Terpaksa Menikah Dengan Tuan Muda

Terpaksa Menikah Dengan Tuan Muda

Prolog

Di ruang tamu yang sunyi, ayah Ganhia Wijaya duduk dengan wajah cemas. Di hadapannya, Tuan Danendra Mahendra, seorang pria muda yang dingin dan penuh kekuasaan, duduk dengan sikap tenang namun tajam. Dalam genggaman tangan ayah Ganhia, ada dua foto yang terpampang jelas. Satu foto menunjukkan Ganhia, putri sulungnya yang cantik, dengan wajah polos dan penampilan yang sederhana. Foto lainnya menunjukkan Mharsela, adik tiri Ganhia yang lebih glamor, dengan penampilan yang mencolok dan makeup tebal, seorang model papan atas yang selalu tampak penuh percaya diri.

Ayah Ganhia menatap Tuan Danendra dengan serius. "Ini anak saya, Ganhia," katanya, menunjuk pada foto gadis yang lebih sederhana. "Dia lebih penurut dan bisa dipercaya. Sedangkan adiknya, Mharsela, meskipun cantik, terlalu manja dan tidak bisa diandalkan."

Tuan Danendra memandang kedua foto itu dengan tatapan yang tidak terburu-buru. Setelah beberapa saat, ia akhirnya mengambil keputusan dengan cepat. "Saya memilih gadis yang bernama Ganhia itu," ujarnya tegas.

Ayah Ganhia menghela napas lega, meski perasaan cemas masih menggelayuti dirinya. “Dia memang yang terbaik, Tuan Mahendra. Saya harap keputusan ini akan membawa jalan keluar untuk kita semua.”

Danendra tidak menyampaikan alasan pilihannya secara rinci, namun sepertinya ia melihat sesuatu dalam diri Ganhia yang tak terlihat oleh orang lain. Gadis itu, dengan wajah polos dan sifat penurut , seperti sebuah pilihan yang tepat untuk dimiliki. Seakan ia bisa melihat bahwa Ganhia adalah sosok yang mudah dikendalikan, seorang gadis muda yang belum sepenuhnya menyadari kekuatannya, dan yang lebih penting seseorang yang bisa ia "kendalikan."

Sementara itu, Mharsela, adik tiri Ganhia, sama sekali tidak mengetahui siapa Tuan Danendra sebenarnya. Ia hanya mendengar kabar bahwa ayahnya telah menjodohkan dirinya dengan seorang lelaki kaya, yang menurutnya pasti adalah seorang lelaki tua dengan banyak uang. Dengan anggapan itu, Mharsela menolak tawaran itu tanpa berpikir panjang, merasa dirinya pantas untuk menikah dengan pria yang lebih muda dan lebih menarik.

Namun, pilihan ayahnya jelas Danendra Mahendra sudah memilih Ganhia. Sementara Mharsela, dengan sikap sombong dan penuh rasa percaya diri, tak pernah menyangka bahwa perjodohan itu akan menyertakan pria muda yang dingin dan kuat, yang memilih Ganhia karena kecantikannya yang sederhana dan sifatnya yang penurut.

Danendra, dengan penuh perhitungan, melihat Ganhia sebagai sosok yang bisa dimiliki dan dikendalikan, dan dengan keputusan itu, takdir pun mulai berubah. Ganhia, yang tak punya pilihan lain, harus menjalani pernikahan ini demi menyelamatkan keluarganya meski hatinya hancur, meski dia merasa seperti dijadikan alat untuk menebus utang yang melilit ayahnya.

Tepat seminggu sebelum pernikahan, sebuah laporan masuk ke rumah keluarga Wijaya. Seorang bodyguard yang dikenal sebagai Tuan Edrian, tangan kanan Danendra, datang mengantarkan pesan penting. Dengan langkah tegas, ia memasuki rumah keluarga Wijaya dan menyerahkan sebuah amplop putih yang disegel rapat.

“Pernikahan antara Nona Ganhia dan Tuan Danendra akan dilaksanakan pada Minggu depan,” kata Tuan Edrian, suara tegasnya menggema di ruang tamu. “Hanya akan ada keluarga terdekat dan teman-teman bisnis Tuan Danendra yang hadir. Tidak ada publik, tidak ada media. Semua harus berjalan dengan sangat tertutup.”

Ayah Ganhia langsung mengangguk, meskipun hatinya berat. Semua yang terjadi seolah bukan lagi tentang kebahagiaan anaknya, tetapi tentang bagaimana mereka bisa keluar dari masalah ini. Tuan Edrian menambahkan, “Tuan Mahendra ingin pernikahan ini tetap jauh dari sorotan publik. Ini adalah urusan pribadi yang harus tetap terkendali.”

Ganhia menatap ayahnya dengan mata penuh kecemasan. Tidak ada yang menjelaskan secara jelas mengapa pernikahan ini harus dilaksanakan dengan begitu rahasia. Namun, dia tahu, jika ini adalah harga yang harus dibayar untuk menyelamatkan keluarganya, maka tak ada pilihan lain.

Minggu depan, hari yang telah ditentukan, menjadi titik awal bagi sebuah kehidupan yang baru bukan dengan cinta, tapi dengan kewajiban. Ganhia harus menikah dengan Tuan Danendra Mahendra, seorang pria yang bahkan tidak ia kenal dengan baik, demi melunasi utang yang melilit keluarga mereka.

Apakah hidupnya akan berubah setelah pernikahan itu? Ataukah ini akan menjadi awal dari sebuah perjalanan penuh tantangan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya? Hanya waktu yang akan menjawab, sementara pernikahan itu semakin mendekat.

Hari itu, suasana rumah keluarga Wijaya terasa berat. Meskipun tampak seperti hari biasa, setiap sudut rumah dipenuhi dengan ketegangan yang tak terlihat. Ganhia duduk di ruang tamu, matanya terpaku pada dua foto yang telah berulang kali dilihatnya—foto dirinya yang polos dan penuh harapan, dan foto Mharsela yang penuh percaya diri, dengan segala kemewahan dan kilau dunia modeling yang ia miliki. Masing-masing membawa beban yang berbeda, namun satu hal yang pasti: Ganhia tak memiliki pilihan.

Tepat saat itu, ayah dan ibu tirinya masuk ke ruangan. Wajah ayah Ganhia terlihat kusut, seakan ia baru saja mengangkat beban yang terlalu berat. Ibu tiri Ganhia, yang selama ini sering menyimpan ketidaksukaannya pada Ganhia, kini hanya tampak lebih diam dan serius dari biasanya.

“Ibu, Ayah, ada apa?” Ganhia bertanya dengan lembut, meski hatinya sudah mulai dipenuhi oleh rasa takut akan apa yang akan mereka katakan.

Ayahnya duduk di hadapan Ganhia, matanya yang lelah bertemu dengan mata putrinya. “Nhia, ada hal penting yang harus kita bicarakan.” Suaranya berat, penuh kecemasan. “Tuan Danendra Mahendra, yang telah kita janjikan untuk menikahi kamu, telah menentukan hari pernikahan.”

Ganhia menatap ayahnya dengan penuh keraguan. “Pernikahan? Tapi, Ayah… kenapa harus minggu depan? Bukankah kita baru saja membicarakan semuanya?” Ia merasa perasaan tak menentu mulai menguasai dirinya.

Ibu tirinya yang duduk di sebelah ayahnya menatap Ganhia dengan tatapan yang sulit diartikan. “Pernikahan itu sudah ditentukan, Nhia. Tuan Danendra sudah memilihmu. Tidak ada pilihan lain. Ini demi keluarga kita, demi bisnis ayah yang hampir bangkrut.”

Ganhia menggigit bibirnya, berusaha menahan air mata yang hampir saja menetes. “Tapi… aku tidak tahu apa-apa tentang dia. Aku hanya ingin membantu, Ayah… tapi kenapa harus seperti ini?” suara Ganhia hampir pecah, penuh keraguan dan kesedihan.

Ayahnya menghela napas panjang. “Aku tahu, Ganhia. Aku tahu betapa sulitnya ini untukmu. Tapi kita tidak punya pilihan. Utang yang kita miliki sangat besar. Hanya pernikahan ini yang bisa menyelamatkan kita. Dan Tuan Danendra… Dia adalah satu-satunya orang yang bisa membantu kita keluar dari semua ini.”

Ibu tiri Ganhia menambahkan, “Kamu hanya perlu bertahan, Nhia. Jangan pikirkan yang lainnya. Yang penting, pernikahan ini akan membawa kebaikan bagi keluarga kita. Kamu hanya perlu melakukan apa yang perlu dilakukan.”

Ganhia menunduk, mencoba mencerna semua yang baru saja dikatakan. Ini bukan hanya tentang dirinya, tetapi juga tentang keluarganya. Namun, hatinya tetap terluka. Semua yang ia harapkan cinta, kebahagiaan, dan masa depan yang cerah seolah sirna begitu saja. Ia harus menikah dengan seorang pria yang bahkan tak ia kenal, hanya demi menebus utang yang melilit keluarganya.

“Kapan pernikahannya?” tanya Ganhia dengan suara pelan, seakan setiap kata yang keluar begitu sulit.

“Pernikahan akan dilaksanakan minggu depan,” jawab ayahnya, matanya penuh penyesalan. “Hanya keluarga terdekat dan teman-teman bisnis Tuan Danendra yang akan hadir. Tidak ada publik, tidak ada pemberitaan. Semua harus berjalan sangat tertutup.”

Ganhia terdiam, sejenak meresapi apa yang baru saja didengarnya. Pernikahan itu bukan hanya mengubah hidupnya, tetapi juga kehidupan keluarganya. Tidak ada jalan keluar, hanya kewajiban yang harus ia penuhi. Semua yang ia miliki kini terasa begitu jauh. Ia hanya bisa berharap bahwa suatu hari, mungkin ada harapan untuk kebahagiaanbmeskipun itu masih terasa seperti mimpi yang jauh.

Ibu tiri Ganhia yang biasanya dingin dan keras kini memberikan sebuah senyuman kecil, meski senyuman itu tampak terpaksa. “Ingat, Nhia, kamu tidak bisa menolak. Ini demi masa depan kita semua.”

Ganhia memejamkan matanya, menahan semua perasaan yang berkecamuk di dalam dada. Tidak ada yang bisa ia lakukan, kecuali menerima kenyataan ini. Sebuah pernikahan yang tidak didasari oleh cinta, melainkan oleh kewajiban dan tekanan yang tak bisa ia hindari. Ia harus menjalani semua ini.

Dengan kepala yang tertunduk, Ganhia pun berdiri dan berjalan perlahan menuju kamarnya. Hati dan pikirannya terasa kosong, namun ia tahu satu hal sebuah babak baru dalam hidupnya baru saja dimulai, dan ia tidak tahu apa yang akan terjadi setelahnya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!