, lalu duduk santai menunggu kedua tamuku yang akan segera datang. Belajar dari kesalahan sebelumnya, aku memutuskan untuk nggak nonton TV di pagi hari karena isinya pasti tentang berita-berita yang nggak begitu penting.
“Tit! Tit! Tit! Tit! Tit!” Pas lagi sibuk masak air panas di dapur, alarm handphoneku tiba-tiba berbunyi untuk yang kedua kalinya. Ini adalah pengingat yang diatur oleh dr. Sofia agar aku nggak kelupaan lagi buat minum obat anti halusinasi di pagi hari. Tapi ironisnya, obat itu udah aku minum duluan bahkan sebelum alarmnya berbunyi kali ini.
Setelah selesai mengaduk kopi, aku kemudian beranjak menuju sofa di ruang tunggu untuk menikmatinya. Sebagai tambahan, aku juga menyulut sebatang rokok untuk membuat pagi hari ini lebih bisa aku syukuri. “Fwuhhh…” Hembusan napasku membawa serta nikotin-nikotin jahat yang begitu nikmat di pagi hari.
Ting-dong! Baru saja merasakan nikmatnya santapan pagi ini, tiba-tiba bel rumahku berbunyi yang menandakan bahwa setidaknya salah satu dari mereka berdua sudah sampai di depan gerbang. Aku kemudian meletakkan rokokku di asbak, lalu segera bergegas keluar untuk mempersilahkan masuk.
...***...
Di luar dugaan, ternyata dr. Sofia sampai lebih cepat di kantorku daripada Felix. Padahal, secara jarak, kediaman dr. Sofia berada cukup jauh dari sini. Sementara itu, rumah milik Felix hanya perlu sekitar 15 menit perjalanan saja untuk sampai di kantor ENF Public Notary. Ini secara nggak langsung menunjukkan berbedaan tingkat kerajinan mereka berdua.
Saat memasuki ruangan kantorku, dr. Sofia terlihat memperhatikan sekitar dengan binar mata yang menunjukkan kekaguman. Dia tampaknya menyukai tata letak ruangan yang minimalis dengan berhiaskan lukisan-lukisan abstrak. Well, asal kau tahu, dok, orang yang mendesain ruangan ini adalah mendiang istriku sendiri. Harus diakui, Felicia emang punya selera yang bagus dalam urusan desain ruangan.
“Wah, ruangan kantormu ini benar-benar estetik, ya, Pak Nael.” Pujinya padaku dengan suara yang penuh antusias.
“Tentu saja. Ini semua berkat desain yang digarap oleh mendiang istriku.” Balasku sambil menyeruput kopi yang udah mulai mendingin.
“Wah, beliau keren banget, ya!” Kau dengar itu, Felicia? Ada satu orang lagi yang memuji mahakaryamu ini! “Tapi, hanya saja…” Hanya saja? Wah, kayaknya ni orang mau mengkritik hasil kerja istriku mentang-mentang kliniknya punya suasana yang nyaman. Bisa dipastikan ini bakal bikin aku agak kesal, sih.
“Hanya saja apa, dok?” Tanyaku mencoba untuk menjaga nada agar tetap datar.
“Hanya saja, ruangan ini benar-benar dipenuhi bau rokok. Sebenarnya, ada sedikit aroma teh hijau, sih. Cuma, tetap aja ketutupan bau rokok.” Oalah, perkara bau rokok, toh. Aku kira gara-gara apa.
“Ah, maafkan soal itu, ya. Tadian aku sempat ngerokok di sini.” Ucapku sambil sedikit menundukkan kepala.
“Ahahaha, nggak masalah. Baunya udah mulai memudar, kok.” Ucapnya sambil menunjukkan gestur tangan yang menandakan bahwa dia beneran nggak masalah tentang hal itu.
Brakkk! “Halo, semuanya! Maaf udah bikin kalian menunggu, ya!” Sapa Felix dengan nada yang penuh semangat, sambil membuka pintu kantorku dengan kencang. Sontak, aku dan dr. Sofia langsung menatap ke arahnya dengan tatapan mata yang terkejut.
Hadeh, orang ini kayaknya udah mulai lupa dengan yang namanya etika bertamu, deh. Harusnya, kau tunggu dulu di depan gerbang sambil terus memencet tombol bel yang ada di dekatnya! Hah… Ya sudahlah, lagipula Felix adalah adik iparku. Selama dia nggak nunjukin kelakuan yang sama saat bertamu ke rumah orang lain, aku rasa itu nggak akan jadi masalah.
“Felix, mendiang kakakmu udah effort ngeluarin duit buat masang bel di depan, lho. Jadi, lain kali, tolong dipencet dulu sebelum masuk, ya.” Ucapku dengan nada yang terdengar sedikit kesal.
“Hahaha, baiklah, maafkan aku, ya.” Ucapnya sambil menggaruk belakang kepalanya. Beberapa saat kemudian, bola mata Felix perlahan melirik dr. Sofia yang hanya berdiri mematung di dekat salah satu lukisan abstrak. Dia tampaknya kaget karena Felix tiba-tiba muncul sambil mendobrak pintuku dengan cukup keras.
“Ah, anda pasti dr. Sofia, ya? Kenalin, nama aku Felix. Kemarin, Nael udah sempat cerita sedikit tentangmu di chat WhatsApp.” Sapa Felix dengan nada yang ramah, sambil berjalan mendekati dr. Sofia untuk berjabat tangan.
“I-Iya, salam kenal juga, ya. Pak Nael juga udah sempat cerita sedikit mengenai anda kemarin. Makasih, ya, udah mau ngeluangin waktu buat ngebantu saya.” Balas dr. Sofia dengan nada yang terdengar sedikit canggung.
“Ahahaha, nggak masalah. Makasih juga karena udah bantu kakak iparku buat sembuh dari penyakit mentalnya.”
Melihat mereka berdua yang mulai terlihat akrab, hatiku entah kenapa jadi terasa sedikit hangat. Sudah lama aku nggak merasakan sensasi ini semenjak kepergian Felicia. Yah, meski begitu, aku rasa udah nggak ada waktu lagi untuk mengobrol. Kita harus segera menyelesaikan surat tuntutannya sebelum dipanggil oleh pekerjaan masing-masing.
“Baiklah, kalau begitu,” ucapku dengan nada yang cukup lantang, sambil berdiri dari sofa, “ayo kita buat surat gugatannya!”
...***...
Di luar dugaan, surat gugatan milik dr. Sofia berhasil selesai dengan waktu yang jauh sebelum pukul delapan pagi. Seperti yang aku katakan di awal, kehadiran seorang ahli hukum memang akan sangat membantu dalam proses penyusunannya. Selain cepat, surat gugatan itu juga dapat terselesai dengan sangat baik.
Tapi, sayangnya, kami bertiga tidak dapat mengantarkan surat itu ke pengadilan tadi pagi karena masih ada hal penting yang harus diselesaikan masing-masing. Felix kemudian mengusulkan untuk mengantarkannya pada sore hari, lebih tepatnya pada pukul tiga, karena kebetulan pekerjaan kami selesai bersamaan di jam tersebut.
Saat ini, mereka berdua masih berada di dalam kantor pengadilan untuk mengajukan surat gugatannya. Kebetulan, Felix memiliki sertifikasi untuk mendampingi seseorang yang memerlukan bantuan hukum, sehingga dia boleh ikutan masuk untuk menemani dr. Sofia.
Sementara itu, aku hanya bisa menunggu di parkiran sambil menikmati sebatang rokok. Ini disebabkan karena aku nggak punya kewenangan yang sama dengan Felix, serta bukan pihak yang terlibat di dalam sengketa ini. Makanya, pihak pengadilan nggak mungkin mengizinkanku untuk ikut bersama mereka berdua.
Saat mau buang puntung rokok pada tempat sampah yang ada di luar area kantor pengadilan, pandanganku tidak sengaja bertemu dengan Eka si perwira polisi. Dilihat dari setelan baju olahraganya, aku langsung mengetahui kalau dia lagi jogging sore sekarang.
“Loh, ngapain kau di pengadilan, El? Kena serempet kasus client lagi?” Tanyanya dengan nada penasaran, sambil berjalan mendekat ke arahku.
“Nggak, aku datang ke sini buat nemenin dr. Sofia ngajuin surat gugatan.” Jawabku pada pertanyaannya itu.
“Dr. Sofia ngajuin surat gugatan? Kepada siapa?” Tanyanya lagi dengan suara yang terdengar semakin penasaran.
“Kepada pihak Perumahan Dahayu Permai. Mereka udah ngelakuin tindakan wanprestasi terhadap kontrak yang ditandatangani oleh dr. Sofia.” Balasku lagi sambil menguap karena mengantuk.
“Waduh, mereka berani ngelakuin itu?” Eka tampak sedikit terkejut setelah mendengar penjelasanku itu.
“Yah, begitu lah. Aku sendiri juga nggak ngerti kenapa mereka berani melanggar kontrak.” Aku membalas sambil mengangkat bahu dengan malas. “Ngomong-ngomong, rutemu sisa berapa kilometer lagi, Ka?” Tanyaku basa-basi.
“Yah, kira-kira sekitar dua kilometer lagi, lah. Soalnya, aku masang target di angka delapan kilometer, nih.” Eka menjawab sambil memperlihatkan tracker device di smartwatchnya.
“Oke deh, aku mau balik ke mobil dulu. Kau hati-hati di jalan, ya.” Ucapku sambil berbalik meninggalkannya menuju parkiran.
“Oke, sampai ketemu lagi!”