Amezza adalah seorang pelukis muda yang terkenal. Karakternya yang pendiam, membuatnya ia menjadi sosok gadis yang sangat sulit ditaklukan oleh pria manapun. Sampai datanglah seorang pria tampan, yang Dnegan caranya membuat Amezza jatuh cinta padanya. Amezza tak tahu, kalau pria itu penuh misteri, yang menyimpan dendam dan luka dari masa lalu yang tak selesai. Akankah Amezza terluka ataukah justru dia yang akan melukai pria itu? Inilah misteri cinta Amezza. Yang penuh intrik, air mata tapi juga sarat akan makna arti cinta dan pengampunan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Henny, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Berdua Itu Menyenangkan
Erland menarik kursi lalu duduk di depan Amezza. Mereka ada di restoran untuk sarapan bersama.
"Ame, kamu semalam di mana? Aku telepon tapi nggak diangkat."
Amezza diam sejenak. Ia baru sadar kalau semalam tak membawa ponselnya. "Aku jalan-jalan sebentar karena pas bangun, tak bisa memejamkan mata lagi."
"Kenapa nggak telepon aku? Aku sangat khawatir. Semalam kamu makan?"
Amezza mengangguk. "Aku makan di restoran dekat hotel. Pas pulang langsung ketiduran."
Erland hanya mengangguk. Terus, kenapa sarapannya hanya roti dan susu?"
"Aku merasa berat badanku bertambah kalau di sini."
Erland terkekeh. "Kamu cantik. Kalau pun gendut pasti tetap cantik."
Amezza hanya mengibaskan tangannya. Ia sudah biasa dipuji oleh Erland.
Caleb dan istrinya mendekat. "Selamat pagi. Boleh kami bergabung di sini?" tanya Caleb.
"Tentu saja boleh." jawab Erland dan Amezza secara bersamaan.
Caleb menarik kursi untuk istrinya lalu duduk di samping istrinya. Saat matanya menatap ke arah pintu masuk restoran, ia melihat Evradt.
"Ev, ke sini!"
Evradt melangkah ke arah meja mereka.
"Ya ampun, Ev. Wajahmu kenapa?" tanya Caleb saat melihat pipi kanan Evradt agak memar.
"Biasalah anak muda. Semalam ada pria mabuk yang menganggu aku." ujar Evradt.
"Makanya kalau jalan jangan sendiri." ucap Grace, istrinya Caleb.
"Aku nggak sendiri, nyonya Thomson. Tapi bersama seseorang." kata Evradt sambil melirik sekilas ke arah Amezza. Gadis pura-pura menikmati roti bakarnya.
"Siapa yang bersamamu? Seorang gadis yang?" tanya Caleb penasaran.
"Bukan. Seorang cowok."
"Sejak kapan kamu berubah jalur?" tanya Erland. Mereka pun tertawa bersama.
Amezza berusaha tenang dan menikmati alur percakapan mereka.
"Hallo semua.....!" orang tua Erland, Nyonya Faith dan tuan Ezekiel mendekati meja mereka.
"Uncle, aunty!" Amezza langsung berdiri dan menyalami kedua orang tua itu.
"Aunty senang kamu ada di sini, sayang." ujar Faith lalu mengecup pipi Amezza.
"Cie...cie...yang sebentar lagi jadi mantu." goda Caleb membuat Amezza jadi salah tingkah.
"Caleb, jangan menggoda Amezza. Dia jadi malu kan?" Ezekiel melotot ke arah putranya.
Faith dan Ezekiel pun gabung bersama mereka. Evradt melihat bagaimana orang tua Erland nampaknya sangat menyukai Amezza.
Setelah acara sarapan bersama yang penuh kekeluargaan, Amezza dan Erland pun pamit untuk bergabung dengan kru yang ada.
Mereka hari ini akan ke pantai Pandawa. Ternyata Caleb san istrinya juga ikut. Namun Evradt tak ikut karena ia merasa kalau tubuhnya kurang fit.
Mendengar Evradt yang kurang sehat, Amezza sebenarnya menjadi tak tenang. Ia tahu Evradt terluka karena dirinya.
Sepulang dari pantai Pandawa, Amezza memilih untuk menemui Evradt di kamarnya. Ia mengetuk pintu kamar cowok itu. Tak berapa lama, Evradt membukanya.
"Hai, bagaimana keadaanmu?" tanya Amezza lalu melangkah masuk. Kamar Evradt sama dengan kamarnya. Ruang tamu terpisah dengan kamar bahkan ada dapur kecilnya.
"Tadi selesai sarapan aku merasa agak demam. Makanya tadi tidur saja setelah minum obat."
Amezza duduk di samping Evradt. Tangannya meraba dahi Evradt. "Dahimu masih agak hangat. Bagaimana kalau kita ke dokter saja?"
"Aku nggak mau. Sekarang aku justru sudah merasa sehat."
"Mengapa bisa begitu?"
"Aku kan sudah bilang kalau kamu itu ibarat obat. Bukan sembarangan obat tapi obat yang sangat manjur."
Amezza melotot. Ia ingin mencubit pinggang Evradt namun akhirnya tak jadi karena takut cowok itu akan kesakitan.
"Kamu sudah makan siang?" tanya Amezza.
Evradt menggeleng.
"Kenapa belum makan?" Amezza melihat arlojinya. "Ini sudah jam 5 sore. Nanti kamu tambah sakit."
"Kamu mengkhawatirkan aku?" tanya Evradt sambil melirik Amezza dengan tatapan yang membuat gadis itu memalingkan wajahnya.
"Bukan mengkhawatirkan kamu. Tapi aku merasa bersalah. Kamu jadi seperti ini karena aku."
Evradt menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan. "Pada hal aku sudah senang karena pikir kamu mengkhawatirkan aku." Evradt jadi cemberut.
"Sudah. Jangan merajuk seperti itu. Kamu mau makan apa? Biar aku pesankan." Amezza mengeluarkan ponselnya. Evradt justru mengambil ponsel Amezza lalu mengetik nomornya di sana dan menghubungi nomornya sendiri.
"Apa yang kamu lakukan?" tanya Amezza.
"Supaya aku tahu nomor mu. Kalau aku sakit, bisa segera dihubungi."
Evradt menarik hidung mancung Amezza dengan gemas. Ia kemudian berdiri. "Di meja ada makanan. Tadi aku pesan tapi tak selera untuk makan."
Amezza mengikuti Evradt sampai di depan meja makan. "Kenapa tak dimakan?" tanya Amezza.
"Tak ada selera."
"Aku panaskan lagi. Setelah itu kamu makan ya?" Amezza menyalahkan microwave untuk memanaskan makanan yang tadi di pesan oleh Evradt. Setelah makanannya panas, Amezza mengeluarkannya dari dalam microwave lalu menuangkannya ke atas piring. Tak lupa ia membuatkan juga teh hangat untuk Evradt.
Lelaki itu makan dengan lahap. Ia juga menghabiskan teh yang Amezza buat. "Teh ini sangat enak."
"Ini teh melati. Aromanya sangat enak. Mamaku sangat suka meminumnya. Selalu di kirim langsung dari Indonesia."
"Kamu sangat suka dengan Indonesia?"
"Ya. Kalau di desa tempat kelahiran mamaku, suasananya sangat menyenangkan."
"Kamu pasti punya pacar di sana."
Amezza menggeleng. "Aku belum pernah pacaran. Mungkin punya tapi aku sudah lupa. Aku pernah mengalami kecelakaan yang membuat sebagian memoriku hilang. Aku bahkan lupa dengan asistenku sendiri. Untungnya foto-foto kebersamaan kami selalu disimpan Fifi."
"Jadi kamu pernah mengalami kecelakaan?" tanya Evradt.
"Iya."
"Pasti menyedihkan ya tak mengingat masa lalu kita."
Amezza mengambil piring Evradt yang sudah kosong. Ia kemudian mencucinya. Lalu keduanya kembali duduk di ruang tamu.
"Menurut mu, apakah orang yang amnesia bisa mengingat lagi masa lalunya?"
"Aku tak tahu. Namun menurut mamaku, ada baiknya juga aku melupakan masa laluku. Karena aku pernah diculik."
Evradt menatap Amezza. "Bagaimana kalau masa lalu yang kamu lupakan itu adalah sesuatu yang sebenarnya sangat indah dalam hidupmu?"
"Kalau sesuatu sangat indah, aku yakin tak akan melupakannya. Karena pasti akan membekas bukan hanya di kepalaku tapi terutama di hatiku."
Evradt mengangguk. "Benar juga ya?"
Amezza meraih ponselnya yang berdering. Ternyata itu panggilan dari mamanya. "Hallo mama."
"Sayang, bagaimana liburannya? Kamu baik-baik saja di Bali kan?"
"Iya, ma. Semuanya baik-baik saja. Aku menikmati liburannya."
"Erland bagaimana?"
"Baik juga. Orang tua Erland juga ada di sini."
"Baiklah sayang. Mama hanya kangen saja mendengar suaramu. Sampaikan salam mama untuk Erland ya? Bye ....."
"Mamamu?" tanya Evradt.
"Ya."
"Dia pasti wanita yang hebat ya?"
"Dari mana kamu tahu. Kamu kan tidak mengenal mamaku?"
"Aku mengenalnya dari kamu. Kamu kan anak rumahan. Pastilah pengaruh didikan mamamu sangat mempengaruhi caramu bersikap dan bertindak. Bagiku kamu luar biasa."
Wajah Amezza memerah. "Mulai lagi gombalnya. Aku pergi saja. Sekarang kamu istirahat ya ..."
"Eh .....!" Evradt menahan tangan Amezza.
"Ada apa?"
"Terima kasih sudah mau datang menjengukku."
Amezza hanya tersenyum. Evradt yang masih berdiri di hadapan Amezza secara tak terduga mencium pipi Amezza. Perempuan itu terbelalak. Ada apa ini?
harus nya Vania SDR insyaf jgn jht Mulu dong