Kevin cuma anak SMA biasa nggak hits, nggak viral, hidup ya gitu-gitu aja. Sampai satu fakta random bikin dia kaget setengah mati. Cindy cewek sejuta fans yang dielu-elukan satu sekolah... ternyata tetangga sebelah kamarnya. Lah, seriusan?
Cindy, cewek berkulit cerah, bermata karamel, berparas cantik dengan senyum semanis buah mangga, bukan heran sekali liat bisa bikin kebawa mimpi!
Dan Kevin, cowo sederhana, dengan muka pas-pasan yang justru dipandang oleh sang malaikat?!
Gimana kisah duo bucin yang dipenuhi momen manis dan asem ini selanjutnya!? daripada penasaran, mending langsung gaskan!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Proposal, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Malaikat Kesakitan
Taman tempat Kevin dan Cindy pertama kali bertemu terletak di sepanjang rute pulang mereka. Kompleks apartemen Kevin lebih cocok untuk penghuni tunggal atau pasangan tanpa anak, sehingga sangat jarang terlihat keluarga dengan anak kecil di sekitar area tersebut. Kondisi yang sama juga terlihat di blok apartemen sekitarnya, membuat suasana lingkungan terkesan lebih sepi.
Taman kecil yang terletak tak jauh dari kompleks pun tampak lengang. Tempat ini jarang dikunjungi anak-anak untuk bermain, lebih sering menjadi tempat persinggahan orang dewasa yang ingin beristirahat sejenak. Di tempat inilah Kevin kembali menemukan Cindy duduk sendirian di bangku taman saat pulang dari kampus.
"Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Kevin sambil mendekat.
"Tidak ada apa-apa," jawab Cindy singkat tanpa mengalihkan pandangan dari kejauhan.
Dia masih duduk di bangku taman yang sama, menyipitkan matanya ketika menatap Kevin yang tiba-tiba muncul.
Berbeda dengan pertemuan pertama mereka yang penuh kecanggungan, sekarang mereka sudah lebih akrab. Kevin bisa berbicara dengan lebih nyaman, meskipun jawaban Cindy tetap terdengar singkat dan tertutup.
Ekspresi Cindy tidak menunjukkan kewaspadaan, tapi lebih seperti kesulitan mengungkapkan sesuatu.
"Kalau memang tidak ada masalah, ngapain duduk sendirian terlihat tidak berdaya seperti ini? Ada apa sebenarnya?" Kevin bersikeras, tidak puas dengan jawaban samar Cindy.
"Sungguh, tidak ada masalah apa-apa," Cindy tetap pada pendiriannya.
Meski penasaran dengan ekspresi tidak biasa yang ditunjukkan Cindy, gadis itu tetap enggan bercerita lebih banyak.
Sebenarnya ada kesepakatan tak tertulis antara mereka untuk tidak saling ikut campur urusan di luar apartemen. Namun melihat kondisi Cindy yang tidak biasa, Kevin merasa tidak bisa tinggal diam.
Mungkin Cindy berharap Kevin tidak terlalu ikut campur. Tapi sebelum Kevin memutuskan untuk pergi, matanya menangkap sesuatu yang tidak biasa di seragam Cindy. Beberapa helai bulu putih menempel di lengan blazernya.
"Seragammu berbulu. Kamu habis main dengan kucing atau anjing?" tanya Kevin penasaran.
"Bukan," Cindy menggeleng, "Aku cuma... menolong kucing yang tidak bisa turun dari pohon tadi."
"Ah, klise sekali. Sekarang aku mengerti," Kevin mengangguk-angguk seperti baru memecahkan teka-teki.
"Hah? Mengerti apa?"
"Duduk saja di situ, jangan bergerak," perintah Kevin tiba-tiba sebelum bergegas pergi.
Seketika dia memahami alasan Cindy duduk sendirian di bangku taman. Dengan menghela napas panjang, Kevin berbalik dan berjalan meninggalkan taman.
Cindy pasti akan tetap diam di tempatnya. Atau lebih tepatnya, dia memang tidak bisa bergerak bebas saat ini.
Melihat sikap keras kepala Cindy yang membuatnya tidak mau mengakui kondisinya, Kevin hanya bisa menggeleng sebelum menuju ke apotek terdekat. Di sana dia membeli kain kasa steril dan perban elastis. Kemudian dia mampir ke minimarket untuk membeli es batu kemasan. Ketika kembali ke taman, Cindy masih berada di posisi yang sama.
"Cindy, lepas stockingmu," kata Kevin langsung tanpa basa-basi.
"Hah?" Cindy mengerutkan kening, melotot ke arah Kevin dengan pandangan dingin.
"Begini, aku akan berpaling supaya tidak melihat. Tutupi rokmu dengan jaketku ini, lalu lepas stockingmu. Kita perlu mendinginkan bagian yang sakit dan membalutnya dengan kain basah," jelas Kevin sambil menggoyang-goyangkan kantong belanjaan di tangannya, menunjukkan bahwa dia sudah menyiapkan semua kebutuhan pertolongan pertama.
Wajah Cindy tetap terlihat beku, tapi Kevin sudah bisa membaca situasinya.
"Bagaimana kamu bisa tahu?" tanya Cindy akhirnya.
"Kamu melepas satu sepatu, pergelangan kakimu terlihat agak bengkak, dan kamu jelas menghindari untuk berdiri. Sungguh klise sekali, terkilir saat menolong kucing," jawab Kevin sambil mengangkat alis.
"Kamu terlalu banyak bicara," gerutu Cindy.
"Ya sudah, sudahlah. Sekarang lepas stockingmu dan regangkan kakimu," perintah Kevin.
Meski jelas-jelas terluka, Cindy tampak tidak menyangka Kevin akan memperhatikan kondisinya. Dia meringis kesakitan ketika mencoba menggerakkan kaki yang sakit, tapi tetap berusaha menyembunyikannya.
Akhirnya Cindy mengambil jaket Kevin dan meletakkannya di pangkuannya, perlahan mulai mengikuti instruksi Kevin.
Kevin sengaja berpaling memberi privasi pada Cindy. Dia menyiapkan kompres es dengan menuangkan air dingin ke dalam gelas plastik dari minimarket, lalu membungkusnya dengan handuk kecil dari tasnya. Setelah yakin kompres sudah siap, dia perlahan menoleh kembali.
Seperti yang diperintahkan, Cindy sudah melepas stockingnya, memperlihatkan kaki yang ramping dan mulus tapi dengan pergelangan kaki yang tampak kemerahan dan agak bengkak.
"Sepertinya tidak terlalu parah, tapi bisa bertambah buruk jika dipaksakan. Ayo kita kompres dulu dengan es. Mungkin akan terasa agak dingin. Setelah rasa sakitnya mereda, akan kubalut dengan kain kasa. Santai saja," jelas Kevin sambil dengan hati-hati mendekati kaki Cindy yang terluka.
"Terima kasih banyak," bisik Cindy pelan.
"Lain kali jujur saja kalau butuh bantuan. Aku tidak membantumu untuk membuatmu berutang budi," kata Kevin sambil memfokuskan diri pada pergelangan kaki yang bengkak.
Dalam hati, Kevin merasa ini kesempatannya untuk membalas sedikit kebaikan Cindy selama ini.
Cindy meletakkan kakinya di atas bangku dan mulai mengompres bagian yang sakit. Ekspresinya tetap datar seperti biasa, tapi kali ini dia tidak menolak bantuan Kevin dan hanya duduk diam mengikuti arahan.
"Sudah agak membaik?" tanya Kevin setelah beberapa menit.
"Sedikit," jawab Cindy singkat.
"Aku akan membalutnya sekarang. Jangan marah dan menuduhku mesum atau penguntit ya?" canda Kevin mencairkan suasana.
"Aku tidak akan berkata seperti itu pada orang yang menolongku," jawab Cindy dengan nada datar.
"Baguslah," Kevin tersenyum.
Dia menekankan lagi bahwa niatnya murni membantu sambil berlutut di depan Cindy. Dengan gerakan hati-hati, dia membalut pergelangan kaki yang merah dan bengkak itu dengan kain kasa basah.
Ketika menanyai tingkat rasa sakitnya, Cindy mengaku masih bisa berdiri dan berjalan meski tidak nyaman. Tapi dia memilih untuk tidak memaksakan diri agar cederanya tidak bertambah parah. Setidaknya ini masih tergolong cedera ringan.
Setelah merekatkan balutan dengan plester, Kevin mendapati Cindy sedang menatapnya dengan ekspresi aneh.
"Kamu ternyata cukup berguna dalam situasi seperti ini," komentar Cindy tiba-tiba.
"Ya, aku bisa menangani luka-luka kecil. Tapi masak? Jangan harap," jawab Kevin sambil mengangkat bahu, mencoba membuat suasana lebih ringan.
Ucapannya berhasil memancing senyum kecil dari Cindy. Selama ini gadis itu selalu terlihat kaku dan serius. Senang melihatnya bisa sedikit lebih rileks.
Melihat Cindy lebih santai, Kevin merasa lega. Dia merogoh tasnya dan mengeluarkan celana training bersih.
"Ini, pakai saja," ujarnya menyerahkan celana itu pada Cindy.
"Untuk apa?" Cindy mengernyit.
"Jangan lihat aku seperti itu. Kaki kananmu terbuka karena tidak bisa pakai stocking dengan balutan ini. Celana ini masih baru, belum pernah kupakai. Tenang saja," jelas Kevin.
Dengan pergelangan kaki yang terbungkus kain kasa dan plester tebal, mustahil bagi Cindy untuk memakai stockingnya lagi. Lebih baik memakai celana training untuk melindungi diri dari udara dingin sekaligus menutupi bagian dalam rok yang terbuka.
Setelah yakin Kevin tidak bermaksud aneh-aneh, Cindy pun menerima celananya dengan patuh.
Sementara Cindy memakai celana, Kevin mengambil kembali jaketnya. Dia melepas parka yang dikenakannya dan menyerahkannya pada Cindy.
"Ini, pakai saja," katanya.
"Kenapa?" Cindy masih bingung.
"Kamu mau orang lain melihatku menggendongmu dalam keadaan seperti ini?"
Kevin tidak mungkin membiarkan orang yang cedera pulang sendirian. Dia berniat menggendong Cindy kembali ke apartemen mereka. Lagipula mereka tinggal di gedung yang sama. Lebih efisien menggendongnya pulang, sekaligus lebih baik untuk pemulihan cederanya.
"Ah iya, tolong bawa tasku ya? Aku tidak bisa membawa tas sambil menggendongmu," pinta Kevin.
"Tidak bisakah kita memilih opsi lain selain digendong?" tanya Cindy ragu.
"Kamu sedang cedera, jadi ikuti saja apa yang kukatakan. Tidak masalah kalau tidak ada orang lain, tapi karena aku ada di sini, lebih baik manfaatkan saja," balas Kevin.
"Gendong?"
"Apa? Kamu mau aku gendong seperti putri dalam dongeng? Kamu yakin aku cukup kuat?" canda Kevin.
"Kamu meremehkan aku ya? Jangan khawatir tentang itu," jawab Cindy dengan nada sedikit kesal.
Sebenarnya Kevin sempat mempertimbangkan untuk menggendong Cindy secara horizontal, tapi itu akan sangat merepotkan untuk jarak sejauh apartemen mereka. Selain itu pasti akan menarik terlalu banyak perhatian orang.
Dia tahu Cindy hanya bercanda, jadi tidak marah meski sedikit diremehkan. Justru dia tersenyum lega melihat Cindy masih bisa bercanda dalam keadaan seperti ini.
"Begini, setelah siap, pakai penutup kepala dan pegang tasmu. Nanti aku juga akan membawa tasmu setelah menggendongmu. Tidak bisa dilakukan sekaligus," jelas Kevin.
"Maaf merepotkan," bisik Cindy.
"Tidak apa-apa. Sebagai laki-laki, aku tidak akan tega meninggalkan orang yang cedera sendirian," jawab Kevin sambil membalikkan badan dan berjongkok, mempersilakan Cindy merangkulnya dari belakang.
Meski mengenakan parka dan beberapa lapis pakaian, tubuh Cindy terasa sangat ringan dan lembut saat melekat di punggung Kevin.
Dia memastikan Cindy memegang erat tapi tidak sampai mencekik, lalu perlahan berdiri sambil mengangkat beban di punggungnya.
"Seperti dugaan, dia sangat ringan," pikir Kevin dalam hati.
Meski sering mengomel dan bersikap tegas, tubuh Cindy ternyata sangat mungil. Kevin sempat bertanya-tanya apakah dia makan dengan cukup, atau memang postur tubuhnya yang kecil secara alami.
Aroma wangi samar menyengat hidungnya, membuatnya sedikit gelisah saat Cindy terus memeluknya dengan erat. Dia berusaha keras tetap tenang selama perjalanan pulang.
Pemandangan seorang pria menggendong wanita pasti akan menarik perhatian, tapi untungnya wajah Cindy tertunduk dan tersembunyi di balik kerah parka, sementara penampilan Kevin sendiri tidak terlalu mencolok.
"Oke, kita sampai," ucap Kevin ketika mereka tiba di depan pintu apartemen Cindy.
Dia berencana berpisah di sini karena Cindy sudah bisa berjalan pelan-pelan dengan menopang diri ke tembok.
Cedera Cindy sepertinya tidak terlalu parah. Untungnya besok adalah hari libur, jadi istirahat beberapa hari seharusnya cukup untuk pemulihan.
"Jangan khawatirkan makan malamku hari ini, istirahatlah yang cukup. Minum suplemen juga ya?" pesan Kevin.
"Tidak perlu. Masih ada stok di rumah," jawab Cindy.
"Baguslah. Sampai jumpa," ucap Kevin sebelum berbalik.
Dia lega tidak perlu khawatir tentang makan malamnya malam ini. Dan senang melihat Cindy sudah bisa berjalan sendiri meski perlahan.
Kevin memperhatikan Cindy membuka pintu apartemennya sambil mencari kunci. Tiba-tiba gadis itu berbalik.
"Hmm," gumam Cindy.
"Ada apa?" Kevin menoleh.
Cindy memeluk erat tasnya, menatap Kevin dengan ekspresi aneh antara malu dan ragu. Matanya bergerak-gerak tidak tentu, sepertinya sedang berdebat dengan dirinya sendiri.
Akhirnya dia mengambil napas dalam dan menatap Kevin lebih langsung.
"Terima kasih banyak untuk hari ini. Kamu sangat membantuku," ucap Cindy dengan suara jelas, berbeda dari biasanya.
"Ah, tidak apa-apa. Aku senang bisa membantu. Istirahat yang cukup ya," jawab Kevin agak kikuk.
Dia sendiri akan merasa risih jika terlalu ikut campur, jadi memilih mengakhiri percakapan. Dia melihat Cindy mengangguk pelan sebelum akhirnya membuka pintu apartemennya.
Kevin baru teringat bahwa celana trainingnya masih dipakai Cindy, tapi mungkin akan dikembalikan beberapa hari lagi. Tanpa menoleh lagi, dia masuk ke apartemennya sendiri.