Aku menunggu jawaban dari bu Nirmala dan bu Zahira, namun hingga dua hari ini berikutnya, aku belum mendapatkan jawaban dari masalah tersebut.
"Bu, Andai aku tak cerita tentang masalah bullying ini pada ibu, aku mungkin masih sekolah di sekolah X ya bu," ucap Zahrana padaku saat kami tengah makan bersama.
Aku memandang putri sulungku tersebut.
"Bila kamu tidak bilang pada ibu, ibu yakin, Allah akan menunjukkan jalan lain agar ibu bisa mengetahui masalahmu nduk. Wis nggak usah dipikirkan lagi. Ayo cepat makannya. Nanti keburu dihabiskan mas," ucapku mengalihkan pembicaraan.
Aku berusaha tak terlalu mendengarkan perkataan Zahrana karena aku masih menunggu penjelasan dari bu Zahira dan bu Nirmala dan pengakuan dari Ghania agar semua menjadi jelas. Akankah Zahrana tetap bisa sekolah disana atau tidak pun tidak, akupun tak tahu jawabannya karena aku akan mempertimbangkan semua dari beberapa sisi, dan aku pasti akan memilih sisi yang paling aman untukmu, Zahran
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DUOELFA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PERJALANAN MENUJU TEMPAT TES
Jarum jam sudah menunjukkan hampir jam tiga sore. Aku masih menunggu keputusan dari mas Anton, tapi entah mengapa masih belum ada pemberitahuan darinya hingga saat ini. Aku masih saja berusaha untuk santai karena tahu betul tabiat mas Anton seperti apa. Aku tahu satu hal yang pasti. Meskipun ia terlihat begitu tega pada kami sekeluarga, ia tidak akan membiarkan kami, aku dan Zahrana pergi berdua saja ke Yogyakarta. Pertama, bila aku kesana sendirian hanya bersama putri sulungnya tersebut, bila keluarga besarnya sampai tahu kabar tentang ini, image suami dan ayah yang baik dan benar yang ia bangun selama ini akan terligat hancur. Mas Anton lebih mementingkan menjaga image nya dihadapan seluruh keluarga besar daripada bersikap seperti apa adanya. Kedua, mas Anton pasti tidak mau mengasuh dan menjaga Mumtaz dan Arsenio karena ia ingin fokus dengan hobinya yaitu game online. Dengan adanya keberadaan Mumtaz dan Arsenio itu akan sangat mengganggu hobinya tersebut. Kondisi kedua anak yang tengah sakit pasti sangat rewel. Mas Anton sudah jelas tak mau ambil pusing bila mendengar rewel dan tangisan kedua anaknya. Tapi aku tak memberitahukan dugaanku tersebut pada Zahrana agar ia tidak memiliki pikiran yang aneh pada ayahnya.
"Bu, kita jadi ke Jogja atau tidak ya?" Tanya Zahrana padaku yang terlihat mulai khawatir karena ayahnya tidak segera datang.
"Entah Nduk. Dari tadi sudah ibu miss call, juga sudah ta wa, tapi ayah tidak membalas sama sekali. Kita tunggu hingga jam enam sore ya mbak. Bila ayah tidak datang, nanti malam kita berangkat naik bis saja. Mari kita berkemas," jawabku.
Tak lama kemudian terdengar suara deru mesin motor berhenti. Mas Anton terlihat telah datang. Ia memarkirkan kendaraannya di halaman dan berjalan ke arah ruang tamu. Ia tampak duduk disana, mengeluarkan sebatang rokok dari tas selempang warna hitam miliknya. Kemudian menyalakan rokok tersebut dengan korek gas berwarna ungu. Zahrana sigap mengambil asbak karena biasanya mas Anton akan menjentikkan abu di sembarang tempat bila tidak segera diberi asbak.
"Kita cater mobil saja biar Mumtaz dan Arsenio bisa ikut. Aku nggak bisa ngurusin sendirian bila mereka sakit seperti ini. Cepat berkemas. Aku akan pergi mengambil mobilnya. Katanya mobilnya akan kembali ke tempat rental pukul empat sore. Kita berangkat ke Jogja habis maghrib," jelas mas Anton sambil menyemburkan asap dari mulutnya.
"Ayah, adik, mas sakit. Kalo merokok di teras saja," saran Zahrana.
Bila Zahrana yang mengatakan sendiri, biasanya mas Anton segera menuruti kehendak putrinya tersebut. Seperti saat ini, Mas Anton segera mengambil asbak dan duduk di teras depan. Setelah menghabiskan satu batang rokok, ia terlihat beranjak dari duduknya dan menghampiri motornya yang terparkir di halaman.
"Ayah, ikut," ucap Mumtaz dan Arsenio secara bersamaan.
"Ayo cepat. Tapi jangan banyak gerak. Masih sakit. Nanti mau nggak naik mobil?" Tanya mas Anton pada mereka.
"Mau," ucap Mumtaz
"Mau," ucap Arsenio mengikuti kakaknya.
Mas Anton segera membunyikan motor dan membawa kedua anaknya. Aku menatap mereka hingga hilang diujung jalan.
Seperti dugaanku. Mas Anton tidak mau mengasuh Mumtaz dan Arsenio saat sakit secara bersamaan seperti ini. Bila memakai mobil rental bisa dibayangkan bagaimana kerepotanku di Jogja nanti. Fokusku terbagi menjadi dua. Satu mengurus Zahrana yang akan menghadapi tes, yang kedua fokus pada dua balitaku yang tengah sakit. Sedangkan mas Anton, setelah lama mengemudi mobil, pasti tidur karena kecapekan. Ia juga sangat susah dibangunkan bila sudah terlelap. Apa mas Anton bisa diajak berkompromi selama disana? Entahlah, aku tak tahu jawabannya karena kulihat saat ini mas Anton terlihat semakin keras kepala saja.Juga berdasarkan pengalaman saat perjalanan ke luar kota, seperti Pacitan, Jember, Surabaya ia juga sangat tidak bisa untuk diajak kompromi. Mas Anton selalu saja seenaknya sendiri.
Pukul setengah enam sore, mobil Xenia berwarna hitam terlihat memasuki halaman rumah. Aku mengemasi barang yang kubutuhkan selama diperjalan dan menata semuanya di teras. Mas Anton keluar dari mobil dan membantu memasukkan semua barang ke dalam mobil. Tak lupa keperluan Zahrana untuk ujian. Kami berangkat malam agar bisa sampai Yogyakarta pada dini hari agar sebelum tes Zahrana bisa istirahat walau sejenak.
Kami memulai perjalanan dari kota tahu. Sampai di Nganjuk, saat melewati alun-alun kota, suasana begitu asik. Banyak sekali lampu di jalan yang membuat suasana lebih semarak.
Saat di Ngawi, kami melewati tugu kartonyono.
"Ini namanya tugu Kartonyono. Itu masih direnovasi," jelas mas Anton pada Zahrana.
Aku melihat disana patung kartonyono yang tertutup terpal berwarna abu-abu.
Lewat Kartonyono jadi ingat lagunya mas Denny Caknan yang tentang Kartonyono.
Kartonyono ning Ngawi medot janjimu
Tapi aku lupa judul lagunnya apa ya? hehehe.
Mas Anton sangat paham dengan area plat AG dan AE karena dulu, sebelum ia bekerja di depo air isi ulang, ia pernah bekerja sebagai pegawai diler motor merek Suxxxx sebagai sales sparepart area Jawa Timur AG dan AE yang meliputi area Ngawi, Madiun, Magetan, Ponorogo, Trenggalek, Tulungagung, Blitar, Kediri dan Nganjuk.
Kami telah melewati wilayah Jawa Timur dan mulai memasuki wilayah Sragen, Jawa Tengah. Mulai wilayah Jawa Tengah, mas Anton tidak tahu arah jalan untuk ke arah Yogyakarta. Ia baru mulai melihat google map karena ia tak begitu paham wilayah Jawa Tengah hingga ke kota tujuan.
"Mengapa tadi nggak menyewa sopir saja sekalian Yah? Nanti kalau kesasar gimana?" Tanyaku penasaran.
"Ada google map," sahut mas Anton dengan singkat dengan nada tinggi.
"Tapi ...," aku tidak jadi meneruskan perkataanku karena takut mas Anton semakin marah.
Bukannya aku tidak percaya dengan aplikasi, tapi kerapkali aplikasi google map itu sedikit menyesatkan. Bukankah lebih baik memilih seseorang yang lihai dibidang sopir menyopir daripada kita kesasar? Tapi aku tak berani berdebat dengan mas Anton saat ini.
Pukul sebelas malam kami telah tiba di Solo. Saat menuju jembatan layang, aku disuruh membaca google map.
"Kita naik jembatan layang atau tidak?" Tanya mas Anton.
"Aku nggak tau mas."
"Sini hpnya," pinta mas Anton.
Aku menyerahkan hp padanya. Ia memilih jalur tidak naik jembatan layang dan menuju ke arah kiri. Tapi ternyata alur yang benar menuju ke arah sebaliknya. Akhirnya mobil putar balik dan kembali melaju ke arah kanan.
"Pulangnya, tolong diingat buk," kata mas Anton.
"Iya kalau ingat. Aku gampang lupa."
Pukul setengah dua malam, kami telah sampai di Janti, jembatan layang yang biasanya dilewati bis antar kota, antar provinsi di daerah Yogyakarta. Mobil menuju ke arah barat melewati Ambarrukmo Plaza, Museum Affandi, UIN Sunan Kalijaga terus ke Barat dan berhenti di perempatan Gejayan untuk mencari makanan.
"Lapar. Makan dulu yuk Zah," ajak mas Anton pada Zahrana sambil membuka pintu mobil.
Mumtaz dan Arsenio terlihat sudah tidur dari Sragen karena aku memberi obat anti mabuk sebelum perjalanan.
"Gudeg tiga dan teh hangat tiga ya pak. Lauk telur dua, yang satu ayam,telur, tahu dan tempe," pesan mas Anton pada penjual.
"Ya mas," jawab penjual tersebut.
Kami bertiga duduk di lesehan yang terbuat dari tikar mendo. Aku menoleh ke kanan dan kiri. Entah mengapa terasa nyaman sekali suasana malam di kota pelajar ini.
"Tak sabar rasanya makan gudeg," ujar Zahrana padaku.
Tak lama kemudian pesanan kami datang. Gudeg dengan bau yang khas begitu menyeruak di hidungku.
Setelah mencicipi gudeg, Zahrana mengernyit.
"Gudeg ternyata manis banget bu. Aku nggak suka," ucap Zahrana.
"Katanya tak sabar makan gudeg. Sekarang kok gak mau," ujarku menyela.
Zahrana menggelengkan kepala.
"Gudeg ini terlalu manis bu. Kukira rasa gudegnya seperti di tempat mbak Reni, penjual sayur. Aku makan tempe sama tahu masakan ibu saja," ucap Zahrana.
"Ya jelas beda sama Gudeg mbak Reni. Itu gudeg modifikasi sesuai lidah orang Jawa Timur yang suka pedas dan asin," jawabku.
"Zah, Zahrana. Kamu itu aneh. Ada makanan enak, tetap makanan ibumu yang kamu suka," sahut mas Anton.
Seusai makan, dan membayar makanan pada kasir, kami kembali ke mobil. Aku melihat google map untuk melihat lokasi dimana sekolah internasional itu berada dan melihat rute terbaik menuju ke sana. Kami kembali ke arah timur, kemudian ke arah selatan melewati kampus UIN Sunan Kalijaga hingga kantor walikota kemudian belok ke barat melewati Pura Pakualaman lurus hingga benteng Vredeburg yang terletak di depan keraton, perempatan utaranya pasar Beringharjo. Tak lupa ada gedung BNI yang begitu legend di sana. Kalian bisa tarik tunai di ATM hanya dengan pengambilan dua puluh ribu rupiah saja. Itu sudah ada sejak zamanku kuliah disalah satu perguruan tinggi negeri di kota pelajar itu tahun 2004.
Mobil kami melaju lurus hingga terdapat sebuah pertigaan. Kami mengambil arah kiri dan lurus terus hingga ke arah jalan besar menuju ke arah Wates, Kulon Progo. Kemudian kami mengambil arah kanan mungkin lima satu kilo meteran dan menemukan rest area di sana. Kami beristirahat sejenak dan melakukan kegiatan lainnya sebelum Zahrana melaksanakan tes babak final secara offline di sekolah internasional.