Tamparan, pukulan, serta hinaan sudah seperti makanan sehari-hari untuk Anita, namun tak sedikitpun ia mengeluh atas perlakuan sang suami.
Dituduh menggugurkan anak sendiri, membuat Arsenio gelap mata terhadap istrinya. Perlahan dia berubah sikap, siksaan demi siksaan Arsen lakukan demi membalas rasa sakit di hatinya.
Anita menerima dengan lapang dada, menganggap penyiksaan itu adalah sebuah bentuk cinta sang suami kepadanya.
Hingga akhirnya Anita mengetahui pengkhianatan Arsenio yang membuatnya memilih diam dan tak lagi mempedulikan sang suami.
Follow Instragramm : @iraurah
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon iraurah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hari Ulang Tahun
Pagi itu, matahari belum sepenuhnya menampakkan sinarnya ketika Anita bangun dari tempat tidur. Jam dinding di kamar menunjukkan pukul lima lewat dua belas menit. Seperti biasa, ia bangun lebih dulu dibanding suaminya, Arsen, yang masih terlelap membelakangi dirinya di sisi ranjang yang sama. Anita bangkit perlahan, berusaha agar tidak menimbulkan suara yang membangunkan suaminya. Ia berjalan menuju kamar mandi, membasuh wajah, dan mempersiapkan diri untuk memulai hari yang sebenarnya istimewa baginya.
Hari ini, Anita berulang tahun. Ia tidak pernah berharap perayaan besar atau hadiah mewah. Cukup satu ucapan hangat dan pelukan tulus dari orang terdekat sudah mampu membuatnya merasa dihargai. Namun, tahun ini terasa berbeda. Entah mengapa, ada firasat yang membuat dadanya sedikit sesak sejak semalam. Ia masih menyimpan harapan bahwa Arsen, walau terlihat dingin dan acuh semalam, tetap mengingat hari penting ini.
Selesai mandi dan berganti pakaian rumah, Anita langsung menuju dapur. Ia ingin membuat sesuatu yang spesial. Hari ini, ia akan memasak lebih banyak dari biasanya. Bukan hanya untuk dirinya, tetapi juga untuk Arsen, jika saja pria itu berubah pikiran dan ingin merayakan ulang tahunnya bersama.
Anita mulai menyiapkan bahan-bahan. Ia membuat nasi kuning lengkap dengan ayam goreng, telur balado, sambal goreng kentang, serta sayurnya juga. Ia pun menyiapkan puding mangga kesukaan Arsen, dan beberapa potong roti isi untuk sarapan ringan. Dapur menjadi hangat dan hidup oleh aktivitasnya. Aroma harum menyebar ke seluruh penjuru rumah, membuat pagi itu terasa lebih ceria bagi Anita, walau hanya ia sendiri yang menyambutnya dengan senyum.
Sekitar pukul tujuh pagi, suara langkah kaki terdengar dari lantai atas. Anita yang tengah menata makanan di meja makan segera menoleh. Arsen turun dengan pakaian kerja yang rapi. Jas abu-abu, dasi berwarna gelap, dan sepatu kulit yang telah disemir mengkilap. Tatapan pria itu lurus ke arah meja makan, tanpa menoleh sedikit pun ke arah Anita.
“Selamat pagi, Pih,” sapa Anita dengan suara lembut dan penuh harap.
Namun Arsen tidak menjawab. Ia hanya duduk dan langsung mengambil piring. Dengan tenang, ia mulai menyendok nasi dan mengambil beberapa lauk. Tidak sepatah kata pun keluar dari bibirnya, seolah pagi itu sama saja seperti pagi-pagi lainnya. Tidak ada senyum, tidak ada ucapan.
Anita menelan ludah pelan. Ia mencoba tetap tersenyum. Mungkin arsen sengaja. Mungkin nanti akan ada kejutan, pikirnya mencoba menenangkan hati sendiri.
Selesai makan, Arsen bangkit dari kursi dan mengambil tas kerjanya yang terletak di dekat sofa ruang tamu. Ia mengenakan jam tangan sambil berjalan menuju pintu depan. Anita segera menyusulnya.
“Pih…” ucap Anita perlahan.
Arsen berhenti dan menoleh sebentar.
“Hari ini tanggal berapa, ya?” tanyanya dengan nada senada, berpura-pura seolah tidak tahu.
Alih-alih menjawab dengan nada santai atau senyum, Arsen justru menghela napas panjang dengan raut kesal.
“Lihat saja kalender. Jangan tanya hal-hal tidak penting begitu. Aku buru-buru,” katanya tegas.
Anita terpaku. Jantungnya serasa berhenti berdetak sesaat. Ia ingin berkata bahwa hari ini adalah ulang tahunnya. Ia ingin memeluk dan berkata bahwa ia hanya ingin sedikit perhatian, walau sekilas. Namun semua itu tertelan oleh kata-kata Arsen yang seperti bilah dingin menyayat hatinya.
“Maaf, Pih…,” ucap Anita lirih.
Tanpa menoleh lagi, Arsen membuka pintu dan pergi. Suara pintu tertutup terasa lebih keras daripada biasanya, seolah memberi jeda menyakitkan di pagi yang seharusnya bahagia.
Anita berdiri beberapa detik di dekat pintu sebelum akhirnya berbalik, melangkah pelan ke ruang makan. Meja masih penuh makanan yang ia tata dengan sepenuh hati. Ia duduk di kursinya sendiri, memandangi hidangan yang kini tampak sunyi. Hatinya digelayuti rasa kecewa, namun ia tetap mencoba berpikir positif.
Mungkin malam nanti Arsen akan pulang lebih cepat. Mungkin ia sengaja membuat kejutan. Ya, mungkin itu alasannya bersikap seperti ini.
Setelah membereskan meja makan dan membersihkan dapur, Anita berganti pakaian di kamar. Hari ini ia juga harus ke ruko miliknya. Barang-barang baru telah masuk semalam, dan ia harus memastikan semuanya tersusun sesuai pesanan pelanggan.
Di sepanjang perjalanan menuju ruko, Anita berusaha mengalihkan pikirannya dengan mendengarkan musik favoritnya di dalam mobil. Namun lagu-lagu yang biasanya membuatnya bersemangat kini hanya terdengar seperti gema kosong. Pikirannya masih berputar pada Arsen.
Setibanya di depan rukonya, Anita turun dari mobil dan segera berjalan menuju pintu masuk. Namun baru saja ia membuka pintu dan melangkah masuk, terdengar suara riuh dari dalam.
“SURPRISE!!!”
Anita terkejut, tubuhnya sedikit mundur karena kaget. Di depan matanya berdiri semua pegawai rukonya, lengkap dengan topi ulang tahun warna-warni, balon-balon yang menggantung di langit-langit, dan spanduk besar bertuliskan: SELAMAT ULANG TAHUN, BU ANITA!
Ia menatap wajah-wajah ceria mereka dengan mata membelalak. Seorang pegawai perempuan mendekatinya sambil membawa kue tart bertingkat dengan lilin menyala di atasnya.
“Bu Anita, tiup lilinnya dulu ya!” ujar perempuan itu sambil tersenyum lebar.
Anita tak mampu berkata-kata. Ia hanya mengangguk pelan, kemudian tersenyum—senyum yang akhirnya tulus setelah sepanjang pagi menahan kecewa. Ia menutup mata sejenak, membuat satu harapan dalam hati sebelum meniup lilin dengan perlahan.
Semua orang bertepuk tangan riuh. Salah satu pegawai lainnya menyodorkan hadiah kecil yang dibungkus kertas warna emas.
“Ini dari kami semua, Bu. Terima kasih sudah menjadi atasan yang baik,” ucap pegawai laki-laki itu dengan tulus.
Anita menerima hadiah itu dengan tangan gemetar. “Terima kasih... semuanya. Saya... tidak tahu harus bilang apa,” ucapnya dengan suara terbata.
Seorang pegawai lainnya, yang selama ini menjadi kepala bagian logistik di ruko, maju dan berkata, “Kami tahu Ibu tidak pernah merayakan ulang tahun secara besar. Tapi kami semua merasa Ibu pantas mendapat hari yang bahagia. Semoga Ibu selalu sehat dan terus menjadi inspirasi bagi kami.”
Mata Anita berkaca-kaca. Ia tak sanggup menahan rasa haru yang menggelayuti hatinya. Semua rasa kecewa yang tadi pagi membebani dadanya perlahan menguap. Ia merasa disayangi. Ia merasa dihargai. Bahkan oleh orang-orang yang bukan keluarganya.
Mereka makan bersama di ruang belakang ruko. Makanan yang disediakan adalah hasil gotong-royong para pegawai, ada nasi kotak, camilan ringan, dan tentu saja kue ulang tahun yang baru saja dipotong. Anita duduk bersama mereka, tertawa, dan untuk pertama kalinya dalam waktu lama, ia merasa benar-benar tidak sendirian.
Setelah acara sederhana itu usai, Anita masuk ke ruang kantornya di lantai dua. Ia membuka hadiah kecil dari para pegawainya—sebuah buku agenda kulit dengan namanya terukir di sampul. Di dalamnya terdapat kartu ucapan yang ditulis tangan oleh semua pegawainya, dengan pesan-pesan manis dan harapan baik.
Salah satu tulisan menarik perhatiannya:
"Bu Anita, Anda mengajarkan kami bahwa kelembutan bukan kelemahan, dan bahwa kebaikan adalah kekuatan. Terima kasih sudah menjadi teladan. Selamat ulang tahun!"
Anita menutup buku itu perlahan, meletakkannya di atas meja, dan menatap keluar jendela. Langit mulai berubah warna menjadi jingga. Hari mulai merambat senja.
Ia teringat kembali pada Arsen. Walaupun masih menyimpan harapan bahwa suaminya akan membawa kejutan malam nanti, tetapi untuk saat ini, Anita membiarkan kebahagiaan kecil yang ia terima hari ini mengisi ruang kosong dalam hatinya.
tinggal Takdir yg menentukan..
dan bagaimana respon dr yg menjalani setiap takdir nya tsb 👍
jagain dari jauh, doain yang terbaik buat Anita...
maaf y thor gak salah judul y
🤭